Warga Sagea–Kiya Pertahankan Ruang Hidup dari Gempuran PT MAI: Kami Tidak Butuh Tambang

22/10/2025
Keterangan gambar: Puluhan Warga Desa Sagea Geruduk Lokasi Tambang PT. Mining Abadi Indonesia (MAI) diduga belum mengantongi izin lengkap untuk beroperasi di wilayah Sagea dan Kiya. (Foto: Tangkapan gambar dari video warga).

Sagea Kiya, Halmahera Tengah – Suasana Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Maluku Utara, kembali memanas. Setelah protes panjang terhadap aktivitas tambang nikel PT Mining Abadi Indonesia (PT MAI), kini warga Sagea dan Kiya menegaskan sikap: mereka bukan menuntut kompensasi, tapi mempertahankan ruang hidup.

Kemarahan warga memuncak setelah kunjungan Bupati Halmahera Tengah Ikram Malan Sangadji, Wakil Bupati Ahlan Djumadi, dan Sekretaris Daerah Bahri Sudirman pada Senin, 13 Oktober 2025. Pertemuan itu hanya membahas dua hal: ganti rugi dua mobil warga yang dirusak dan kompensasi lahan yang telah diserobot perusahaan.

Namun bagi warga, substansi perlawanan jauh melampaui persoalan uang atau kendaraan.

“Perjuangan kami bukan soal ganti rugi. Ini soal ruang hidup, soal masa depan anak-anak kami,” tegas Mardani Legayelol, Juru Bicara Koalisi Save Sagea, dalam keterangan pers di Sagea, Selasa (21/10).“Karst Sagea adalah benteng kami, sumber air kami, dan tempat roh leluhur kami bersemayam. Kalau ini rusak, kami kehilangan kehidupan.”

Keterangan gambar: Tampak Dari Atas Kawasan Bentangan alam kawasan Karst Sagea, yang terhubung dengan Gua Bokimaruru dan Sungai Sageyen (Foto: Save Sagea)

Tambang di Atas Ruang Konservasi

Penolakan warga tidak datang tanpa dasar. Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, Lampiran IV halaman 264, kawasan Karst Bokimoruru (Sagea) ditetapkan sebagai salah satu dari tiga kawasan prioritas konservasi di Maluku Utara.

Selain itu, Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Tengah 2024–2043 menegaskan wilayah Sagea sebagai Zona Kawasan Karst Kelas I, yang hanya diperuntukkan bagi kegiatan konservasi dan penelitian, bukan pertambangan.

“Pemerintah daerah dan PT MAI sedang melanggar hukum tata ruang yang mereka buat sendiri,” ujar Julfikar Sangaji dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara.
“Kawasan karst itu bukan ruang kosong. Ia adalah ekosistem air, hutan, dan spiritualitas masyarakat adat Sagea–Kiya. Menambang di sana sama saja menghancurkan kehidupan.”

Keterangan gambar: Tim Ekspedisi SaveSagea ketika meninjau Goa Bokimoaruru, tampak terlihat Keindahan Ornamen di dalam Gua Bokimaruru, Foto: #SaveSagea

Warga menyebut dua wilayah yang kini terancam oleh operasi tambang: Karst Sagea dan Telaga Legayelol.Kedua kawasan ini tidak hanya memiliki nilai ekologis tinggi, tetapi juga fungsi sosial dan spiritual yang erat dengan tradisi masyarakat.

Karst Sagea dengan luas 5.714 hektare membentang dari Pegunungan Legayelol hingga Goa Bokimaruru dan Telaga Yonelo. Wilayah ini menjadi sumber utama air bersih dan pangan, juga tempat ritual adat yang dijaga turun-temurun.

“Kami lahir dan hidup dari tanah ini. Air kami mengalir dari karst ini. Kalau tambang masuk, habis semua,” kata Mardani.“Kami bukan menolak kemajuan, tapi kami menolak kematian.”

Aktivitas eksplorasi PT MAI, kata warga, telah menyebabkan penyerobotan lahan dan kerusakan vegetasi di sekitar kawasan karst.Air sungai yang biasanya jernih kini keruh. Satwa liar mulai jarang muncul. Bahkan beberapa area yang menjadi sumber air warga sudah mulai kering.

Keterangan gambar: Aksi pemboikotan aktivitas PT Mai oleh Koalisi Save Sagea. Foto: #SaveSagea

Kehadiran Pemerintah: Dialog yang Hampa

Kunjungan Bupati dan jajarannya yang diharapkan menjadi ruang dialog justru menambah kekecewaan warga.“Alih-alih membicarakan ancaman terhadap ekosistem karst dan keselamatan warga, pertemuan itu hanya membahas ganti rugi mobil dan tanah. Seolah perjuangan warga hanya urusan kompensasi materi,” kata Julfikar.

Ia menilai langkah pemerintah daerah justru mempersempit ruang diskusi yang semestinya fokus pada penyelamatan kawasan karst dan penegakan hukum lingkungan.

Bagi masyarakat Sagea–Kiya, pertambangan bukan hanya ancaman ekologis, tapi juga serangan terhadap identitas.Karst Sagea dan Telaga Legayelol menjadi tempat yang menyatukan fungsi ekonomi, spiritual, dan budaya.

“Sagea–Kiya bukan sekadar wilayah administratif. Ini rumah kami. Tempat kami mengambil air, berdoa, dan hidup,” ucap Mardani.“Kami akan jaga karst dan telaga ini. Kami tidak butuh tambang. Kami butuh hidup.”

Desakan: Cabut Izin Tambang PT MAI

Koalisi Save Sagea dan JATAM Maluku Utara mendesak pemerintah untuk mencabut seluruh izin tambang PT MAI di wilayah Sagea–Kiya.Mereka menegaskan bahwa keberlanjutan hidup masyarakat lokal dan ekosistem karst lebih penting daripada keuntungan jangka pendek investasi tambang.

“Jika pemerintah tetap membiarkan ini, berarti mereka telah mengorbankan masa depan Maluku Utara,” ujar Julfikar Sangaji menutup pernyataannya.

error: Content is protected !!