titastory, Jakarta – Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 selalu dirayakan sebagai hari penuh sukacita bagi bangsa Indonesia. Namun, bagi sebagian masyarakat Maluku, tanggal itu justru dikenang sebagai awal penderitaan panjang.
Ketika Soekarno dan Hatta membacakan teks Proklamasi di Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945, suasana di Pulau Jawa dipenuhi euforia. Indonesia dinyatakan merdeka setelah lebih dari tiga abad dalam cengkeraman kolonialisme Belanda. Namun, di belahan timur nusantara, khususnya Maluku, gema proklamasi itu tak serta-merta sampai.
“Bagi orang Maluku, 17 Agustus 1945 bukanlah kabar gembira, melainkan awal dari sebuah percabangan sejarah penuh luka,” kata Hendry Reinhard Apituley, SH. MH., dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon, dalam tulisan opini yang dilansir tabaos.id pada 16 Agustus 2019.
Ia menyebut, bagi sebagian masyarakat Maluku, proklamasi justru menjadi hari duka karena menandai periode transisi penuh kekerasan. Banyak keluarga Maluku yang sebelumnya menjadi bagian dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) merasa terjebak dalam arus perubahan yang tak mereka pahami.

Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon, ini dalam tulisannya menegaskan bahwa bagi orang Maluku, 17 Agustus adalah hari perkabungan.
“Banyak nyawa orang Maluku yang hilang, mereka yang setia kepada republik pun tidak pernah mendapat tempat terhormat dalam sejarah resmi,” katanya, sebagaimana dikutip tabaos.id.
Bagi sebagian besar bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945 dikenang sebagai hari kemerdekaan. Namun, bagi orang Maluku, tanggal itu justru meninggalkan jejak duka. Hal ini diungkapkan oleh dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon, yang menyebut proklamasi kemerdekaan Indonesia juga membuka babak baru penderitaan orang Maluku.
“17 Agustus 1945 adalah hari perkabungan bagi orang Maluku,” kata Apituley.
Apituley dalam tulisannya menyatakan, setelah Jepang menyerah dan Belanda mencoba kembali menguasai Indonesia, Maluku menjadi salah satu daerah strategis. Banyak orang Maluku yang direkrut menjadi tentara KNIL. Mereka menghadapi dilema: tetap setia kepada Belanda yang telah memberi mereka posisi militer, atau bergabung dengan republik baru yang diproklamasikan di Jakarta.
Ketegangan ini memuncak dalam berbagai insiden berdarah. Apituley menyebut periode 1945–1950 sebagai “hari-hari perkabungan” karena banyak orang Maluku kehilangan nyawa akibat kekerasan politik, baik dari konflik internal maupun benturan dengan republik.
Jejak Gelap di Balik Proklamasi
Menurut Apituley, sejarah resmi Indonesia kerap menempatkan Maluku sebagai bagian dari pahlawan bangsa yang turut berkorban demi proklamasi. Namun, ia menilai narasi itu tidak sepenuhnya merepresentasikan pengalaman masyarakat Maluku.
Pasca proklamasi, Maluku justru menjadi daerah konflik berdarah. Perbedaan pilihan politik, keterlibatan dalam tentara kolonial Belanda (KNIL), hingga pecahnya pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 1950, menjadikan wilayah ini kerap dilabeli sebagai pengkhianat bangsa.
“Banyak orang Maluku yang setia pada Indonesia, tetapi sejarah mengabaikan mereka. Yang selalu ditonjolkan justru stigma dan pemberontakan,” ujar Apituley.
Ia menuturkan, pada 25 April 1950, lahirlah Republik Maluku Selatan (RMS), yang diproklamasikan oleh Christian Robert Steven Soumokil di Ambon. Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap kekecewaan sebagian orang Maluku yang merasa dikhianati oleh janji-janji politik Belanda kepada mereka serta atas dasar tujuan dan visi yang yang sama yakni menjadi bangsa bebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan. Proklamasi RMS kemudian memicu perang. Pemerintah Republik Indonesia di bawah Presiden Soekarno mengirim pasukan untuk menumpas perlawanan. Ribuan orang Maluku menjadi korban, dan sebagian ditangkap.
Menurut catatan sejarawan George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, RMS bukan hanya gerakan politik, melainkan juga simbol keterputusan Maluku dengan narasi nasional Indonesia dariSerikat menjadi Kesatuan. Sementara, antropolog Lorraine Aragon menulis bahwa peristiwa RMS memperlihatkan bagaimana identitas etnis dan kepentingan politik kolonial membentuk fragmentasi di Indonesia timur.
