titaStory.id, Halmahera timur – Sebuah video suku pedalaman O Hongana Manyawa di Wilayah Halmahera Maluku Utara beredar viral di media sosial. Video tersebut terlihat dua orang suku pedalaman ketika bertemu dengan sejumlah warga di tepi sungai Ake Sangaji, Halmahera Timur.
Video berdurasi 6 menit 50 detik ini menunjukan terlihat kedua orang suku telanjang dan hanya menggunakan Habeba atau cawat, pakaian yang berasal dari kulit kayu. Selain itu, senjata tajam berupa panah yang biasa dipakai mereka berburu juga terlihat. Nampak juga sejumlah anjing milik mereka.
Video amatir yang diunggah ke media sosial ini terlihat salah satu dari O Hongana Manyawa Tengah berbincang menggunakan Bahasa ibu mereka, yakni Bahasa Tobelo Dalam. Meski begitu para warga pesisir yang diketahui berasal dari pesisir Desa Maba ini tidak bisa berkomunikasi dengan O Hongana Manayawa.
“Perhatikan dia pe (punya) tangan di sana, satu di sana itu. perhatikan tangannya (aba2 persiapkan senjata, kokang senjata. Maba. Tidak apa-apa (sambil kasih tangan mau jabat tangan),” kata seorang warga yang kepada rekan-rekan mereka.
Terlihat juga di dalam video ini, seorang warga yang membawa senjata. Dalam video ini, dia juga diperintah menggunakan senjata bila sewaktu waktu mereka diserang oleh dua suku pedalaman Halmahera ini.
“O Bata. Tara (tidak) apa-apa. Pegang tangan dengan dia. Maba, Ake Maba,” kata seorang warga sambil coba mendekati orang tobelo dalam tersebut.
Meski tak bisa berkomunikasi, namun salah satu dari dua orang suku bisa diajak bersalaman. Meski was-was, namun dalam video tersebut terlihat salah satu dari orang suku ini berhasil diajak oleh para warga.
Yulia Pihang, warga Desa Saolat ketutunan Tobelo mencoba menerjemahkan bahasa O Hongana Manyawa. Dia bilang. Satu dari kedua orang suku O Hongana Manyawa itu adalah “Doriba”. Doriba adalah ketutunan dari alhmarhum Mustika. Mustika dulu sendiri adalah kepala suku bagi kelompok mereka di Akejira.
“Dong ini asal dari Akejira datang di kali sangaji cari makanan,” kataYulia
O kiaka de Nia Ino? (Kalian dari mana). O Gahi Oka de Nio hoatiha? (Ngoni dari Pante kong maso kamari)
Dalam bahasanya, O Hongana Manyawa marah kepada kelompok orang Maba ini masuk ke hutan mereka.
“Sebenarnya dia marah bilang kenapa mereka orang pesisir masuk sembarang ke hutan kami, hanya saja mereka lihat ada senjata apalagi sudah di kokang, dan dia takut makanya suruh temannya pergi dan arahkan kelompoknya untuk tunggu di kebun-kebun sagu sambil itu dia antar kelompok orang Maba cari Jalan pulang,” kata Yulia Pihang warga keturunan Tobelo pesisir yang mencoba menerjemahkan bahasa O Hongana Manayawa ini.
Sementara itu Novenia Ambeua, Warga Desa Minamin keturunan Tobelo menjelaskan arti pernyataan orang Tobelo Dalam ini.
Orang TobeloDalam ini terlihat menjabat tangan sambil menunjuk ke arah senjata milik aparat bersenjata. Dia kata Novenia memohon agar tidak ditembak. Dia juga memarahi para kelompok orang Maba ini karena telah masuk di wilayah mereka.
“Kalian orang pesisir masuk ke sini, apakah kalian tidak malu?” Kata Novenia menerjemahkan bahasa O Hongana Manyawa pada video tersebut.
“Hei kenapa kalian orang pesisir datang menyelinap masuk ke sini (hutan) kami bisa marah kalau kalian begini, oh iya kalian dari mana. Ohh jadi apakah saya harus ikut kalian ke rumah kalian, saya mau dikasih keluar ke rumah kalian? (sambil mengambil daging babi panggang dan bungkus di sarung) juga bilang ke temannya saya pergi berbicara dengan mereka dulu terus dia lanjutkan. memangnya kami ini setan? Sehingga kalian harus datang rame-rame?
