titaStory.id, namlea – RATUSAN orang terlihat memadati badan-badan jalan di Desa Tagalisa. Mereka tampak rapi dan necis mengenakan pakaian adat. Di sisi kiri kanan pintu gerbang Desa terlihat sejumlah perempuan juga telah berbaris. Mereka tampak memegang beberapa lestari, kain adat yang nantinya dipakaikan ke kepala para tamu.
Tak hanya perempuan sejumlah pria juga terlihat di berada paling depan gerbang. Mereka tampaknya bersiap untuk cakalele, salah satu tari perang di Buru maupun Maluku.
Tak lama, tiba iring-irigan rombongan menuju gerbang itu. Sesampai di pintu masuk, rombongan pun berhenti. Rupanya, tamu yang disambut adalah Muhammad Tasalisa (81). Dia adalah Raja Tagalisa. Sudah 50 tahun Muhammad Tasalisa meninggalkan desanya. Dia baru saja kembali ke desanya setelah lama di pengasingan.
Tasalisa tampak memakai baju kebesaran dililit kain bahu, kain berang (kain merah) yang terikat di kepala, serta tongkat raja yang erat dipegang ditangan kirinya. Perlahan langkahnya terhenti di depan pintu gerbang.
Ritual pun dilakukan. Tradisi adat penyematan lestari ke kepala raja pun dilakukan langsung oleh masyarakat adat setempat dengan penuh sakralitas dan hikmat. Penyematan lestari kepada sang Raja di lakukan di pintu masuk Desa, kemudian diarak menuju kediaman raja.
Lebih dari 10 perempuan berjalan memegang sehelai kain putih panjang berukuran putih sambil mengurung langkah Raja bersama rombongan menuju kediamannya. Di Buru maupun di Maluku, kain putih dinamakan “kain gandong”. Semacam pengikat hubungan persaudaraan antar masyarakat Maluku, yang hampir semua negeri adatnya terikat dengan hubungan pela dan gandong, atau hubungan kekerabatan dalam sebutan lain.
Sesampainya di kediaman, raja disambut dengan berbagai tarian adat, seperti tarian cakalele yang dibawakan oleh para pemuda dengan membawa parang.
Kemudian ada tarian sawat Buru yang disemarakan oleh kaum perempuan dari anak-anak hingga para lansia. Mereka berjumlah sekitar 6 sampai 10 orang.
Prosesi adat dilanjutkan. Sebelum menginjakan kaki di rumah kediamannya, sang raja wajib untuk menari tarian sawat yang beranggotakan para tetua adat perempuan, setelah itu barulah dipersilahkan untuk memasuki kediaman.
Meski tidak sebesar dan semewah seperti tradisi adat seperti kesultanan Jogya, Ternate, Tidore, bahkan kerajaan Belanda. Namun Raja yang dimaksudkan di sini adalah pemimpin adat suatu wilayah petuanan, yang skalanya lebih kecil.
Di Maluku sendiri Raja adat merupakan pemimpin tertinggi adat di suatu Negeri atau saat ini dikatakan Desa adat. Penentuan pemimpin lokal Maluku dilakukan melalui dua cara yakni melalui pemilihan dan penunjukan.
Namun semenjak massa orde baru, diterbitkanlah UU Nomor 5 tahun 1979 yang mengakibatkan lemahnya adat setempat. UU ini menghapus struktur adat tradisonal dan menggantinya dengan struktur baru yang berlaku di seluruh Indonesia. Negeri yang menjadi identitas orang Maluku berubah menjadi desa yang sangat jawasentris. Begitu juga dengan sebutan bapa raja atau ibu raja serta merta digantikan dengan kepala desa atau lurah. Sejak itu secara perlahan orang Maluku mulai menanggalkan identitas lokalnya.
Budaya lokal termasuk pengangkatan raja adat kembali berkembang setelah pemerintahan orde baru berakhir. Secara berangsur masyarakat mulai menyadari bahwa ada yang hilang dari dasar kehidupan yakni tatanan adat mereka sendiri. Kesadaran untuk memperkuat kembali tatanan adat menjadi suara yang menggema di mana-mana, terlebih lagi saat UUD mengalami amandemen. UUD hasil amandemen kemudian dijadikan acuan hukum normatif bagi kebangkitan tatanan kehidupan adat masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Bahkan pada daerah tertentu kebangkitan adat menjadi alat perlawanan masyarakat untuk mengambil kembali hak-hak atas wilayah mereka yang diklaim sebagai milik negara. Demikian juga yang terjadi di Negeri petuanan Tagalisa.
