titastory.id, dobo – Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kepulauan Aru memicu gelombang protes dari mahasiswa dan pemuda setempat. Mahasiswa PSDKU Unpati Aru, Rumah Sastra Arafura, dan Orang Muda Katolik, yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Aru (SAPA), menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) pada Kamis (10/10/2024). Mereka mengecam tindakan kekerasan seksual yang kian mengkhawatirkan di lingkungan pendidikan.
Aksi ini dipicu oleh kasus yang menimpa sejumlah siswi SMP dan SMA, yang menjadi korban kekerasan oleh pendidik mereka. Para mahasiswa menuntut perhatian serius dari pihak berwenang untuk menangani masalah ini. Dalam orasinya, Beny Alatubir, penanggung jawab aksi, menegaskan bahwa jika tidak segera diambil langkah tegas, kekerasan seksual akan terus mendapat kesempatan untuk berkembang.
“Kejahatan seperti ini tidak memandang status sosial. Jika tidak ditanggapi dengan serius, hal ini akan terjadi di lingkungan-lingkungan yang rentan,” ujar Beny dalam orasinya.
Ia juga menyoroti ketidakamanan yang dirasakan orang tua akibat peristiwa kekerasan seksual ini. Menurutnya, orang tua kini khawatir menyekolahkan anak-anak mereka di tempat yang rawan menjadi lokasi kekerasan.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Didesak Bertindak
Menanggapi tuntutan massa, Kepala DP3A Kepulauan Aru, Novita Roragabar, menyampaikan keprihatinannya atas meningkatnya kasus kekerasan seksual di wilayah tersebut. Novita mengklaim pihaknya telah melakukan berbagai upaya, seperti sosialisasi dan pendampingan, namun menegaskan bahwa tuduhan intimidasi terhadap korban tidak benar.
“Kami telah melakukan yang terbaik dalam pendampingan, dan tidak ada intimidasi seperti yang disebutkan dalam aksi ini. Semua proses pendampingan dilakukan sesuai peraturan yang berlaku,” jelas Novita.
Namun, massa aksi dan keluarga korban menilai tindakan yang diambil oleh DP3A dan pihak Polres Kepulauan Aru masih jauh dari memadai. Salah satu orang tua korban, yang menggunakan nama samaran Semy, menyampaikan keluhannya tentang proses pemeriksaan yang dianggap intimidatif. Ia menegaskan bahwa anak-anak korban kekerasan harus diperlakukan dengan cara yang berbeda dari pelaku kejahatan.
“Pemeriksaan yang dilakukan kepada korban-korban ini seharusnya bersifat ramah anak. Mereka bukan pelaku kriminal, dan cara penanganannya harus berbeda,” kata Semy.
Selain menuntut tindakan tegas dari DP3A, massa juga mengecam kinerja Polres Kepulauan Aru yang dinilai tidak profesional dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak. Para orang tua korban melaporkan bahwa ada ungkapan yang meremehkan dari oknum polisi saat menggali keterangan dari korban.
Kritik Terhadap Proses Penegakan Hukum
Setelah terungkapnya kasus kekerasan seksual yang menimpa sembilan anak di bawah umur, yang dilakukan oleh oknum operator sekolah YMP, orang tua korban bersama anak-anak mereka mendatangi Polres Kepulauan Aru untuk melapor. Namun, proses pengambilan keterangan dari para korban dinilai jauh dari standar profesional.
Beny (nama samaran), salah satu orang tua korban, mengungkapkan kepada titastory.id bahwa selama proses pemeriksaan, beberapa oknum polisi menyepelekan kekerasan seksual yang dialami anak-anak mereka. Ia menyatakan bahwa kekerasan ini merupakan tindak pidana serius yang seharusnya ditangani dengan cara yang ramah anak, tidak disamakan dengan kasus kejahatan biasa.
“Ini adalah kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, jadi proses menggali informasi atau meminta keterangan seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Tidak bisa disamakan dengan cara menginterogasi pelaku perampokan atau kejahatan lainnya,” ujar Beny.
Ia menambahkan bahwa selama pemeriksaan, banyak anak yang merasa terintimidasi oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh polisi. Menurutnya, beberapa oknum polisi bahkan meremehkan kasus tersebut dengan mengatakan bahwa tindakan pelaku hanya berupa “pegangan lengan dan remasan biasa.”
Tanggapan Kapolres dan Desakan Orang Tua
Kapolres Kepulauan Aru, Dwi Bachtiar, saat menemui massa aksi menyampaikan bahwa kasus YMP masih belum memiliki cukup bukti, sehingga belum bisa diproses lebih lanjut. Namun, ia menegaskan bahwa pihak Polres tetap berkomitmen menangani kasus ini dengan serius, terlebih karena kasus ini melibatkan anak polisi.
Beny juga mengingatkan pihak kepolisian bahwa tindakan YMP, baik secara verbal maupun non-verbal, sudah termasuk dalam pelanggaran pidana sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ia menuntut agar Polres Aru lebih profesional dalam menangani kasus ini dan memastikan bahwa anak-anak korban mendapatkan perlakuan yang pantas selama proses pemeriksaan.
Semy (nama samaran), orang tua korban lainnya, juga berharap agar pihak kepolisian menempatkan pemeriksa yang kompeten untuk kasus anak-anak, yang mampu membedakan antara kejahatan terhadap anak dan kasus pidana lainnya.
Protes dan tuntutan ini mencerminkan kekecewaan orang tua terhadap penanganan kasus oleh Polres Kepulauan Aru yang dinilai tidak profesional dan lamban dalam menegakkan keadilan bagi anak-anak korban kekerasan seksual. (TS-05)
Discussion about this post