titastory, Ambon – Husain Mahulauw, warga adat Negeri Haya, Maluku Tengah, harus duduk di kursi terdakwa dengan tuntutan delapan tahun penjara. Ia dituduh membakar aset milik perusahaan tambang yang beroperasi di desanya. Padahal, bagi Husain, aksinya lahir dari kegelisahan melihat hutan dan tanah adat yang menjadi sumber hidup masyarakat Haya kian terancam oleh aktivitas tambang.
Dalam Agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan kasus kebakaran di area PT Waragonda Mineral Pratama, Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, menuai keberatan dari tim kuasa hukum terdakwa Husain Mahulauw.
Dalam sidang yang digelar Selasa, 30 Oktober 2025, JPU menuntut Husain dengan hukuman delapan tahun penjara. Namun, kuasa hukum terdakwa, Fadli Panne, menilai tuntutan tersebut lemah karena tidak ditopang bukti yang sahih.

“Dasar tuntutan yang hanya mengacu pada keterangan saksi sangat kabur dan tidak memiliki korelasi dengan alat bukti yang diajukan,” kata Fadli kepada titastory.id, Kamis, 2 Oktober 2025.
Saksi Hanya Mengandalkan Cahaya Api
Husain Mahulauw hanya ingin melindungi tanah dan hutan yang menjadi sumber hidup keluarganya di Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah. Namun niatnya mempertahankan kampung dari ancaman tambang justru menyeretnya ke kursi terdakwa. Jaksa menuntutnya delapan tahun penjara dengan tuduhan membakar lahan milik perusahaan tambang.
Di persidangan, tuduhan itu tak sepenuhnya terbukti. Saksi yang dihadirkan jaksa mengaku melihat Husain dari jarak sekitar 40 meter pada malam hari, hanya dengan cahaya dari kobaran api kebakaran. Keterangan itu dianggap kabur oleh kuasa hukum karena tidak didukung bukti fisik maupun saksi lain yang melihat langsung peristiwa tersebut.
Menurut Fadli, dua saksi yang dihadirkan JPU, yakni Almijan Kei dan Tawakal Somaloa, mengaku melihat terdakwa melakukan pembakaran pada malam hari, dengan jarak pandang sekitar 40 meter dan hanya dibantu cahaya dari kobaran api.
“Dalam kondisi malam yang gelap, sulit memastikan dengan jelas siapa yang melakukan pembakaran. Klaim bahwa terdakwa memegang botol berisi solar hanyalah dugaan, bukan fakta yang terlihat langsung,” ujarnya.
Kuasa hukum juga merujuk pada kesaksian saksi lain, D. Namakule, yang menyatakan ia sempat bertemu terdakwa di jalan raya setelah melihat asap dari arah perusahaan.

“Terdakwa justru meminta saksi Namakule untuk lebih dulu menuju lokasi kebakaran karena ia hendak ke kamar kecil. Ini menunjukkan terdakwa tidak berada di tempat saat kebakaran mulai terjadi,” kata Fadli.
Fadli menambahkan, saksi Namakule bahkan menyebut terdakwa sempat membantu memasang bendera perusahaan di pos depan kantor dan kemudian hanya ikut menyaksikan kobaran api bersama warga.
Bukti Dinilai Tidak Memenuhi Syarat
Kuasa hukum menegaskan, sesuai Pasal 183 KUHAP, terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti bersalah berdasarkan minimal dua alat bukti sah dan hakim memperoleh keyakinan atas kesalahannya.
“Dalam perkara ini, tidak ada barang bukti yang menghubungkan terdakwa dengan peristiwa pembakaran. Semua hanya bersandar pada kesaksian yang lemah dan saling bertentangan,” kata Fadli.
Ia menilai unsur pasal pembakaran atau perusakan yang didakwakan JPU tidak terbukti.
“Tidak ada bukti yang menunjukkan terdakwa dengan sengaja menimbulkan kebakaran atau adanya hubungan langsung antara perbuatannya dan kerusakan yang terjadi,” tambahnya.
Minta Majelis Hakim Objektif
Fadli menegaskan, berdasarkan prinsip in dubio pro reo, setiap keraguan dalam pembuktian harus diputuskan untuk kepentingan terdakwa.
“Negara tidak boleh menghukum orang hanya berdasarkan asumsi. Tuntutan delapan tahun ini mencederai rasa keadilan. Kami meminta majelis hakim melihat fakta persidangan secara jernih dan memutuskan bebas bagi klien kami,” tutupnya.
Bagi warga Haya, Husain bukanlah pembakar lahan. Ia adalah sosok yang sejak awal bersuara lantang menolak ekspansi tambang yang merambah hutan adat mereka. Hutan itu menjadi benteng pangan, sumber air, dan ruang hidup bagi masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada alam.
Kini, ancaman hukuman berat membuat Husain seolah menjadi penjahat di tanahnya sendiri. Kasus ini menuai simpati dan memunculkan pertanyaan besar: apakah hukum benar-benar melindungi masyarakat adat yang menjaga lingkungannya, atau justru memihak kepentingan perusahaan?