Nah, tradisi ini memang sudah berlangsung ratusan tahun, sejak warga mendiami Desa Tagalisa. Ini telah turun temurun dilakukan, pada saat ritual adat maupun pelantikan raja.
Untuk prosesi ini sendiri dilakukan untuk menghormati Muhammad Tasalisa, raja yang telah lama meninggalkan kampung halaman mereka.
Menurut para tetua adat, sudah lebih dari 50 tahun, Tasalisa tidak diakui sebagai raja dari masyarakat Tagalisa Buru. Namun, Muhammad Tasalisa (81) akhirnya bisa kembali dan mengabdi sebagai Raja.
Tasalisa sempat menjadi raja di pengasingan negeri lain dalam kurun waktu 52 tahun, terhitung antara tahun 1971 sampai tahun 2022.
Muhammad Tasalisa, ayahnya merupakan Raja Tagalisa yang bertahta sampai pada tahun 1965. Kala itu raja terdahulu harus turun tahta dan memberikan mandat penerus tahta kepada sang anak yaitu Muhammad Tasalisa.
“Bapa Muhammad Tasalisa, beliau sebenarnya sudah dikukuhkan oleh pemerintah Kecamatan Buru Utara Timur dengan didampingi petinggi adat petuanan tagalisa pada tahun 1965, namun adanya gejolak politik saat itu membuat raja Muhammad Tasalisa akhirnya pindah ke Maluku Tengah dan tinggal di sebuah desa bernama liang,” kata Ali Litiloly, pelaksana acara itu.
Muhammad Tasalisa, menurut Litiloly, lahir pada tahun 1942. Dirinya dikukuhkan sebagai raja menggantikan sang ayah saat usianya 23 tahun.
Tak lama setelah dirinya resmi dikukuhkan menjadi Raja Tagalisa. Terjadilah polemik politik pada masa itu, puncaknya pada tahun 1971, pemerintah Kabupaten Maluku tengah dengan resmi menonaktifkan raja Muhammad Tasalisa dari posisinya sebagai raja.
Berbeda dari sang ayah, Raja Muhammad Tasalisa hanya mampu menduduki tahta sebagai raja selama kurang lebih 8 tahun yaitu dari 1965-1971.
Tumbangnya Muhammad Tasalisa sebagai raja membuatnya pergi ke negeri jazirah leihitu dan tinggal menetap di Desa Liang, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Ia mengasingkan dirinya.
Pasca lengser dari jabatan, berimbas terhadap kelangsungan tradisi adat istiadat yang semakin terkikis. Beberapa diantara tradisi itu bahkan kini tidak lagi ada atau dilestarikan oleh masyarakat.
“Tahun 2022 lalu masyarakat bersama tokoh adat negeri petuanan tagalisa sepakat meminta bapak Muhammad Tasalisa untuk kembali menduduki tahta raja dan meluruskan kembali adat istiadat yang smpai hari ini hpir punah,” kata Ali
Tradisi itu diantaranya makan besar penyembelihan hewan kurban, tradisi kesopanan, dan beberapa tradisi lain yang bahkan tidak pernah dilakukan lagi oleh masyarakat Tagalisa sampai sekarang.
“Ada banyak tradisi adat yang sudah tidak lagi dilestarikan oleh masyarakat Tagalisa, banyak faktor yang jadi penyebab salah satunya tidak ada seorang raja yang mampu menyatukan masyarakat untuk melakukan hal tersebut,” lanjutnya.
Singkat cerita kata Litiloly, saat berada ditempat pengasingan, Muhammad Tasalisa bertemu dengan seorang wanita dari suku Jawa kemudian menikah dan memiliki keturunan campuran darah Buru Jawa. Dari hasil pernikahananya itu dia pun diberikan keturunan.
Hari-hari sang Raja bersama keluarganya di pengasingan dijalani layaknya rakyat biasa. Itu karena dia saat itu sudah merupakan bagian dari warga penduduk Desa Liang. Meski begitu, dijalaninya dengan Bahagia bersama keluarganya.
Berbeda dengan kehidupan sang raja di pengasingan, Ali menuturkan, di Negeri Tagalisa sejak ditinggalkan justru semakin menghawatirkan, tetua adat di petuanan tagalisa pulau Buru mengalami kemunduran adat dan tradisi.
