titastory.id, jakarta – Transformasi untuk Keadilan (TuK INDONESIA), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan WALHI Kalimantan Tengah meluncurkan laporan penelitian berjudul “Di Balik Tragedi Berdarah Bangkal Seruyan: Di Negeri Kami ‘Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia’.”
Laporan ini mengungkap dampak kelam dari konflik agraria akibat ekspansi industri kelapa sawit di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, dan telah diserahkan kepada Komnas HAM sehari sebelumnya, 30 Oktober 2024.
Dalam laporannya, ditemukan fakta-fakta yang mengindikasikan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pengabaian hak masyarakat adat, dan kerusakan lingkungan akibat operasi PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Konflik ini menyiratkan ketegangan antara kepentingan bisnis dan kelangsungan hidup masyarakat lokal, dengan beberapa temuan utama sepetti:
- Pelanggaran HAM dan Lingkungan– Berdasarkan rekomendasi Komnas HAM, terdapat kasus penembakan warga dan pengingkaran kewajiban perusahaan terhadap masyarakat setempat terkait pembagian plasma.
- Dugaan Bisnis Keamanan oleh Kepolisian– Laporan mengungkapkan dugaan adanya praktik bisnis pengamanan di wilayah PT HMBP yang melibatkan pihak kepolisian Kalimantan Tengah, termasuk pengerahan besar-besaran aparat untuk mengendalikan protes warga.
- Pengabaian Hak Warga untuk Perkebunan– Masyarakat desa kehilangan hak mereka atas perkebunan plasma yang semestinya diatur oleh negara, sehingga menambah konflik dalam kepemilikan dan pemanfaatan lahan.
- Dugaan Bisnis Gelap Best Agro International– Perusahaan yang beroperasi tanpa informasi transparan mengenai pembiayaan dan rantai pasok ini berpotensi menambah kerentanan hukum dan lingkungan.
Direktur WALHI Kalimantan Tengah, Bayu Herinata, menegaskan pentingnya tindakan tegas atas praktik-praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab. “Kami mengharapkan pemerintah dan lembaga terkait segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran ini dan memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang beroperasi di kawasan-kawasan penting bagi lingkungan,” tegasnya.
Bayu juga mengungkap adanya bukti bahwa PT HMBP beroperasi di kawasan hutan tanpa izin sah berdasarkan SK Menteri LHK No. SK.196/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2023, di mana perusahaan ini membuka lahan seluas 4.769,52 hektar termasuk di zona Hutan Produksi dan Hutan Produksi Konversi. Aktivitas perusahaan yang mencemari Danau Sembuluh ini berisiko merusak sumber air masyarakat yang bergantung pada danau tersebut.
Surti Handayani dari PPMAN menyoroti bahwa tragedi ini mencerminkan adanya kolaborasi antara perusahaan dan aparat negara. “Dengan adanya tragedi yang mengakibatkan kematian warga, terlihat jelas bahwa kelancaran bisnis lebih diprioritaskan daripada nyawa masyarakat,” ujarnya.
TuK INDONESIA mengungkapkan bahwa masifnya ekspansi kelapa sawit di Kalimantan Tengah didukung oleh lembaga keuangan besar, termasuk Bank Negara Indonesia (BNI), yang telah menyalurkan pembiayaan mencapai Rp 157,8 triliun sejak 2016. Menurut Direktur TuK INDONESIA, Linda Rosalina, pihaknya mengalami kesulitan memperoleh informasi dari BNI terkait aliran dana tersebut.
“OJK perlu meningkatkan pengawasan dan memastikan transparansi agar perbankan tidak secara tidak langsung mendukung pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan,” ungkap Linda.
Dengan publikasi laporan ini, koalisi berharap publik semakin sadar akan dampak nyata dari industri sawit di Kalimantan Tengah. Koalisi juga mengimbau adanya reformasi menyeluruh di sektor kelapa sawit, mulai dari perlindungan hak masyarakat adat hingga penerapan bisnis yang lebih beretika dan berkelanjutan. (TS-01)
Discussion about this post