JAKARTA,TITASTORY.ID,- Philip Jacobson, seorang wartawan asal Chicago, Amerika Serikat, yang sudah satu dekade bekerja di Indonesia, mendapat Penghargaan Oktovianus Pogau untuk Keberanian dalam Jurnalisme dari Yayasan Pantau di Jakarta hari ini.
“Phil Jacobson berani mengambil keputusan pindah ke Jakarta, belajar bahasa Indonesia, lantas meliput, belakangan menyunting, berbagai berita lingkungan hidup termasuk dirusaknya ratusan ribu hektar hutan di Indonesia,” kata Alexander Mering, salah satu juri yang ditunjuk Yayasan Pantau.
“Jacobson bahkan ditangkap di Palangka Raya, ditahan selama 45 hari, lantas dideportasi, dilarang masuk ke Indonesia, tanpa mengeluh, bahkan menunjukkan keteguhan soal perlunya kerja ini dilanjutkan. Dia mendorong kita semua berjuang lebih keras melawan perampasan lahan atau hutan adat, baik oleh perusahaan perkebunan sawit maupun perusahaan tambang, yang secara jahat,” kata Mering, yang juga orang Dayak dari Kalimantan Barat.
Phil Jacobson adalah contributing editor dari media lingkungan Mongabay. Dia ikut memimpin beberapa proyek liputan kolaborasi Mongabay dan The Gecko Project, yang melibatkan beberapa reporter Mongabay di Indonesia maupun negara lain, seperti “Menguak Aksi Kerajaan Kecil Sawit di Kalimantan”, “Tangan-tangan Setan Bekerja, Kesepakatan Lahan di Balik Jatuhnya Akil Mochtar,” “Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua.”
Pada 2018, Jacobson menulis, “Revealed: Paper giant’s ex-staff say it used their names for secret company in Borneo,” soal Asia Pulp & Paper memakai nama-nama karyawan mereka buat bikin perusahaan bayangan PT Muara Sungai Landak dan PT Cakrawala Persada Biomas, di Kalimantan. Kedua perusahaan tersebut melakukan kejahatan di bidang kehutanan.
Yayasan Pantau memandang perjuangan Phil Jacobson sejalan dengan visi Penghargaan Oktovianus Pogau, yang ingin mendorong keberanian dalam jurnalisme seiring dengan tujuan Yayasan Pantau guna meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia.
Phil Jacobson kelahiran Januari 1989 di Los Angeles namun besar di Chicago. Dia kuliah di Northwestern University, dekat Chicago. Pada 2011, ketika lulus sarjana jurnalisme, dia memutuskan datang ke Jakarta untuk bekerja sebagai copy editor harian Jakarta Globe.
Dari Indonesia, dia lantas bekerja sebagai reporter freelance buat sejumlah publikasi Asia. Pada 2015, Jacobson mulai bekerja untuk Mongabay, sebuah situs berita dengan pusat di Palo Alto, California. Dia lebih banyak melakukan koordinasi dengan belasan wartawan Mongabay di Indonesia serta menyunting liputan mereka dalam bahasa Inggris. Liputan mereka termasuk hak masyarakat adat, kehutanan dan kelautan, bisnis pertanian, pertambangan, kebakaran hutan dan asap. Dia terkadang datang ke Indonesia buat koordinasi.
Pada 17 Desember 2019, ketika melihat acara dengar pendapat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Dewan Perwakilan Rakyat di Palangka Raya, petugas imigrasi menahan Jacobson dengan tuduhan dia masuk ke Indonesia tanpa “visa wartawan.” AMAN adalah organisasi advokasi hak adat terbesar di Indonesia.
Jacobson memakai “visa bisnis.” Paspornya ditahan, Jacobson dijadikan tahanan kota, sampai diinterogasi pada awal Januari, lantas dipenjara Palangka Raya. Penahanannya mengundang protes dari organisasi masyarakat adat, jaringan lingkungan hidup, kelompok wartawan maupun lembaga yang memperjuangkan kebebasan pers.
Undang-undang Imigrasi tahun 2011 dikritik karena menjadikan administrasi visa wartawan perkara pidana dengan hukuman penjara lima tahun. Ini pasal yang hambat kebebasan pers di Indonesia. Undang-undanng Imigrasi ini membuat Indonesia sebagai negara, yang sulit buat mendapatkan visa wartawan.
