titastory.id,London– Sebanyak 63 tahanan politik (tapol) makar di Indonesia mengirimkan desakan ke Gugus Kerja Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Diantara 63 tapol tersebut, terdapat 5 tapol Republik Maluku Selatan (RMS). Laporan ini disampaikan karena para tapol masih tetap ditahan disejumlah penjara dan terancam keselamatannya akibat pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Berbeda sikap, tahanan lainnya telah dipulangkan oleh pemerintah.
Berdasarkan rilis yang diterima redaksi media ini kemarin, ke-63 tapol tersebut meminta pengacara hak asasi manusia (HAM) Jennifer Robinson dan Veronica Koman, dengan dukungan organisasi HAM TAPOL, untuk membawa kasus mereka ke PBB.
Dokumen desakan ini menjelaskan, bahwa 63 tapol tersebut ditahan secara sewenang-wenang dan tidak sah, karena telah terjadi pelanggaran terhadap kewajiban Indonesia dalam hukum HAM internasional.
Para tapol tersebut terdiri dari 56 orang asli Papua, 1 orang non-Papua Indonesia, 5 orang Maluku, dan 1 orang kewarganegaraan Polandia.
Sebagian besar dari mereka masih menunggu untuk disidangkan, tujuh orang telah divonis, sedangkan yang lainnya sedang menjalani proses di persidangan.
Sebanyak 56 tapol disebutkan telah ditangkap ketika aparat keamanan memberangus demonstrasi besar-besaran Papua pada 2019 (“the West Papua Uprising”).
Ada yang ditahan hanya karena membawa bendera Bintang Kejora maupun Benang Raja, atau karena berpartisipasi dalam aksi damai. Selain itu, menjadi anggota dari organisasi yang mendukung hak atas penentuan nasib sendiri: yang mana kesemuanya adalah kegiatan yang dijamin oleh hukum internasional.
Para tapol ersebut dikenakan makar Pasal 106 dan/atau Pasal 110 KUHP, dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun.
“ 56 nama di antaranya telah disampaikan pada Februari kepada Presiden Jokowi ketika beliau mengunjungi Australia, dan juga kepada Menkopolhukam. Namun sejauh ini kita belum mendapat respon apapun, kecuali bahwa Pak Menteri bilang bahwa data tersebut ‘sampah’.
Untuk itu, kami mendesak PBB dan pemerintah Indonesia untuk menanggapi masalah tapol ini secara serius karena sekarang nyawalah taruhannya,”ungkap Veronica Koman dalam rilis tersebut.
Desakan ini juga meminta agar 63 tapol dilepaskan sesegera mungkin dan tanpa syarat.
Pandemi COVID-19, terutama sangat beresiko di penjara Indonesia yang overkapasitas dengan sanitasi yang buruk.
Menanggapi situasi pandemi, Komisioner Tinggi HAM PBB juga telah meminta agar pembebasan tapol harus menjadi prioritas.
Indonesia, dengan angka kematian tertinggi di Asia, telah mengakui resiko penyebaran COVID-19 di penjara yang overkapasitas dengan telah dibebaskannya 30.000 tahanan. Namun, ke-63 tapol ini, yang tidak menimbulkan ancaman bagi masyarakat, masih dipenjara.
Jennifer Robinson mengatakan, desakan ini dibuat karena adanya ancaman serius terhadap keselamatan jiwa tahanan yang ditahan di penjara yang overkapasitas di tengah pandemi di Indonesia. Kini penahanan mereka tidak hanya tidak sah, tapi juga mengancam keselamatan jiwa. Semua 63 tapol tersebut harus segera dibebaskan tanpa syarat.
Kasus-kasus tersebut meliputi:
Sayang Mandabayan (34), satu dari hanya beberapa perempuan yang pernah dikenakan makar, ditangkap dan ditahan pada September 2019 setelah berorasi di aksi yang menjadi bagian dari West Papua Uprising, ketika polisi menemukan 1.496 bendera Bintang Kejora berukuran kecil di tasnya.
Akibat dari penahanan terhadapnya yang tidak sah dan sewenang-wenang, ia terpisah dari anak-anaknya yang masih berumur 1, 2, dan 3 tahun, dan hanya bisa kadang-kadang menyusui bayinya dari balik jeruji di Manokwari, Papua Barat. Ia kehilangan pekerjaannya sebagai ketua DPD Sorong akibat penangkapan dan penahanan ini.
Foto dimana ia sedang menyusui bayinya di balik jeruji sempat viral di Indonesia dan di luar, hingga banyak seruan untuk membebaskannya.
Sayang Mandabayan adalah salah satu dari 56 tapol orang asli Papua yang mengirim desakan ini.
Ke-63 tapol juga termasuk, Paulus “Suryanta” Ginting, juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, orang non-Papua Indonesia pertama yang dikenakan makar sehubungan dengan gerakan penentuan nasib sendiri Papua, dan Jakub Skrzypski, seorang WNA Polandia dan satu-satunya WNA yang pernah dikenakan dan divonis makar hanya karena sempat bertemu dengan organisasi politik Papua yang mengkampanyekan hak atas penentuan nasib sendiri.
Pasangan lansia, Izaak Siahaja (80) dan Pelpina Siahaja (72), dipenjara – diputus bersalah atas makar dan divonis 5,5 dan 5 tahun – hanya karena terdapat bendera Benang Raja, bendera nasional Republik Maluku Selatan, dipajang di dalam rumah mereka.
Pengacara HAM Papua, Gustaf Kawer, ikut menyuarakan kekhawatirannya atas efek dari COVID-19 dan meminta agar seluruh proses hukum yang sedang berjalan dihentikan karena pandemi, dan seluruh tahanan politik segera dibebaskan. (TS-01)
Discussion about this post