Tujuh Tahun Produksi PT IWIP: Rupa Perampokan Alam di Maluku Utara Berkedok Transisi Energi

30/08/2025
Keterangan Gambar : Kawasan Industri Nikel PT.IWIP Tahun 2025. Foto : Anak Esa

titastory, Maluku Utara – Sejak berdiri pada 30 Agustus 2018, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) menjelma menjadi kawasan industri nikel terbesar di dunia. Di balik jargon transisi energi, tujuh tahun operasi IWIP meninggalkan jejak kerusakan ekologis, perampasan ruang hidup, dan ancaman serius bagi kesehatan warga Halmahera Tengah dan pulau-pulau kecil sekitarnya.

Negara dan Karpet Merah untuk IWIP

Di mata negara, IWIP dipandang sebagai simbol kemajuan. Status Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Objek Vital Nasional (OVN) diberikan melalui berbagai regulasi, mulai dari perubahan keenam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 hingga Keputusan Menteri Perindustrian RI Nomor 1197 Tahun 2021.

Keterangan Gambar : Kawasan Industri Nikel PT.IWIP Tahun 2025. Foto : Anak Esa

Pemerintah juga memfasilitasi perluasan wilayah industri melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Tengah 2024–2043. Luas kawasan industri IWIP melonjak lebih dari tiga kali lipat, dari 4.027 hektare menjadi 13.784 hektare. Ekspansi ini merangsek hingga Kecamatan Patani Barat dan Weda Timur.

“Ekspansi wilayah IWIP menunjukkan watak pengurus negara yang berdiri bersama korporat, bukan bersama warga. Wilayah operasi IWIP adalah ruang pangan dan sumber air warga yang kemudian dirampas dan dihilangkan,” ujar Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara.

Di kawasan operasi IWIP, lahan pertanian digusur, kebun hilang, dan sungai tercemar. Warga kehilangan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri. Ironisnya, mereka kini harus membeli air bersih yang sebelumnya dapat diakses gratis dari alam.

Lebih dari 17 ribu jiwa di desa-desa sekitar—seperti Kulo Jaya, Lelilef Sawai, Lelilef Waibulan, Woekob, Gemaf, hingga Sagea—hidup dalam bayang-bayang ancaman pencemaran udara, tanah, dan air.

Keterangan Gambar : Kawasan Industri Nikel PT.IWIP Tahun 2025. Foto : Anak Esa

Jejak Racun dalam Tubuh Warga

Penelitian Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako menemukan logam berat seperti merkuri dan arsenik dalam tubuh ikan dan manusia di sekitar IWIP. Puluhan sampel darah pekerja dan warga mengandung logam berbahaya melebihi ambang aman.

Laporan Narasi (2024) juga mencatat peningkatan polutan nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2) sejak pabrik peleburan IWIP beroperasi. Polutan itu memicu hujan asam dengan pH 4,35–4,85, jauh di bawah ambang batas normal.

Warga Halmahera dalam Ancaman Ekologi

Mardani Legayelol, Juru Bicara Save Sagea, menyebutkan operasi tambang nikel merusak sungai, kebun, dan wilayah tangkap ikan. Sungai Sangaji di Halmahera Timur yang menjadi sumber penghidupan warga kini hancur akibat tambang.

“Bentang alam karst di Sagea juga terancam hancur akibat rencana tambang batu gamping. Batu gamping itu diduga akan dipasok ke IWIP untuk proses pemurnian nikel,” katanya.

Di sisi lain, mobilisasi ore nikel lewat kapal tongkang mengganggu nelayan tradisional di Halmahera Timur hingga Petani, mengurangi hasil tangkapan dan memperburuk krisis pangan lokal.

Rantai Pasokan yang Memperluas Krisis

IWIP bukan hanya pabrik di Teluk Weda. Ia terhubung dengan rantai pasokan tambang nikel, batu gamping, dan batu bara dari berbagai daerah.

* PT Weda Bay Nikel dengan konsesi 45 ribu hektare menjadi pemasok utama ore nikel.

* Pulau kecil seperti Gebe, Fau, dan Gag di Papua Barat Daya digerogoti tambang nikel untuk memasok IWIP.

* Sawah-sawah di Wasile, Halmahera Timur rusak akibat sedimentasi tambang.

* Teluk Buli tercemar kromium, nikel, dan tembaga melebihi baku mutu, sebagian besar berasal dari operasi tambang milik ANTAM.

* Kebutuhan listrik IWIP sebesar 6.560 MW (2023), dengan rencana naik menjadi 7.320 MW, dipasok oleh batu bara dari Kalimantan Timur.

Transisi Energi atau Ilusi?

Narasi resmi menyebut IWIP sebagai etalase transisi energi dan kemajuan ekonomi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan wajah kolonialisme ekstraktif: merampas lahan, mencemari lingkungan, merusak kesehatan, dan mengabaikan hak-hak warga lokal.

“Tujuh tahun PT IWIP berjalan, yang tampak bukan sekadar geliat industri nikel untuk transisi energi, tetapi juga kisah bagaimana negara dan korporasi bersekutu menundukkan alam dan warga Halmahera,” kata Julfikar Sangaji.

Pertanyaannya: sampai kapan transisi energi dijadikan dalih untuk menutup mata atas perampasan ruang hidup masyarakat lokal?

Penulis : Redaksi
error: Content is protected !!