Warga Nusaniwe Tolak Proyek Radar Kemenhan, KLHK Dituding Abaikan Hak Adat
titastory, Ambon — Rencana pembangunan Site Radar dan sarana penunjang oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI di Negeri Nusaniwe, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, mulai menuai penolakan warga. Proyek di atas lahan seluas 8,42 hektare itu telah mendapat persetujuan penggunaan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI melalui SK Nomor 1150 Tahun 2024 tertanggal 12 September 2024.
Pembangunan yang dikerjakan oleh PT Len Industri ini telah memasang papan proyek dan patok-patok batas tanpa melibatkan warga pemilik lahan. Sejumlah tokoh masyarakat menilai langkah tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat.
Informasi proyek baru diketahui warga ketika papan nama proyek berdiri dan sejumlah patok batas ditanam di area yang selama ini mereka kelola sebagai kebun dan lahan produktif. Mereka menyatakan tidak pernah menerima sosialisasi atau pemberitahuan dari pihak terkait.

Penolakan warga pun disampaikan dalam forum Walikota Jumpa Rakyat (Wajar) yang digelar pada Jumat, 20 Juni 2025. Namun dalam pertemuan itu, masyarakat tak memperoleh solusi konkret. Menanggapi pertanyaan dari salah satu tokoh masyarakat Nusaniwe, pihak Pemerintah Kota Ambon menyatakan bahwa mereka tidak berada dalam posisi mengambil keputusan terkait status tanah maupun proyek yang akan berjalan.
“Adanya sengketa atau persoalan tanah, pemerintah hanya bisa memfasilitasi dan berkomunikasi. Pemerintah tidak ada dalam posisi pengambilan keputusan. Yang berhak dalam kaitan dengan kepemilikan tanah adalah Badan Pertanahan, yang berhak memutuskan adalah pengadilan,” ujar perwakilan Pemkot.
Pemerintah Kota juga menyebut bahwa lokasi proyek berada dalam kawasan hutan lindung, yang menjadi kewenangan KLHK. Karena itu, segala bentuk kegiatan harus melalui izin KLHK, bukan Pemkot.
“Kalau sudah ada kegiatan, silakan dicek, itu izinnya dari mana? Karena status hutan tersebut adalah hutan lindung, maka izin pemanfaatannya ada di KLHK,” tegasnya.
Salah satu tokoh masyarakat Negeri Nusaniwe, yang meminta namanya dirahasiakan, menyebutkan bahwa masyarakat pemilik lahan menolak proyek tersebut karena selama ini mereka mengelola wilayah tersebut sebagai kebun warisan leluhur.
“Ini bukan tanah kosong. Ada tanaman umur panjang, ada kebun. Kami juga kaget, baru tahu bahwa lahan yang kami kelola diklaim sebagai hutan lindung dan sekarang akan digunakan untuk pembangunan fasilitas militer. Pertanyaannya, siapa yang lebih dulu ada di sini—masyarakat adat atau negara?” ujarnya.
Masyarakat menyatakan akan melakukan penolakan terhadap proyek tersebut sebagai bentuk perlawanan atas apa yang mereka anggap sebagai perampasan tanah adat. Mereka menegaskan bahwa tanah tersebut merupakan bagian dari identitas dan ruang hidup warga Negeri Nusaniwe yang seharusnya dilindungi.
Penulis: Edison Waas