Kepulauan Kei, — Penolakan terhadap aktivitas PT Batu Licin Beton Asphalt (PT BBA) di Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, semakin menguat setelah warga Desa Ohoiwait meluapkan protes keras atas operasi penambangan yang dinilai merusak lingkungan dan melanggar tatanan adat. Konflik ini menyeruak setelah dampak kerusakan di dua desa tetangga—Mataholat dan Nerong—yang telah merasakan aktivitas PT BBA selama hampir 15 bulan sejak 2024.
Penolakan warga tidak hanya berfokus pada kerusakan alam, tetapi juga dugaan pelanggaran regulasi serta intervensi aparat pemerintah daerah.
Warga menuding PT BBA beroperasi tanpa kajian dampak lingkungan yang memadai. Perusahaan disebut hanya mengantongi dokumen UKL-UPL, padahal skala penambangan yang dilakukan seharusnya mensyaratkan Amdal.

Selain itu, aktivitas perusahaan diduga bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Peraturan Daerah RTRW Kabupaten Maluku Tenggara.
Warga mengkhawatirkan kerusakan lereng, sedimentasi, hilangnya vegetasi, serta ancaman banjir dan abrasi—risiko besar bagi pulau kecil seperti Kei Besar.
Hawear (Larangan Adat) Dilanggar
Puncak kemarahan masyarakat muncul ketika PT BBA disebut menerobos Hawear, tanda larangan adat setara sasi, yang telah dipasang warga sebagai bentuk penolakan.
Pemuda Ohoiwait, Bahrum Ingratubun, dalam pernyataan tertulis Selasa (2/12/2025) mengatakan masyarakat telah memasang 48 titik Hawear di lokasi-lokasi penambangan. Namun sejumlah oknum yang bukan pemilik lahan diduga diam-diam memberikan akses kepada PT BBA.
“Lahan adat kami dihargai hanya Rp10.000 per meter, tanpa memperhitungkan nilai ekologis, aset, dan tanaman umur panjang,” kata Bahrum.
Situasi memanas setelah muncul dugaan bahwa PT BBA merasa leluasa menerobos larangan adat karena mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara. Warga meyakini perusahaan berani bertindak karena adanya arahan dari Bupati Maluku Tenggara, Muhamad Thaher Hanubun, kepada aparat kecamatan dan pejabat Desa Ohoiwait.
Bahrum menyebut beberapa perangkat desa bahkan mendapat tekanan, termasuk ancaman pemecatan, jika tetap menolak kehadiran PT BBA.
Dugaan intervensi Pemda ini menambah ketegangan antara masyarakat dan pemerintah daerah. Warga menilai pemerintah gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap izin lingkungan dan tata ruang, serta lebih berpihak pada kepentingan perusahaan.
Masyarakat Kei Besar kini menuntut adanya dialog terbuka dan transparan antara pemerintah, PT BBA, dan warga adat. Warga menegaskan bahwa aktivitas penambangan tidak boleh mengorbankan tatanan adat, ruang hidup, maupun keselamatan ekologi pulau kecil yang rentan.
Penolakan terus meluas, terutama karena kekhawatiran bahwa kerusakan lingkungan di Kei Besar dapat mempercepat abrasi, banjir, dan potensi tenggelamnya wilayah pesisir sebagaimana dampak penambangan tak terkendali di pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia.
Penulis: Christin Pesiwarissa
