Yahukimo, — Pengacara hak asasi manusia (HAM) asal Indonesia yang kini berdomisili di Australia, Veronica Koman, menuding pemerintah Indonesia melanggar Hukum Humaniter Internasional, menyusul tewasnya Mayor Semut B. Sobolim, salah satu komandan lapangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Kodap XVI Yahukimo, dalam kontak tembak dengan aparat keamanan pada Kamis (6/11/2025) di Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan.
Dalam unggahannya di platform media sosial facebook, Veronica menyebut tindakan aparat yang menembak mati kombatan yang sudah tidak dalam posisi bertempur merupakan pelanggaran serius terhadap Konvensi Jenewa 1949, khususnya Pasal 3 Konvensi Jenewa I mengenai perlindungan terhadap orang sipil dan kombatan yang tidak lagi ikut berperang (hors de combat).
“Anggota TPNPB tidak bisa serta-merta dibunuh di tempat hanya karena dia kombatan. Sesuai dengan Konvensi Jenewa, orang yang tidak sedang aktif bertempur harus diperlakukan secara manusiawi, bukan dieksekusi,” tulis Veronica dalam pernyataannya di X.
Ia menambahkan, dalam hukum humaniter, pasal 3 ayat (1) huruf (a) Konvensi Jenewa dengan jelas melarang kekerasan terhadap nyawa dan tubuh, termasuk pembunuhan dalam segala bentuk, terhadap mereka yang tidak lagi mengambil bagian dalam pertempuran.
“Jika kombatan sudah terluka, tertangkap, atau tidak dalam posisi menyerang, maka membunuhnya adalah kejahatan perang,” ujarnya.

Hors de Combat dan Pelanggaran Hak Hidup
Veronica menjelaskan, istilah hors de combat berarti “tidak mampu bertempur” — mencakup kombatan yang terluka, tertangkap, menyerah, atau tidak membawa senjata. Dalam kondisi seperti itu, mereka dilindungi hukum internasional dan tidak boleh dijadikan target serangan mematikan.
“Dalam setahun terakhir, aparat Indonesia berulang kali menembak mati anggota TPNPB yang sudah ditangkap maupun yang tidak sedang berperang. Ini bukan hanya pelanggaran hukum humaniter, tapi juga pelanggaran hak asasi manusia paling mendasar: hak untuk hidup,” katanya.
Ia menegaskan, Pasal 3 Konvensi Jenewa menuntut perlakuan manusiawi terhadap semua pihak yang tidak ikut serta dalam pertempuran. Larangan eksplisit di dalamnya meliputi:
- Kekerasan terhadap nyawa dan tubuh, terutama pembunuhan dalam segala bentuk dan penyiksaan;
- Penyanderaan;
- Perlakuan yang menghina martabat pribadi; dan
- Eksekusi tanpa putusan pengadilan yang sah.

Kematian Mayor Semut dan Masa Duka Yahukimo
Mayor Semut B. Sobolim tewas akibat tembakan jarak jauh dari aparat keamanan saat memimpin patroli motor bersama beberapa anggotanya di sekitar Jembatan Agung Mulia, Dekai. Ia sempat dilarikan ke RSUD Dekai dan meninggal pada Jumat pagi (7/11/2025).
Juru Bicara TPNPB Kodap XVI Yahukimo, Odiyawiuu, membenarkan kematian tersebut dan menyebut pasukannya menetapkan masa duka nasional.
“Beliau adalah pejuang yang mempertahankan tanah Papua. Kami kehilangan komandan terbaik kami,” ujarnya melalui pesan singkat yang diterima redaksi.
Menurut Odiyawiuu, aparat keamanan memperketat pengamanan di rumah sakit dan lokasi pemakaman, sehingga keluarga kesulitan mengakses jenazah untuk dimakamkan secara adat. “Kami hanya berharap proses pemakaman dilakukan dengan hormat dan menghargai martabat manusia,” katanya.

Seruan untuk Penyelidikan dan Pengawasan Independen
Kasus kematian Semut Sobolim menambah daftar panjang insiden penembakan terhadap anggota TPNPB di wilayah Papua Pegunungan yang memicu tudingan pelanggaran hukum humaniter. Sejumlah lembaga HAM internasional dan lokal menyerukan agar pemerintah Indonesia mengizinkan pemantauan independen terhadap operasi militer di Papua.
Veronica menegaskan bahwa prinsip dasar hukum humaniter berlaku bagi semua pihak yang terlibat konflik bersenjata, baik negara maupun non-negara.
“Negara justru punya kewajiban lebih besar untuk menghormati hukum perang dan memastikan setiap tindakan militernya proporsional, tidak menargetkan orang yang tidak lagi bertempur,” ujarnya.
Ia mengingatkan, Indonesia sebagai negara pihak dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977wajib memastikan aparat militernya patuh pada ketentuan hukum humaniter internasional, terutama dalam konflik bersenjata non-internasional seperti di Papua.
“Jika aparat mengeksekusi kombatan yang sudah tidak melawan, itu bukan hanya pelanggaran hukum humaniter, tapi kejahatan perang di bawah yurisdiksi internasional,” tutup Veronica.

Konvesi Jenewa
Berikut adalah aturan PBB dalam Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Orang Sipil pada Masa Perang (1949)
Ditetapkan dalam Konferensi Diplomatik untuk Pembentukan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Korban Perang, Jenewa, 21 April – 12 Agustus 1949
Pasal 3 – Konflik Bersenjata yang Tidak Bersifat Internasional
Dalam hal terjadi konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional di wilayah salah satu Pihak Peserta Konvensi, setiap pihak yang terlibat dalam konflik tersebut wajib menerapkan, sebagai ketentuan minimum, hal-hal berikut:
- Orang-orang yang tidak turut serta secara aktif dalam pertempuran, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjatanya serta mereka yang tidak mampu bertempur karena sakit, luka, penahanan, atau sebab lain, harus dalam segala keadaan diperlakukan secara manusiawi tanpa diskriminasi apa pun yang didasarkan pada ras, warna kulit, agama atau keyakinan, jenis kelamin, kelahiran, kekayaan, atau kriteria serupa lainnya.
Untuk tujuan ini, tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap dilarang kapan pun dan di mana pun terhadap orang-orang yang disebutkan di atas:
- Kekerasan terhadap nyawa dan tubuh, khususnya pembunuhan dalam segala bentuk, mutilasi, perlakuan kejam, dan penyiksaan;
- Pengambilan sandera;
- Tindakan yang menghina martabat pribadi, khususnya perlakuan yang merendahkan dan tidak manusiawi;\
- Penjatuhan hukuman dan pelaksanaan eksekusi tanpa adanya putusan pengadilan yang sah, yang dibentuk secara sah, serta memberikan jaminan hukum yang diakui sebagai hal yang mutlak diperlukan oleh masyarakat beradab.
- Korban luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Badan kemanusiaan yang netral, seperti Komite Internasional Palang Merah (ICRC), dapat menawarkan layanannya kepada pihak-pihak yang berkonflik.
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik juga diharapkan berupaya untuk memberlakukan, melalui perjanjian khusus, seluruh atau sebagian dari ketentuan lain dalam Konvensi ini.
Penerapan ketentuan-ketentuan di atas tidak akan mempengaruhi status hukum dari pihak-pihak yang berkonflik.