Peristiwa ini menurut warga Tobelo pesisir ini, kata Novenia merupakan kesekian kalinya orang pedalaman Halmahera ini ditemukan warga. Sebelumnya juga sempat viral dua orang suku pedalaman menghalau buldoser di dekat tambang nikel agar tidak masuk ke wilayah mereka. Mereka sangat terganggu karena hutan sebagai rumah dan mencari makan dirusak sehingga mereka marah dan mencoba melindungi tempat mereka tinggal.
“Kelompok O Hongana Manyawa ini kan dong (mereka) wilayah sama dengan Bokumu yang di Goa cuma sebagian besar keluar dari Goa dan cari tempat aman yang baru menyusuri kali Ake Sangaji. Nah kali ini di belakang Waijoi berbatasan dengan Maba. Orang-orang Maba su (sudah) ulang-ulang kali dapa tegur dari orang Waijoi untuk larang dong (mereka) masuk wilayah-wilayah ini, tapi dong ini malawan bakapling tu dari Akejira belakang Minamin sampe ujung Waijoi dong kapling samua karena tahu itu wilayah konsesi WBN dan WKM”
Jadi sebenarnya dalam bahasa orang tobelo dalam itu, mereka bilang kepada warga pesisir ini bahwa hutan mereka telah dirusak sehingga mereka akan tetap mempertahankan dan melindungi hutan mereka.
Kasus memilukan adalah tersingkirnya Maratana (meme Hairani) dari tempat tinggalnya akibat aktivitas pertambangan di Kawasan hutan Tofubleweng. Dia ditemukan sakit karena lapar. Tanaman dan obat-obatan menurutnya telah dirusak akibat oleh orang asing yang telah menggusur hutan mereka. Saat ini dia terpaksa harus dirawat oleh masyarakat Tobelo Pesisir di Desa Saolat (Para-para).
Keberadaan O Hongana Manyawa
Kelompok O Hongana Manyawa menurut warga pesisir keturunan Tobelo adalah mereka orang pedalaman Halmahera yang masih tinggal dan hidup nomaden di Hutan Halmahera. Saat ini kelompok yang sering disapa orang Togutil ini banyak tersebar di beberapa wilayah di Hutan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Ekspansi pertambangan membuat kehidupan mereka di hutan kian terancam, sehingga banyak dari kelompok mereka terpaksa keluar mencari lokasi yang lebih aman.
Syaiful Madjid, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMU), dalam penelitiannya mengklasifikasi Suku Tobelo menjadi dua, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di hutan) dan O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di pesisir). Hal ini, berdasarkan klasifikasi orang Tobelo yang masih tinggal di dalam hutan.
Sedang kata Togutil, katanya, adalah penyebutan orang luar terhadap orang Tobelo yang masih tinggal di dalam hutan. “Sebenarnya, mereka, O’Hongana Manyawa juga tidak menyebut mereka Togutil.” Seiring waktu, penyebutan Togutil pun melekat pada mereka.
Sayangnya, penyebutan kata Togutil berkembang menjadi sebuah stereotip—bermakna konotatif, juga disebut oleh orang Tobelo Luar kepada orang Tobelo Dalam, untuk membedakan diri.
“Tapi, ada kata O’Tau Gutili yang artinya rumah obat/ tempat orang Tobelo melakukan proses pengobatan,” katanya.
Syaiful bilang, dari hasil penelitian itu terlihat, O’ Hongana Manyawa sudah membagi wilayah mereka. Ada hutan produksi, konsumsi, bahkan hutan lindung.
Pembagian itu, katanya, sebelum pemerintah Indonesia memetakan hutan lindung bahkan hutan produksi, seperti taman nasional.
Untuk Halmahera Tengah, ia mengatakan masih kedekatan dengan Halmahera Timur karena mobilisasi komunitas ini bersilang.
“Jadi dari Halmahera tengah bisa ke Halmahera timur begitu juga sebaliknya. Mobilisasi mereka itu tinggi sekali kalau di hutan”
Dari sisi penempatan batas-batas hutan, klasifikasi hutan bagi mereka itu hutan adalah rumah. Dijelaskan, dalam alam berpikir mereka, hutan adalah rumah.
Dijelaskan kerangka rumah yang maksud itu tidak sama dengan rumah yang ada dalam pemahaman mereka. O Hongana Manyawa memelihara hutan sama dengan memelihara rumah, karena hutan itulah yang menjadi sumber kehidupan mereka.
“Mereka disitu meramu, mereka di situ berburu, disitu mewariskan keturunan, sehingga hutan itu adalah rumah,” katanya.