Dari Pejuang Menjadi Korban Stigma
Sejak masa kolonial, orang-orang Maluku banyak direkrut menjadi tentara KNIL. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, pilihan itu menimbulkan dilema: tetap bersama Belanda atau bergabung dengan republik. Apituley menilai, dilema itulah yang melahirkan tragedi sejarah. “Orang Maluku bukan tidak cinta Indonesia. Tetapi mereka juga punya trauma sejarah panjang yang tidak pernah diakui negara,” katanya.
Sejumlah peristiwa berdarah kemudian menorehkan luka, termasuk pengungsian besar-besaran ke Belanda pada awal 1950-an. Banyak keluarga tercerabut dari tanah kelahirannya, sementara mereka yang tinggal di tanah Maluku menanggung beban stigma politik hingga kini.
Kesaksian-kesaksian sejarah menunjukkan betapa pasca-proklamasi, orang-orang Ambon/Maluku menjadi sasaran kekerasan di Jawa dan sekitarnya. Dalam buku Kebenaran Melebihi Persahabatan (2007), J.D. de Fretes menuturkan serangkaian pembantaian yang terjadi di Jakarta.
Keluarga Boma Latupeirissa di Jatinegara dibantai, keluarga Lopies di Pasar Minggu termasuk anak-anak disiksa, keluarga Agus Souisa satu per satu ditikam, sementara keluarga Lukas Polhaupessy mengalami nasib sama. Seorang dokter, Boetje Tahalele, dibacok ketika bertugas di Jatinegara.
“Di belakang Stasiun Jatinegara, orang-orang Ambon tidak berani lagi keluar-masuk gang tempat tinggal mereka,” tulis de Fretes (hlm. 58–68).
Kekerasan tak hanya terjadi di Jakarta. Di Surabaya, perempuan dan anak-anak orang Maluku bersama warga Belanda dibantai di Gedung Balai Pemuda. Menurut catatan Luhulima (dikutip Butje Hahury), darah korban menutupi lantai marmer hingga setinggi mata kaki orang dewasa.
Seorang ibu Ambon diseret rambutnya di jalanan, lalu ditikam dengan bambu runcing di depan kedua anaknya yang masih berusia 7 dan 10 tahun. Tragedi serupa terjadi di alun-alun Sidoarjo, di mana banyak warga sipil Ambon menjadi korban pembunuhan massal.
Hidup dalam Bayang-Bayang Teror
De Fretes menyebut, kondisi ini menciptakan rasa takut luar biasa. Teriakan “SIAAP!” dari massa bisa berarti serangan terhadap orang Ambon di manapun mereka berada. “Tidak ada sesuatu yang begitu melelahkan dan membuat putus asa seperti rasa takut itu sendiri,” tulisnya.
Situasi genting itu memaksa sesama orang Maluku untuk melakukan penyelamatan. Nama-nama seperti Abdul Mutalib Sangadji, Muhammad Padang, Alberth Latuasan, hingga Nono Tanasale, tampil sebagai pemimpin penyelamat.
Dalam catatan de Fretes (hlm. 78 & 104), sekelompok pasukan Maluku di bawah komando Egmond Pattinama berhasil menemukan ratusan keluarga Maluku—wanita, orang tua, dan anak-anak—bermalam di pegunungan Mojokerto. “Keadaannya sangat menyedihkan. Mereka tidur berderet di tanah dingin, hanya diterangi lampu minyak tanah,” kenang de Fretes.
Hari Perkabungan
Itulah sebabnya, Hendry menekankan bahwa bagi orang Maluku, 17 Agustus tidak hanya hari kemerdekaan, tetapi juga hari perkabungan.
“Perkabungan karena Maluku kehilangan banyak anak bangsanya, perkabungan karena orang Maluku yang setia pada republik dipinggirkan, dan perkabungan karena sejarah menutup mata dari penderitaan itu,” katanya.
Ia mengajak generasi muda untuk menulis kembali sejarah Maluku dengan cara yang lebih adil, dengan memberi ruang bagi kisah para korban dan saksi sejarah.
“Sejarah harus ditulis bukan hanya dari sudut pandang pemenang, tetapi juga dari mereka yang menderita,” ujar Hendry.
