Warga Wawoni Laporkan Anak Usaha Harita Grup ke Polda Sulawesi Tenggara

by
07/02/2025
armanto melaporkan aktivitas ilegal PT Gema Kreasi Perdana (GKP) ke Polda Sulawesi Tenggara. Aktivitas ilegal tersebut dilakukan di Desa Sukarela Jaya dan Dompo-Dompo, Roko-Roko Raya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Foto : Ist

titastory, Wawoni – Seorang warga Wawoni bernama Sarmanto melaporkan aktivitas ilegal PT Gema Kreasi Perdana (GKP) ke Polda Sulawesi Tenggara. Aktivitas ilegal tersebut dilakukan di Desa Sukarela Jaya dan Dompo-Dompo, Roko-Roko Raya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Sarmanto menegaskan, anak usaha Harita Grup itu masih melakukan aktivitas menambang meskipun tak mengantongi izin legal maupun sosial. Padahal, Pada 7 Oktober 2024 lalu, Majelis Hakim Mahkamah Agung memenangkan warga Wawonii yang berupaya membatalkan dan mencabut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 707,10 hektar.

Aktivitas perusahaan yang dipantau melalui citra satelit menunjukkan, telah terjadi bukaan lahan seluas 501,7 hektar sepanjang 2024 hingga Februari 2025, terutama di daerah Dompo-Dompo Jaya yang menjadi area konsesi PT GKP.

Selain itu, warga juga memenangi dua gugatan uji materi Perda RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 yang mengalokasikan ruang untuk aktivitas pertambangan.

Pertama, putusan perkara nomor 57 P/HUM/2022 pada 22 Desember 2022 dan kedua, perkara nomor 14 P/HUM/2023 pada 11 Juli 2023. Dengan dikabulkannya permohonan uji materi warga oleh Majelis Hakim MA, alokasi ruang tambang yang diakomodir oleh Perda di seluruh kawasan Wawonii menjadi batal seluruhnya.

PT GKP sempat mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) agar dapat menambang di Wawonii. Namun, dalam uji materi perkara itu, Pada 21 Maret 2024, Majelis Hakim MK menolak perkara tersebut. Pihak MK menegaskan pulau kecil bukan untuk pertambangan mineral.

Menurut Sarmanto, penolakan dari warga yang berulang kali melakukan pemblokiran hingga bertarung di pengadilan menegaskan perusahaan telah kehilangan alas sosial untuk beroperasi.

Namun, meskipun telah kehilangan seluruh legitimasi hukum dan sosial untuk melanjutkan operasi, GKP tetap terus melanjutkan aktivitas menambang. Hal Ini menunjukkan anak usaha Harita tersebut membangkang dari hukum yang berlaku di Indonesia, sekaligus melakukan praktik pertambangan ilegal.

“Kami sudah memberikan bukti-bukti seperti salinan putusan Mahkamah Agung yang mebatalkan IPPKH PT GKP, dokumentasi aktivitas PT GKP di Pulau Wawonii dan bukti-bukti lain terkait dengan dugaan pelanggaran PT GKP,” tegas Sarmanto usai menghadiri panggilan klarifikasi Polda Sulawesi Tenggara, Rabu, (5/2).

Kongkalikong Pemerintah Daerah dan Harita

Pulau Wawonii yang memiliki luas 715 km2 merupakan pulau kecil berdasarkan ketentuan UU Nomor 27 Tahun 2007 jo UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Ketentuan perundang-undangan menyatakan wilayah dengan luas kurang dari 2.000 km2 merupakan pulau kecil. Selain itu, peraturan perundang-undangan juga menegaskan kegiatan pertambangan tidak dapat dilakukan di dalam wilayah pulau kecil.

Ambisi Harita Group melalui salah satu anak usahanya, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) ingin menguasai pulau kecil Wawonii. Ironisnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara rela berkongsi dengan perusahaan untuk mendukung keserakahan tersebut.

Sementara itu, Jaringan Tambang (JATAM) mengutuk adanya informasi sesat kepada publik yang dilakukan PT GKP, informasi itu adalah upaya perusahaan masih beroperasi dan menjadi dasar penundaan eksekusi.
Diduga, pemerintah sengaja membelokkan cara memaknai putusan hukum dengan memberikan pendapat sesat seolah-olah perusahaan masih memiliki legalitas untuk beroperasi.

“Hal itu merupakan bentuk penipuan terhadap publik yang setara dengan berita bohong, yang diatur pidananya dalam KUHP dan UU ITE,” Kata Muh Jamil.

Aktivitas ilegal perusahaan menyalahi pidana kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusak Hutan dan atau UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara. Tindakan itu juga melanggar UU Tindak Pidana Korupsi, karena telah mengambil sumber daya nikel di kawasan hutan pulau Wawonii tanpa izin, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan dan merugikan negara.

Dalam siaran pers yang dirilis pada Rabu, 22 Januari 2025, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Andi Azis menyatakan, GKP dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan diktum 3 dan 4 SK Menteri Kehutanan Nomor 576 Tahun 2014 terkait Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Ia menyatakan GKP tetap bisa melakukan kegiatan pertambangan, menjual hasil tambang, dan membayar PNBP ke negara. Padahal, SK ini telah batal demi hukum dan pembatalan itu ditegaskan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara kasasi nomor 403 K/TUN/TF/2024.

Dengan demikian, pernyataan Andi Azis jelas keliru dan bertentangan dengan hukum. Pernyataan itu dipekuat Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.

“Hal ini mengisyaratkan pemerintah Sulawesi Tenggara di level pemerintahan provinsi, tengah berupaya melakukan pembangkangan hukum yang berlaku di NKRI alih-alih menaatinya,” kata Kuasa Hukum warga Wawonii Ady Anugrah Pratama.

Adanya upaya pembangkangan hukum yang dilakukan pemerintah tersebut diduga menjadi alasan eksekusi pengusiran PT GKP tak kunjung dilakukan. Selain itu, revisi atas Perda RTRW sebaggaimana putusan MA juga tak dilaksanakan.

“Kongkalikong pembangkangan hukum yang dilakukan pemerintah daerah Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Kepulauan bersama dengan perusahaan mengabaikan keselamatan warga Wawonii,” ungkapnya.

Adapun upaya peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh PT GKP atas pembatalan IPPKH kerap dijadikan tameng bagi pemerintah untuk menghindari eksekusi putusan Mahkamah Agung.

Padahal, menurut ketentuan Pasal 65 UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, membiarkan perusahaan terus beroperasi akan menimbulkan kerugian negara, kerusakan lingkungan hidup dan konflik sosial di Pulau Wawonii, yang justru menjadi beban baru bagi Pemerintah Sulawesi Tenggara.

Upaya PK yang diajukan PT GKP bukan merupakan landasan berkekuatan hukum tetap yang dapat menghalangi terjadinya proses eksekusi pencabutan IPPKH sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.

“Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan IPPKH PT GKP itu mengikat semua pihak tanpa terkecuali. Harusnya pemerintah lewat instansi terkait dan PT GKP menghormati dan mengikuti putusan tersebut. Demi hukum dan keadilan, PT GKP harus berhenti operasi di Pulau Wawonii dan mematuhi putusan tersebut,” tegasnya.

Penulis : Redaksi

error: Content is protected !!