Dalam klasifikasi hutan menurut ada dalam komunitas itu baik dalam komunitas Halmahera Timur, baik komunitas Halmahera Utara, maupun komunitas Halmahera Tengah itu sama. Dijelaskan ada tiga bentuk klasifikasi hutan yang mirip dikembangkan Negara. Misalnya hutan Lindung, mereka itu ada hutan lindung, ada juga disebut dengan hutan Industri.
Jadi menurutnya, di dalam klasifikasi orang tobelo dalam terbagi atas tiga bagian yakni Fongana, Hongana, Raima Hamoko.
“Jadi Fongana itu disitu tempat leluhur mereka. Kalau Hongana disitu tempat tinggal mereka dan tempat mereka meramu, berburu, dan lain-lain. Jadi kalau Fongana adalah hutan lindung. Hongana itu yang disebut dengan hutan kehidupan mewarisi kehidupan turun temurun di sekitar situ. Dan Raima Hamoko sama dengan hutan Industri disitu sumber kehidupan. Dan itu sama dengan Negara membagi hutan ada hutan lindung, hutan industri, hutan konservasi,” ungkapnya.
Suku Tobelo Dalam atau biasa dikenal dengan O Hongana Manyawa, dan sebagian masih di sebut orang Togutil. Komunitas ini masih mendiami hutan Halmahera yang kian terancam. Mereka mendaptkan stigma buruk dan terancam atas kehadiran tambang-tambang perusahaan. Steroitip sering muncul pada mereka seperti orang jahat, pembunuh, dan banyak cap buruk.
Kata Hongana Manyawa, menurut Syaiful, dilakukan saat Dia melakukan pendampingan maupun riset mandiri yaitu. Karena istilah Hongana Manyawa itulah yang sering Ia pakai. Cristofer Danken, rekannya yang juga meneliti bersamanya memakai istilah “Forest Tobelo”.
“Saya juga pernah riset-riset dengan Christofer Danken. Beberapa kali saya riset di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah bersama dia. Dia menggunakan istilah Forest Tobelo. Tapi kalau saya menggunakan O Hongana Manyawa. Jadi lebih dekat. Jadi membedakan mana orang pantai, mana orang hutan. Makanya saya bilang O Hongana Manyawa. Kalau orang pantai O Bereira Manyawa. Itulah bagian tak lepas dari mereka,” ujarnya.
Seperti orang Sawai kehilangan identitas, dosen Sosiologi ini berharap orang Togutil tidak kehilangan identitas.
“Jangan-jangan sampai itu terjadi. Tapi saya pikir orang sawai tidak kehilangan identitas, tapi perlu ditelusuri lebih mendalam karena bagian dari corak kehidupan salah satunya adalah identitas”
Istilahnya yang digunakan Syaiful adalah satuan hutan. Ia menjelaskan dari segi pembagiannya, Halmahera Timur dan Halmahera Tengah ada 21 satuan hutan. 6 berada di Halmahera Tengah, 1 ada di Kota Tidore, karena Oba masuk kota Tidore, Tayawi.
“Tayawi itu eksodus dari Ake jira. Ada juga dari tanjung lili yang ke Tayawi”
Lanjutnya, 14 satuan lainnya ada di Halmahera Timur. Mulai dari Makahar, Marasikno, Pumlanga, Ruma Tuju, Dodaga, ada 14 satuan hutan di Halmahera Timur.
“Kalau di Halmahera Utara ada 4 satuan hutan. Jadi secara keseluruhan di Halmahera itu ada 25 satuan hutan. Kalau komunitas itu hanya 3 komunitas. Tersebar di 25 satuan hutan di Halmahera,” jelasnya.
Saat ini, menurutnya, meski kooporasi masuk di Halmahera Tengah, namun komunitas O Hongana Manyawa masih mendiami beberapa lokasi di hutan. Dia contohkan komunitas Bokum sampai saat ini masih menempati hutan Ake Jira dan Kao Rahai (sangat indah). Ada Diha di Ake Sangadji. Masih banyak komunitas di hutan mereka. Di belakang Dote ia bilang, masih ada komunitas O Hongana Manayawa.
“Kita tidak bisa pungkiri mereka masih ada. Jangan menutup mata, tidak bisa menutup mata,” ucapnya.
Untuk Investor, Syaiful berharap saat melakukan operasi produksi harus memperhatikan keberadaan mereka.
