12 Tahun Putusan MK 35/2012: Keadilan untuk Masyarakat Adat Masih Terlunta

28/05/2025
Foto : Ist

titastory, Jakarta – Dua belas tahun sudah sejak Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara. Namun, hingga kini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat sebagai turunan mandat konstitusional itu tak kunjung disahkan.

Padahal, ketiadaan payung hukum nasional telah menjadikan masyarakat adat terus mengalami kerentanan struktural—dari perampasan wilayah hingga kriminalisasi.

“Sebagai salah satu anggota tim penyusun anotasi Putusan MK 35, saya berharap ini jadi tonggak penyelesaian konflik agraria. Tapi itu hanya mimpi. Nyaris tak ada perubahan di lapangan,” ujar Siti Rakhma Mary, perwakilan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, dalam sebuah diskusi, Senin, 27 Mei 2025.

Diskusi Publik tentang 12 Tahun Putusan MK 35 dan Kegentingan Pengesahan RUU Masyarakat Adat. Foto: Ist

 

Hingga kini, menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat 342 produk hukum daerah yang mengakui eksistensi masyarakat adat. Namun, tanpa undang-undang nasional, perlindungan hukum atas wilayah dan hak adat tetap lemah.

Dari 26,9 juta hektare wilayah adat yang telah diregistrasi Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), hanya 14 persen yang mendapat pengakuan resmi. Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), baru menetapkan hutan adat di 123 komunitas dengan luas total 221.648 hektare.

Kontras dengan perlindungan, laju penerbitan izin korporasi justru terus meningkat. AMAN mencatat sepanjang 2024, terdapat 2,8 juta hektare wilayah adat yang dirampas, naik dari 2,5 juta hektare pada 2023. Tercatat pula 121 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat di 140 komunitas.

 

Pembelokan Mandat Konstitusi

Erasmus Cahyadi, Deputi Sekjen AMAN Bidang Advokasi dan Politik, menilai pemerintah justru membelokkan semangat Putusan MK 35.

“Putusan MK menyebut hutan adat sebagai bagian dari Hutan Hak. Tapi Menteri Kehutanan justru membuat klasifikasi baru: hutan negara, hutan hak, dan hutan adat. Ini inkonstitusional,” ujarnya.

Erasmus juga menyebut keberadaan Peraturan Daerah (Perda) tidak cukup kuat melindungi hak-hak masyarakat adat. “RUU Masyarakat Adat adalah solusi yang harus segera diwujudkan.”

Sayangnya, Satgas Hutan Adat bentukan pemerintah pun dinilai belum berjalan maksimal.

Potret masyarakat adat Marfenfen sedang berada di papan selamat datang TNI AL. Tampak masyarakat setempat protes keberadaan papan milik TNI AL tersebut karena dianggap menyerobot tanah ulayat meraka. Foto: Ist

 

Harapan dan Tantangan Legislasi

Di sisi parlemen, Martin Manurung, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, menyebut bahwa proses legislasi RUU Masyarakat Adat telah mendapat lampu hijau dari pimpinan DPR.

“Kami mengajak seluruh pihak untuk mengonsolidasikan kekuatan non-parlemen agar proses di DPR bisa berjalan paralel,” kata Martin.

Menurutnya, keberadaan UU Masyarakat Adat sangat krusial untuk menyatukan ragam pengaturan sektoral yang selama ini tumpang tindih dan menyulitkan pemenuhan hak masyarakat adat.

“Tidak boleh ada masyarakat adat yang terus-menerus dizalimi. Pengakuan dan perlindungan adalah hak mereka, dan negara harus hadir,” tegas Martin.

Bentuk penolakan oleh masyarakat adat Negeri Saunalu terkait pemasangan patok Hutan Produksi Konfersi (HPK) di wilayah petuanan Adat mereka. Foto : titastory.id

Usulan Perubahan Paradigma

Akademisi Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menyoroti pentingnya pergeseran paradigma dalam penyusunan RUU ini. Menurutnya, draf undang-undang baru harus menitikberatkan pada perlindungan, bukan sekadar pengakuan.

“Diskursus selama ini memberi ruang terlalu besar bagi pemerintah untuk mengakui atau tidak mengakui. Perlindungan harus menjadi keharusan konstitusional, bukan pilihan administratif,” ujar Yance.

Yance juga mengusulkan pendekatan baru dalam proses pendataan masyarakat adat, semudah pengurusan KTP, serta menyarankan metode omnibus law agar RUU ini efektif merombak undang-undang sektoral yang tumpang tindih.

Namun, Siti Rakhma Mary berpendapat pengakuan tetap menjadi kunci utama.

“Tanpa pengakuan, perlindungan tidak bisa berjalan maksimal. Kalau wilayah adat sudah diberikan izin konsesi kepada korporasi, pengakuan harus tetap dilakukan. Pemerintah wajib mengeluarkan korporasi itu jika masyarakat adat menghendakinya,” kata Rakhma.

Aksi Masyarakat Adat Minamin dan Saolat di Kawasan Hutan Tofu, Halmahera Timur (Foto: titastory)

Ia juga menekankan pentingnya mengatur soal restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi dalam RUU sebagai bentuk pemulihan atas kerugian masyarakat adat yang selama ini dibiarkan.

Dengan masih absennya RUU Masyarakat Adat, masyarakat adat tetap dibiarkan berada dalam ketidakpastian hukum. Sementara itu, laju investasi dan proyek pembangunan nasional terus menggerus wilayah-wilayah adat yang telah eksis jauh sebelum republik ini berdiri.

Selama negara belum menjamin hak hidup, wilayah, dan martabat masyarakat adat dalam konstitusi yang dijalankan, maka konflik struktural dan ketidakadilan agraria hanya akan terus berulang.

error: Content is protected !!