titastory, Seram Bagian Timur – Hutan di Seram Timur kembali menghadapi ancaman serius. PT. Strata Pasifik, melalui proyek REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), berencana menjalankan program konservasi di atas konsesi seluas 73.368 hektare. Perusahaan tersebut mengklaim akan melakukan reboisasi dan restorasi, tetapi warga dan aktivis setempat mencurigai langkah itu hanyalah kedok untuk eksploitasi sumber daya alam, khususnya emas.
Ketua Lembaga Nanaku Maluku, Usman Bugis, dengan tegas menyatakan akan melakukan perlawanan terhadap kehadiran perusahaan tersebut di Kecamatan Teluk Waru. Ia mempertanyakan dasar hukum dan dokumen lingkungan yang mengizinkan PT. Strata Pasifik beroperasi di wilayah yang sebagian besar telah ditetapkan sebagai hutan lindung.
“Kami menilai klaim konservasi dan reboisasi ini hanyalah modus. Perusahaan ini sebenarnya ingin melakukan survei emas di Hutan Seram. Mereka berencana menjalankan aktivitas selama 30 tahun, yang menurut saya adalah strategi mafia hutan untuk mengeksploitasi sumber daya alam di kawasan ini,” ujar Usman Bugis.
- Catatan Buruk dan Penolakan Warga
Menurut Usman, PT. Strata Pasifik bukan nama baru di Seram Timur. Pada tahun 2018, izin operasi perusahaan sempat dicabut sementara melalui keputusan gubernur setelah gelombang perlawanan dari masyarakat lokal. Namun, sejak saat itu hingga 2023, perusahaan tidak melakukan kegiatan reboisasi atau konservasi sebagaimana yang dijanjikan.
“Setelah lima tahun menghilang, mereka kembali dengan dalih konservasi dan reboisasi. Ini mencurigakan dan sangat tidak masuk akal. Sebagai anak negeri, saya menolak dibodohi oleh perusahaan yang memiliki rekam jejak buruk di wilayah ini,” tegas Usman.
Ia juga mengungkapkan niatnya untuk menggalang aksi besar-besaran dan melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup serta Gakkum LHK dalam memerangi praktik yang disebutnya sebagai “mafia hitam dengan modus baru”.
- Hutan Seram di Persimpangan Jalan
PT. Strata Pasifik mengklaim proyek ini bertujuan memulihkan ekosistem hutan melalui kegiatan aforestasi, reboisasi, dan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Selain itu, perusahaan berkomitmen melibatkan masyarakat dalam patroli hutan, survei, serta pengembangan infrastruktur sosial seperti pelatihan pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan peternakan. Namun, klaim tersebut diragukan oleh masyarakat lokal dan para aktivis lingkungan. “Kami tidak akan tinggal diam melihat hutan kami hancur atas nama konservasi palsu,” pungkas Usman Bugis.
Penulis: Christ Belseran