titastory, Ambon – Aksi protes menggema di halaman Kantor Gubernur Maluku, Senin, (16/6/2025). Puluhan mahasiswa yang menamakan diri Solidaritas Anak Maluku (Soa Maluku) menuntut penghentian segera aktivitas pertambangan PT Batu Licin Beton Asphalt (BLBA) di Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara.
Mereka mendesak Gubernur Hendrik Lewerissa dan Wakil Gubernur Abdullah Vanath segera bersikap. Alasannya jelas: keduanya adalah anak adat yang diharapkan mampu memahami dan membawa suara rakyat adat Maluku.
“LAWAMENA menjadi jargon kepemimpinan mereka, simbol kehormatan orang Maluku. Maka kami menagih sikap mereka sebagai perwakilan anak adat,” tegas Fadel Notanubun, Koordinator Lapangan aksi.
PT BLBA diketahui merencanakan penambangan pasir dan batu kapur di atas lahan seluas 500 hektare di Kecamatan Kei Besar Selatan. Namun aksi ini dinilai melanggar banyak ketentuan hukum dan norma adat.

Tambang di Pulau Kecil: Ilegal dan Mengancam
Dalam orasinya, Notanubun menegaskan bahwa Pulau Kei Besar dikategorikan sebagai pulau kecil sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Luas Pulau Kei Besar hanya sekitar 550 km², jauh di bawah batas maksimal 2.000 km².
“Pulau kecil dilarang menjadi lokasi pertambangan. Ini jelas pelanggaran,” katanya lantang.
Lebih lanjut, Perda Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 2 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga tidak mencantumkan satu pun wilayah sebagai zona tambang. Namun PT BLBA justru beroperasi di kawasan perikanan dan tanaman multikultural yang dilindungi.
Selain itu, Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 menetapkan Pulau Kei Besar sebagai salah satu dari 111 pulau kecil terluar yang harus dilindungi. Aktivitas pertambangan di kawasan tersebut jelas bertentangan dengan amanat negara.
Tambang Bawa Petaka
Dalam aksinya, mahasiswa menolak keras dalih bahwa tambang akan membawa kesejahteraan. Mereka menegaskan bahwa di banyak wilayah Indonesia, tambang justru membawa kehancuran ekologis, krisis sosial, dan penderitaan masyarakat.

“Fakta di lapangan menunjukkan: pencemaran lingkungan, banjir, longsor, rusaknya laut, dan lenyapnya sumber hidup nelayan dan petani,” kata Notanubun.
Tak hanya ekologi, dampak sosial-budaya pun kini mulai dirasakan. Situs-situs adat, makam leluhur, dan tempat ritual di Ohoi Nerong dan Mataholat terancam hilang. Sementara itu, keberadaan aparat militer di lokasi tambang memunculkan rasa takut dan memicu konflik horizontal akibat sengketa lahan dan kesenjangan sosial.
“Baru kali ini, dalam sejarah, 14 desa di Kei Besar dan 1 desa di Kei Kecil terendam banjir. Itu bukan kebetulan,” ungkapnya kepada titastory usai berorasi.
Tujuh Tuntutan Rakyat Adat Maluku
Dalam aksinya, Solidaritas Anak Maluku mengajukan tujuh tuntutan tegas kepada pemerintah dan lembaga legislatif:
- Mendesak Pemda Maluku dan DPRD mengevaluasi seluruh izin tambang di wilayah Maluku.
- Mendesak Pemprov Maluku menghentikan dan mencabut izin pertambangan PT BLBA.
- Meminta DPRD Maluku memanggil PT BLBA karena aktivitasnya bertentangan dengan hukum.
- Mendesak agar kepentingan masyarakat adat diakomodir dengan menghentikan operasi tambang PT BLBA.
- Mendesak PT BLBA bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan akibat tambang.
- Menuntut transparansi informasi terkait pelanggaran RTRW oleh PT BLBA.
- Mendesak DPRD memanggil Pangdam XVI Pattimura atas keterlibatan personel militer dalam operasi tambang.
Penulis : Redaksi