Kalau mengatakan tanah itu adalah tanah Negara, Syaiful mempertanyakan penempatan komunitas itu berada di mana. “Apakah bukan warga Negara kita. Itu warga Negara kita yang tidak dihitung oleh Negara,” pungkasnya.
Dengan masuknya investasi berskala besar ini, Ia mengatakan sudah pasti mengancam ruang hidup komunitas mereka di hutan. Masuknya Investor untuk melakukan operasi produksi tanpa mempertimbangkan kearifan lokal mereka, terbukti banyak perusahaan di hutan mereka.
Ini sebenarnya, katanya, benturan antara kepentingan Negara dengan masyarakat sipil salah satunya komunitas ini.
“Investor yang masuk tanpa melalui daerah, namun melalui pemerintah pusat contoh kasus seperti perusahaan besar seperti IWIP, Tekindo dan lain-lain mungkin saja izinya tidak melalui daerah, mereka lewat pusat. WBN itu dari pusat, kontrak karyanya jelas. Tapi apa yang didapatkan oleh komunitasnya yang ada di hutan”
“Saya anggap tidak ada manfaat, malah merusak kearifan lokal mereka”
Yesaya R. Banari, peneliti dan juga penulis buku “Mencari yang pernah hilang”, menjelaskan istilah “Tobelo Dalam” adalah penyebutan atau nomenklatur dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dimana merujuk kepada komunitas atau suku orang yang tinggal di pedalaman Halmahera.
Jadi, baginya, karena mereka ini berbahasa Tobelo maka di dalam konteks Bahasa Tobelo itu disebut O Hongana Manyawa yang artinya orang yang tinggal di hutan.
Dia jelaskan untuk membedakan orang Tobelo yang tinggal di hutan dan orang Tobelo yang tinggal di pesisir maka timbulah istilah sebutan Tobelo Dalam dan Tobelo Luar. Artinya Tobelo luar itu ditujukan kepada semua orang Tobelo yang menggunakan bahasa Tobelo yang bermukim di pesisir pantai. Sedangkan Tobelo Dalam yang bermukim di Pedalaman atau di belantara Halmahera.
Untuk kawasan tempat hunian orang Tobelo dalam atau ruang hidup O Hongana Manyawa ini, ia memaparkan tersebar dari Halmahera Utara, Halmahera Timur sampai ke Halmahera Tengah dan juga Sebagian besar di Daerah antara Halmahera Tengah dan Halmahera Timur di Oba dan sekitarnya.
“Jadi semua kelompok mereka ini berbicara dengan Bahasa Tobelo. Sehingga para peneliti, saya bisa sebut bahwa Romo Mangun Wijaya itu dengan penelitiannya pada tahun 1987 dia membuat sebuah dokumentasi bahwa penyebaran orang Togutil atau O Hongana Manyawa itu dimulai dari Halmahera Utara dimulai dari kampung O Ngira dan sekitarnya dan sampai sebagian besar ada di Halmahera Timur kemudian ada di Halmahera Tengah”
Dia menerangkan, wilayah ruang hidup mereka berada di hutan rimba, sehingga selama ini mereka tidak terusik karena dari satu kelompok dan kelompok yang lain itu punya batas-batas sehingga mereka tidak saling intervensi. Artinya, satu kelompok dari Tobelo Dalam atau O Hongana Manyawa menurutnya tidak bisa masuk ke kelompok O Hongana Manyawa atau Tobelo Dalam yang lain. Sehingga banyak sekali pemukiman dan ruangan hidup mereka di wilayah hutan itu berbeda antara satu dengan yang lain.
“Nah saat ini timbul banyak masalah karena masuknya kapling-kapling perusahaan, di mana masyarakat berbondong-bondong untuk meligitimasi tentang hak-hak milik mereka sehingga banyak orang kembali menamakan tentang hak-hak tanah disitu”
Disinilah katanya intervesi itu dilakukan kepada O Hongana Manyawa sehingga pada awalnya mereka berpindah-pindah, tapi di ruang lingkup mereka sendiri. Sekarang, lanjutnya, mereka harus berpidah ke tempat yang lain.
“Ini sehingga tejadinya semacam pergeseran dan itu yang dalam bahasa AMAN, kami tidak mau mereka mengalami kepunahan,” terangnya.
Ketika alam dan hutan alam dikuasai oleh orang lain, maka mereka punya kehidupan akan terbatas padahal katanya, hutan itu adalah kehidupan mereka.
“Mereka itu kenapa disebut Tobelo Dalam karena memang mereka menggunakan Bahasa Tobelo,” jelasnya. (TS-01).
Discussion about this post