Demi mengembalikan tradisi yang hampir punah, kata Ali pada tahun 2022, masyarakat dan tetua adat petuanan Tagalisa bersepakat, meminta Majelis Latu Pati Maluku di Ambon untuk mengukuhkan kembali Muhammad Tasalisa sebagai raja dari petuanan Tasalisa Pulau Buru.
“Masyarakat dan semua tetua adat Tagalisa Bersatu dan bersepakat untuk meminta Muhammad Tasalisa mendatangi Majelis Latupati Maluku untuk dikukuhkan kembali sebagai Raja,” tuturnya.
Melalui banyak pertimbangan, Muhammad Tasalisa akhirnya menyetujui untuk mengajukan permohonan mendapatkan gelarnya kembali sebagai raja Tagalisa.
Pada 27 Oktober 2022, Muhammad Tasalisa resmi dibaiat (dikukuhkan) oleh majelis latupati Maluku, prosesi pengukuhan dilakukan dengan menandatangani sejumlah dokumen dan penyerahan tongkat komando dari ketua Majelis Latupati Maluku kepada Muhammad Tasalisa sebagai raja Tagalisa.
“Pada 27 Oktober 2022 lalu, Majelis Latupati Maluku menyetujui untuk melakukan pengukuhan terhadap Muhammad Tasalisa sebagai raja negeri petuanan Tagalisa Buru, ada prosesinya yaitu dengan menandatangi sejumlah dokumen dan penyerahan tongkat komando sebagai raja tagalisa saat ini,”Ucap Ali.
Proses pengukuhan raja Tagalisa tidak dilakukan begitu saja, pihak Latupati Maluku menegaskan adanya sejumlah penelusuran tentang silsilah keluarga Muhammad Tasalisa begitu juga sejumlah penelusuran lain.
“Kami butuh telaah, kami mempelajari asal-usul, kami mempelajari silsilah dan sekaligus bertemu dengan Muhammad Tasalisa bersama dengan tim,” ungkap Decky Tanasale, Perwakilan Majelis Latupati Maluku.
Lanjut Tanasale, setelah kajian dan telaah yang dilakukan Majelis Latupati Maluku, barulah majelis berpendapat dan memutuskan, bahwa Muhammad Tasalisa benar adalah Raja yang sah di Petuanan Tagalisa.
“Adat pengangkatan juga bukan sesuatu yang mudah, terdapat sakralitas dan kesucian terhadap proses pengangkatan seorang raja. Tidak serta merta diangkat begitu saja, tetapi ada proses adat istiadat yang sakral,” Imbuhnya.
Kabar dikukuhkannya Muhammad Tasalisa oleh majelis latu Pati Maluku sebagai raja, membuka kembali sejarah kembalinya Muhammad Tasalisa di negeri petuanan Tagalisa Pulau Buru.
Pada Mei 2023, masyarakat adat negeri petuanan tagalisa akhirnya menggelar adat yang disebut “panggel pulang bapa raja” yang artinya masyarakat negeri petuanan Tagalisa memanggil raja untuk kembali pulang dan memimpin masyarakat adat serta melanjutkan tugas tugas adat yang tak berjalan di Negeri petuanan Tagalisa, Kabupaten Buru, Maluku.
Sebagai raja yang baru saja dikukuhkan kembali, Muhammad Tasalisa bersama Majelis Latupati Maluku rencananya akan berangkat ke Jakarta pada bulan Juni, mengikuti perancangan undang-undang kerajaan Nusantara di jakarta bersama para sultan seluruh Indonesia dan DPD-RI.
Kini Muhammad Tasalisa telah kembali lagi menjabat sebagai raja Tagalisa. Dia telah kembali ke posisinya semula untuk mengemban tugas dan melanjutkan tampuk kepemimpinan yang diamanahkan oleh sang ayah, raja sebelumnya kepada Muhammad Tasalisa, mengemban tugas sebagai raja adat dan yang paling utama adalah melestarikan serta meluruskan kembali tradisi yang telah lama hilang dari masyarakat Tagalisa Buru.
Selamat ya Untuk Bapak Muhammad Tasalisa, telah kembali menduduki posisi awalnya sebagai Raja Negeri Tagalisa Pulau Buru, setelah 50 tahun berada di pengasingan Negeri lain.
Penulis: Asma Kasih