Warga Seram Utara Masih Ditandu, Janji Pembangunan Kembali Dipertanyakan

18/12/2025
Keterangan gambar: Warga Seram Utara Malteng yang sakit terpaksa harus ditandu untuk mendapat perawatan di instalasi kesehatan, Foto: Ist

Maluku Tengah, — Di tengah pidato pembangunan dan laporan kinerja pemerintah daerah, warga pegunungan Seram Utara masih dipanggul di atas bambu. Bukan untuk ritual adat, melainkan untuk bertahan hidup. Jalan darat yang dijanjikan bertahun-tahun tak kunjung hadir, memaksa warga menandu orang sakit menembus hutan dan tanjakan demi layanan medis paling dasar. Potret ini kembali viral, sekaligus menampar keras wajah negara yang gemar mengklaim “hadir hingga pelosok”, namun absen ketika nyawa rakyat dipertaruhkan.

Di Maluku Tengah, ketimpangan infrastruktur bukan sekadar statistik, melainkan tragedi berulang. Setiap momentum politik datang, janji pembangunan kembali diucapkan. Setiap kekuasaan berakhir, penderitaan tetap tinggal. Seram Utara menjadi cermin kegagalan negara memenuhi hak dasar warganya: akses jalan, layanan kesehatan, dan martabat hidup yang setara.

Keterangan gambar: Proses tandu warga sakit, potret ketimpangan di Maluku, Foto: Ist

Bagi warga Seram Utara, peristiwa ini bukan kejadian luar biasa. Ia adalah rutinitas pahit yang terus berulang. Jalan darat yang layak masih menjadi kemewahan, meski janji pembangunan kerap dilontarkan dari satu periode pemerintahan ke periode berikutnya. Ketika sakit datang, warga hanya punya dua pilihan: ditandu berjam-jam melewati bukit dan hutan, atau pasrah menunggu nasib.

Unggahan-unggahan di media sosial merekam bukan hanya penderitaan fisik, tetapi juga kelelahan batin. Seorang warganet, Jafet Tibalilatu, menulis dengan nada getir dalam dialek lokal, menggambarkan betapa berat hidup di wilayah pegunungan tanpa akses dasar. “Janji bikin jalan dari dulu seng pernah terealisasi. Sengsara terus,” tulisnya.

Nada serupa disampaikan akun Atuany Delkin, yang menyebut janji pembangunan tak lebih dari rangkaian kebohongan politik. “Janji tinggal janji, parlente jalan terus,” katanya, menyindir elite yang datang hanya saat dibutuhkan suara rakyat.

Kemarahan publik tak berhenti pada soal infrastruktur. Banyak warganet mengaitkan penderitaan warga pedalaman dengan siklus politik elektoral. Setiap musim pemilihan, Seram Utara didatangi janji dan baliho. Setelahnya, wilayah itu kembali tenggelam dalam kesunyian.

Andi Selu, dalam komentarnya, mengingatkan warga agar tak lagi terjebak politik uang. “Jangan mau ditukar uang seratus ribu. Lima tahun katong tanggung sengsara,” tulisnya. Pesan itu mencerminkan kesadaran baru bahwa ketertinggalan bukan semata akibat geografis, melainkan juga hasil dari keputusan politik yang terus berulang.

Komentar lain datang dari Syalomy Lilihata, yang menyebut kondisi ini sebagai cermin kemunafikan tata kelola pemerintahan. Ia mempertanyakan keadilan pembangunan yang selalu berpusat di kota, sementara masyarakat pedalaman diperlakukan sebagai angka statistik belaka.

Potret warga yang ditandu di Seram Utara kini menjadi simbol ketimpangan pembangunan di Maluku. Ia bukan sekadar soal jalan rusak atau fasilitas kesehatan terbatas, melainkan tentang hak dasar warga negara yang tak kunjung dipenuhi. Di negeri kepulauan yang kerap diagungkan sebagai kaya sumber daya, sebagian warganya masih harus mempertaruhkan nyawa hanya untuk berobat.

Pertanyaannya kini sederhana namun mendesak: sampai kapan penderitaan ini dibiarkan menjadi tontonan tahunan tanpa perubahan nyata?

 

error: Content is protected !!