Ada clearing house dengan wakil dari 18 kementerian dan lembaga di Kementerian Luar Negeri. Rapat mingguan clearing house ini berdasarkan musyawarah. Artinya, wakil yang paling paranoid dalam rapat menentukan diterima atau ditolak sebuah lamaran visa wartawan.
Mereka termasuk Kementerian Agama, Sekretariat Negara (Biro Kerjasama Teknis Luar Negeri), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kepolisian Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan dua direktorat jenderal (Imigrasi dan Perdagangan Migran), Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.
Di Palangka Raya, Jacobson didampingi para aktivis lokal, termasuk dari Wahana Lingkungan Hidup, serta AMAN Kalimantan Tengah. Parlin Bayu Hutabarat dari Pakpahan Hutabarat Law Office serta Aryo Nugroho dari Lembaga Bantuan Hukum Palangkaraya dampingi Jacobson selama pemeriksaan.
Kedua orang tua di Amerika Serikat, Randy Jacobson dan Elizabeth Smith, minta perhatian dari pemerintah Amerika Serikat. Illyah Sumanto, seorang sahabatnya datang dari Kuala Lumpur ke Palangka Raya. Mongabay juga minta perhatian dari Kedutaan Besar Amerika Serikat akan terhadap kesulitan Jacobson.
Pada 24 Januari 2020, Dutabesar Joseph R. Donovan Jr. menemui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD di Jakarta serta bicara soal perkara Jacobson. Mahfud MD sesudahnya mengumumkan bahwa perkara hukum Jacobson tak diteruskan. Pada 31 Januari 2020, imigrasi Palangka Raya membebaskan Jacobson dan dideportasi dari Indonesia.
Dari New York, ketika sudah tiba di rumah Elizabeth Smith, Jacobson menyatakan bahwa dia akan terus bekerja untuk Mongabay, meliput Indonesia dan Asia-Pasifik. Lantas pandemi virus corona muncul. Semua orang di seluruh dunia diminta jaga jarak.
Pada Juni 2020, dia menyelesaikan laporan “The Consultant: Why did a palm oil conglomerate pay $22m to an unnamed ‘expert’ in Papua?” bersama The Gecko Project, Korean Center for Investigative Journalism-Newstapa dan Al Jazeera. Ini soal dugaan suap oleh Korindo, sebuah perusahaan Korea Selatan, dalam merampas lahan milik orang asli Papua.
Ironisnya, Jacobson belum pernah datang ke Papua dan Papua Barat karena dua provinsi ini dibatasi untuk wartawan asing sejak 1960an. Dia bekerja dengan beberapa wartawan Indonesia yang lakukan liputan di Papua. Jacobson juga dapat penghargaan soal liputan Indonesia dari Society of Environmental Journalists Awards dan Fetisov Journalism Awards. Ini membuktikan betapa clearing house, sensor dan aturan imigrasi, yang tidak relevan, seharusnya tak perlu membuat wartawan takut.
Alexander Mering mengatakan Penghargaan Pogau diberikan kepada setiap wartawan yang bekerja untuk liputan Indonesia tanpa pandang kewarganegaraan mereka atau identitas lain. “Kami hormat pada pergulatan serta kesulitan yang dihadapi Jacobson. Dia tak mundur, dia tak tunduk dalam tekanan, tak takut dengan jeruji penjara,” ujar Mering.
Tentang Penghargaan Pogau
Nama Oktovianus Pogau, diambil dari nama seorang wartawan-cum-aktivis Papua, lahir di Sugapa, kelahiran 5 Agustus 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura. Penghargaan ini diberikan setiap tahun guna mengenang keberanian Pogau.
Pada Oktober 2011, Pogau melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang asli Papua ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Dia merekam suara tembakan. Tiga orang Papua meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar. Tak ada satu pun aparat Indonesia diperiksa dan dihukum. Kekurangan liputan media terhadap berbagai pelanggaran terhadap orang asli Papua mendorong Pogau mendirikan Suara Papua.
Pogau juga dipukuli polisi ketika meliput demonstrasi di Manokwari pada Oktober 2012. Pogau juga menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat sejak 1965. Dia juga protes pembatasan pada wartawan Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata.
Phil Jacobson kebetulan mengenal Oktovianus Pogau ketika mereka sama bekerja untuk Jakarta Globe. Mereka tak pernah bertemu langsung dengan Jacobson di Jakarta dan Pogau di Jayapura.
Juri dari penghargaan ini lima orang: Andreas Harsono (Human Rights Watch, Jakarta), Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), dan Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura).
Sumber : Yayasan Pantau
Discussion about this post