Dibalik Kedatangan Macron dan PM Tiongkok: Darah dan Merkuri di Tanah Leluhur Halmahera
titastory.id, Jakarta – Kemacetan parah yang melumpuhkan Jakarta selama kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron (27–29 Mei 2025) mungkin hanya dianggap sebagai gangguan lalu lintas biasa. Namun, bagi warga Maluku Utara, kehadiran Macron menandai babak baru dari luka lama: eksploitasi nikel yang kian brutal atas nama transisi energi.
Berselang seminggu sebelumnya, Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang juga menyambangi Indonesia dengan agenda serupa: mengamankan pasokan nikel dari tanah Halmahera. Dua kunjungan diplomatik beruntun dari dua negara raksasa ini tak bisa dilepaskan dari ambisi hilirisasi nikel Indonesia yang memihak investor asing dan mengabaikan krisis ekologis serta penderitaan sosial di wilayah terdampak.
Aliansi Eramet–Tsingshan dan Tragedi Halmahera
Pulau Halmahera, Maluku Utara, saat ini telah berubah menjadi ladang eksploitasi nikel besar-besaran. PT Weda Bay Nickel (WBN), perusahaan tambang nikel raksasa dengan konsesi mencapai 46.065 hektare, adalah aktor utamanya. Perusahaan ini dikendalikan dua kekuatan: Eramet asal Prancis (43%) dan Tsingshan Group asal Tiongkok (57%).
Ironisnya, Pemerintah Prancis memegang 27% saham Eramet. Artinya, kerusakan yang terjadi bukan semata ulah korporasi, melainkan juga kebijakan negara yang membiarkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM terjadi di tanah orang lain.
Laporan keuangan 2024 menunjukkan Eramet dan Tsingshan masing-masing meraup keuntungan bersih hingga Rp 3 triliun dan Rp 4 triliun dari tambang ini. Namun, di balik angka-angka menggiurkan itu, masyarakat sekitar hanya mewarisi limbah, udara kotor, dan tubuh yang tercemar.

Tubuh yang Tercemar, Sungai yang Mati
Penelitian Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako menemukan cemaran logam berat seperti arsenik dan merkuri dalam darah warga desa Gemaf dan Lelilef, serta pencemaran parah pada air dan ikan di Teluk Weda. Sebanyak 15 sungai di sekitar tambang kini rusak parah. Indikasi manipulasi data kualitas udara dan air juga mencuat, memperkuat dugaan bahwa PT WBN berupaya menutup-nutupi dampak pencemaran mereka.
“Pemerintah Prancis dan Tiongkok tak bisa pura-pura tak tahu. Mereka punya saham, mereka punya tanggung jawab,” tegas Arko Tarigan, Juru Kampanye Mineral Kritis Trend Asia.
Menurutnya, diplomasi yang dibungkus investasi justru memperdalam ketimpangan dan memperkuat sistem yang menyingkirkan masyarakat lokal. “Dari kemacetan Jakarta sampai kehancuran Maluku, terlihat jelas bagaimana kepentingan elit selalu jadi prioritas,” tambahnya.
Lebih dari sekadar kerusakan lingkungan, kawasan industri Weda Bay Industrial Park (IWIP) juga menjadi kuburan senyap bagi para buruhnya. Investigasi media independen Prancis Mediapart mengungkap praktik kerja paksa dan pelanggaran HAM di sana: para pekerja dipaksa bekerja 24 minggu berturut-turut dengan hanya 2 minggu libur.
Sejak 2015 hingga 2024, IWIP mencatat 14 kecelakaan kerja, menyebabkan 9 pekerja meninggal dunia dan 30 lainnya luka-luka. Sayangnya, insiden-insiden ini nyaris luput dari perhatian publik karena minim pelaporan dan minim pertanggungjawaban.
Transisi Energi atau Transisi Kekuasaan?
Salah satu ironi paling menyakitkan adalah penggunaan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) berbahan batu bara di kawasan IWIP untuk menyuplai energi bagi proyek “transisi energi” ini. PLTU Weda Bay Unit 12 bahkan dibangun setelah Presiden Xi Jinping berjanji tak akan membangun PLTU baru di luar negeri. Komitmen iklim pun tampak tak lebih dari slogan kosong.
“Rantai pasok nikel untuk kendaraan listrik yang disebut-sebut sebagai penyelamat planet justru dihasilkan dari energi kotor dan eksploitasi,” jelas Zakki Amali, peneliti dari Trend Asia.
Ia menambahkan, hilirisasi nikel yang dibanggakan pemerintah justru jadi celah pembiaran pembangunan PLTU di luar rencana energi nasional dan tanpa mekanisme pengawasan emisi yang memadai.

Tanah Adat yang Terluka, Suara yang Dibungkam
Pulau Halmahera kini tak hanya menghadapi kerusakan ekologi, tetapi juga erosi sosial. Ratusan konsesi tambang dan industri telah memicu konflik agraria, penggusuran, dan kriminalisasi warga adat seperti komunitas Maba Sangaji, Wayamli, hingga Tobelo Dalam. Banyak dari mereka kini hidup dalam tekanan, bahkan diasingkan dari tanah leluhur mereka.
“Pemerintah Indonesia harus berhenti jadi kaki tangan oligarki nikel. Jangan jadikan transisi energi sebagai dalih untuk mengorbankan rakyat dan lingkungan,” pungkas Arko.