Laporan: Sofyan Hattapayo dari Lokasi Gunung Binaiya
titastory, Seram Selatan – Rustam Umasugi duduk memeluk lutut di atas balok kayu tua, bekas penyangga Selter Aimoto, pos kedua jalur pendakian Gunung Binaiya. Tangannya gemetar. Syal melilit lehernya, menahan dingin yang menusuk sejak malam sebelumnya. Dua rekannya menunduk, mencoba menghangatkan tubuh dengan jaket basah dan pakaian penuh lumpur. Mereka baru saja turun dari Lembah Kali Yahe. Dari lokasi jenazah Firdaus Ahmad Fauzi ditemukan.
“Sedangkan kepala balai bilang, ‘Ditemukan di Aimoto,'” ucap Felmi Lamasano menggelengkan kepala. “Bodoh basar. Orang munafik macam Dia seng cocok jadi pemimpin.”
“Katong naik dari Lembah Firdaus itu sekitar empat jam ke jalan utama di Manukupa,” ujar Rustam Umasugi, kepada titastory. “Setelah itu kami evakuasi jenazahnya secara estafet.”
Menurut petugas kesehatan di Hatumete ini, jenazah Firdaus pertama kali terlihat oleh anggota SRU II di dasar Kali Yahe—lembah curam dengan aliran deras. “Air sudah merah karena hujan. Saya lompat dari tebing tujuh meter. Seng pikir panjang. Daus sudah di depan mata.”
Setelah Rustam, satu per satu anggota tim lain ikut terjun. Mereka mengabaikan risiko batu tersembunyi di bawah permukaan. Tujuan mereka cuma satu: membawa pulang Firdaus.

Firdaus ditemukan dalam posisi telungkup. Tangan terbuka. Pakaiannya masih lengkap: jaket merah muda dengan motif hitam, celana panjang hitam, kaus lengan pendek hijau. “Seperti sedang memeluk sunyi di antara batu-batu sungai,” ujar Fachry Tarmun, anggota tim SRU II yang ikut dalam evakuasi.
Saat ditemukan, tas carrier besar Firdaus hilang. Tersisa tas kecil yang ia kenakan di dada. Fachry menyodorkan foto terakhir Daus kepada titastory—diambil saat berpose di Hutan Lumut, jalur menuju High Camp.

Proses evakuasi berlangsung estafet. Setelah diangkat dari Kali Yahe, jenazah Firdaus diserahkan dari satu kelompok ke kelompok lain. Mereka menyusuri punggungan Manukupa yang terjal dan licin akibat hujan. “Katong dua tim sudah terlalu lelah. Akhirnya tim terakhir yang naik dari Aimoto ambil alih evakuasi,” ujar Rustam.
Rahman Reliubun, sukarelawan dari kelompok SAR mandiri, sempat muntah saat menyusuri jalur evakuasi. Perutnya kosong. “Beta hanya minum air untuk redam lambung,” ujarnya.
Rahman dan sepuluh sukarelawan lain memulai pencarian sejak Jumat, 16 Mei. Keesokan harinya, pukul 14.30 WIT, kabar penemuan jenazah diterima lewat HT. Lokasinya: koordinat 3⁰12’33.6″ S, 129⁰30’58.3″ E. Saat mereka tiba, jenazah Firdaus sudah berada di pertengahan punggungan.
Iben Ilelapotoa, koordinator porter, menyebutkan total 37 warga adat Piliana dikerahkan membantu pencarian. “Saya bagi ke semua pos: Aiulansalai, Aimoto, Yamitala, Air Tampayang, hingga Teleuna.”
“Kalau katong punya bahasa artinya (Pos V Nasapeha) itu sebagai Kayu Malintang,” kata Iben Ilelapotoa kepada titastory di Puncak Teleuna, sebuah pos pendakian di Binaiya.

Di Teleuna, lima orang dari tim estafet Piliana menyambut jenazah Firdaus. Mereka yang bertugas membawa ke bawah, menyusuri jalur hingga desa.
Malam itu, purnama menggantung penuh di atas Aimoto. Cahaya bulan membias di antara kabut dan dedaunan basah. Ketika jenazah Firdaus tiba, suasana hening berubah menjadi isak. Kalimat tauhid berkumandang dari mulut para sukarelawan. Mereka menyambutnya dalam barisan diam.

Seperti saat keberangkatannya ke puncak, Firdaus kembali disambut dengan doa. Tapi kali ini, ia diam. Hanya dua orang yang diperbolehkan membawa tandunya—sisanya mengikuti dalam diam.
Firdaus telah pulang. Dari puncak tertinggi di Maluku hingga dasar lembah yang dingin, ia menyelesaikan perjalanan terakhirnya. Ia pergi membawa cerita tentang keteguhan, pengorbanan, dan cinta orang-orang yang tak rela ia sendirian di sana.

Penulis dalam menjalankan peliputan turut membantu tim SAR dan Sukarelawan melakukan pencarian terhadap jenazah Alm. Firdaus Ahmad Fauzi di jalur pendakian Gunung Binaiya