Kebencian Sukarno terhadap Orang Maluku
Sikap Presiden Sukarno terhadap orang Maluku juga memperburuk luka sejarah. Menurut Horst Henry Geerken dalam bukunya A Magic Gecko: Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno (2011), Sukarno memandang rendah masyarakat Ambon.
“Di mata Soekarno, orang Ambon lebih rendah daripada yang terendah, kolaborator Belanda sehingga dianiaya dengan kekerasan oleh pasukannya,” tulis Geerken (hlm. 161).
Sikap antipati itu sudah tampak sejak masa pendudukan Jepang. Dalam pidato-pidatonya yang sangat anti-Sekutu, Sukarno menstigma orang Maluku sebagai kaki tangan Belanda dan penghalang kemerdekaan. Stigma tersebut meluas, membuat orang-orang Maluku dimusuhi di berbagai daerah.

Puncak ketegangan terjadi ketika pada 25 April 1950, rakyat Maluku mendeklarasikan Republik Maluku Selatan (RMS). Sehari sebelumnya, Dewan Maluku Selatan (DMS) telah mengadakan referendum atau plebisit di Tulehu, Maluku Tengah, yang menghasilkan suara mayoritas untuk tidak bergabung dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Referendum ini, menurut Parker J.D. Karen dalam Republik Maluku: The Case for Self-Determination (1996), adalah implementasi hak menentukan nasib sendiri sebagaimana dijamin Konstitusi RIS 1950 dan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949.
Namun Sukarno menolak keputusan itu. Alih-alih menghormati perjanjian internasional, ia mengirimkan sekitar 20.000 prajurit Angkatan Darat, 3 pesawat pembom Angkatan Udara, serta 14 kapal perang Angkatan Laut dalam operasi besar yang dikenal sebagai Gerakan Operasi Militer (GOM) III.
Operasi gabungan pertama dan terbesar pasca-kemerdekaan itu menewaskan sedikitnya 10.000 orang Maluku. Menurut Geerken, langkah itu bisa dikategorikan sebagai agresi militer yang melanggar hukum internasional.
Ironisnya, untuk meredam luka dan menarik simpati orang Maluku, Sukarno kerap melontarkan slogan paradoksal: “Indonesia tanpa Maluku bukan Indonesia.” Kalimat ini kemudian diulang-ulang oleh politisi sesudahnya, namun bagi banyak orang Maluku, pernyataan itu justru dianggap kosong, penuh paradoks, bahkan menipu.
Bagi Hendry Reinhard Apituley, kontradiksi antara kata dan tindakan Sukarno membuktikan ketidakselarasan dalam membangun bangsa. “Negara didirikan di atas kebohongan, dengan mengorbankan ribuan nyawa orang Maluku. Maka 17 Agustus tidak layak semata-mata dirayakan dengan gegap gempita, melainkan perlu juga dikenang sebagai hari perkabungan,” ujarnya.
Antara Luka dan Harapan
Kini, hampir delapan dekade setelah proklamasi, luka sejarah itu belum sepenuhnya sembuh. Sebagian diaspora Maluku di Belanda masih mengibarkan bendera RMS setiap 25 April, sementara di tanah air, generasi muda Maluku berusaha menafsir ulang sejarah dengan cara mereka sendiri.
Apituley mengingatkan bahwa membaca ulang sejarah bukan berarti membuka luka lama untuk menimbulkan konflik baru. Sebaliknya, sejarah harus dipahami agar bangsa ini tidak jatuh ke dalam “lupa kolektif”.
“Sejarah bukan hanya tentang kemenangan, tapi juga tentang mereka yang tersingkir. Bagi orang Maluku, 17 Agustus 1945 bukan sekadar hari merdeka, tapi juga hari perkabungan,” tulisnya.
Refleksi ini menegaskan bahwa merdeka bagi Indonesia tidak hanya soal simbol politik di Jakarta, tetapi juga bagaimana semua wilayah—termasuk Maluku—merasakan keadilan dan kesejahteraan.
Penulis : Redaksi
Catatan: Artikel ini disarikan dari opini Hendry Reinhard Apituley, SH. MH. di tabaos.id (16 Agustus 2019) dengan judul “Sejarah Mencatat 17 Agustus 1945 Adalah Hari Perkabungan Bagi Orang Maluku”, serta diperkaya dengan referensi karya George McTurnan Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia) dan literatur sejarah lain terkait RMS.