titastory, Tambrauw — Puluhan mahasiswa asal Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, menyatakan penolakan keras terhadap rencana pembangunan Batalyon Teritorial dan Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah adat mereka. Penolakan itu disampaikan dalam pertemuan masyarakat di Asrama Mahasiswa Papua, Jayapura, Sabtu (14/6/2025).
Dalam siaran pers resmi, Agustina Wabia menjelaskan bahwa pembentukan batalyon berskala besar dinilai tidak sesuai kebutuhan rakyat Tambrauw. “Pembangunan Batalyon Teritorial ini mendorong militer menguasai ranah sipil,” tegasnya.
Kekhawatiran ini berkembang karena pola konflik militer yang telah terjadi puluhan tahun di Papua. Menurut Agustina, kehadiran pasukan berskala besar di kawasan Tambrauw justru bisa memicu ketegangan baru. “Kami sangat menolak kehadiran militer masif melalui pembangunan batalyon,” ujarnya.

Rencana batalyon juga berhubungan dengan rencana hilirisasi nikel di wilayah tersebut, di mana tanah adat masyarakat berpotensi menjadi objek eksploitasi industri. Agustina mengingatkan bahwa PSN yang diajukan PT Fajar Surya Persada kepada Gubernur Papua Barat Daya sejak 27 Maret 2025 juga mengancam keberlangsungan masyarakat adat di Lembah Kebar.
“Lembah Kebar, yang merupakan area konservasi, dapat mengalami deforestasi masif,” jelasnya. Ia menyoroti juga SK pelepasan 19.000 ha kawasan hutan produksi oleh pemerintah pusat pada 2014—yang saat itu menimbulkan penolakan dari masyarakat Tambrauw.

Agustina menambahkan bahwa sekitar 80 % dari luas Kabupaten Tambrauw —sekitar 1,1 juta ha—ditetapkan sebagai kawasan lindung & konservasi sejak 2011. Pengesahan batalyon dan PSN di kawasan ini, menurutnya, merusak kearifan lokal dan tata ruang yang telah diatur.
“Masyarakat Tambrauw hidup damai dalam pola adat dan ekologi,” kata Agustina. “Kehadiran militer dan industri ekstraktif bukan solusi menuju masa depan mereka.”
