titastory.id,-Jelang HUT RMS ke-70 yang dirayakan oleh pendukungnya Sabtu 25 April 2020, Polresta Pulau Ambon dan P.p Leasse telah mengerahkan sekitar 200 personil TNI/Polri untuk melakukan pengamanan.
Pada momen tersebut, biasanya para aktivis/simpatisan FKM/RMS yang dilabel separatis oleh Pemerintah Indonesia ini, hanya akan mengibarkan bendera benang raja (Sebutan bagi bendera RMS) secara sembunyi-sembunyi. Pengibaran bendera ini juga tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
Mengantisipasi penaikan bendera, aparat kini telah disebarkan ke sejumlah daerah dan lokasi yang dianggap rawan. Salah satu desa yang menjadi fokus pengamanan adalah Negeri Aboru, Kecamatan Haruku Kabupaten Maluku Tengah (Malteng).
Aboru menjadi pusat perhatian karena ratusan bendera RMS sempat dikibarkan warga setempat pada HUT RMS tahun lalu.
Tidak ingin peristiwa ini terulang, aparat keamanan mulai mengambil tindakan keras bahkan mengintimidasi warga setempat.
Hal ini terlihat dari video viral pengumuman melalui pengeras suara yang disampaikan Babinsa, yang mengharuskan warga Aboru menaikkan bendera merah putih pada 25 April. Padahal, biasanya bendera merah putih hanya akan dikibarkan pada HUT proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus.
Aparat juga disebutkan akan melakukan swiping dan memberikan sanksi dan teguran bagi warga yang tidak mengibarkan bendera merah putih di rumahnya.
Menyikapi video tersebut, Direktur Maluku Crisis Center (MCC), Ikhsan Tualeka angkat bicara.
Lewat rilisnya, Ikhsan mengaku terusik dengan beredarnya satu video amatir di media sosial, yang memperlihatkan anggota TNI dengan pengeras suara mengumumkan kepada warga di Aboru, untuk tidak berkumpul, dan tidak ke hutan. Selain itu, di tanggal 25 April, warga wajib menaikan benderà merah putih di halaman rumah masing-masing.
Video itu dilihatnya saat sedang berada di Pulau Haruku, Maluku Tengah, untuk pulang kampung dan mudik. Rencananya dia akan mengisi waktu dengan jalan-jalan keliling pulau, sambil melihat-lihat kondisi eksisting.
Beberapa hari sebelumnya, Ikhsan mengatakan juga sempat melihat video yang beredar, aparat polisi menyerahkan bendera merah putih kepada warga, kemudian dengan lantang warga mengikrarkan NKRI harga mati.
Ikhsan menilai, pegiat HAM akan melihat fenomena ini sebagai hal yang janggal.
“Praktek ‘intimidasi’ politik semacam ini rasanya kurang tepat di negera demokrasi yang telah 75 tahun diproklamirkan,”ucapnya.
Cara-cara seperti ini lanjut Ikhsan, hanya akan mempertegas stigma ‘separatis’ pada satu sisi, dan memperkuat political discontent pada sisi yang lain.
“Hal ini juga menunjukan negara gagal menghadirkan format penyelesaian fenomena ‘disintegrasi’ bangsa dengan cara-cara demokratis dan menjunjung tinggi HAM,”tegasnya.
Negara kata dia lebih memilih mengambil jalan pintas dengan melakukan ‘intimidasi’, memaksa rakyat mencintai NKRI. Langkah ini dinilainya hanya bersifat dipermukaan dan ‘temporary’, ketimbang mengambil langkah dan kebijakan strategis dengan lebih serius pada upaya pengentasan kemiskinan di Maluku.
“Iya, kemiskinan dan ketertinggalan dapat membuat sebuah paham atau ideologi tumbuh dengan suburnya, karena turut memperkuat kekecewaan sosial-politik warga negara. Kekecewaan yang makin dalam bila rakyat mengkomparasikan antara realitas yang di alami saban hari, dengan apa yang disajikan di daerah-daerah lain yang relatif lebih maju,”jelasnya.
Dengan membiarkan kemiskinan dan ketidakadilan tetap terpelihara, Ikhsan berpendapat pemerintah telah membiarkan api tetap membara dalam sekam.
Setumpuk persoalan sosial yang ada, seakan Maluku belum menikmati arti kemerdekaan, dapat berujung atau memudahkan rakyat digiring dalam arus gerakan disintegrasi.
Ibarat bisul yang ditutup seperti apapun , pasti akan pecah.
“Jika tidak ingin seperti pemadam kebakaran, yang baru siaga jika ada api yang berkobar, sudah saatnya kebijakan pro-rakyat harus menjadi agenda utama negara dan seluruh eleman masyarakat.
Tetap tumbuh dan berkembangnya gerakan disintegrasi pada satu sisi dan masih terjadi pelanggaran HAM di sisi yang lain, sebenarnya menjadi bukti gagalnya pemerintah membangun masyarakat, mengentas kemiskinan dan ketidakadilan di Maluku,”tukasnya.
Sebelumnya, Kepolisian Resor Kota Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease mulai mengerahkan 200 personel bersenjata lengkap untuk mengantisipasi puncak perayaan HUT Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April 2020.
Selain di Pulau Ambon, wilayah yang menjadi fokus pengamanan aparat kepolisian jelang HUT RMS tahun 2020 yakni di Pulau Haruku dan Pulau Saparua, Maluku Tengah.
Kapolresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease, Kombes Pol Leo Surya Nugraha Simatupang mengatakan, pengerahan pasukan itu dilakukan untuk mengantisipasi adanya aktivitas makar di wilayah Pulau Ambon dan Maluku Tengah saat HUT RMS.
“Ada 200 personel yang dikerahkan di wilayah hukum Polresta Pulau Ambon. Jadi, kami ingin mengantisipasi agar jangan ada pengibaran bendera saat HUT RMS dan aktivitas makar lainnya,” kata Leo, Kamis (23/4/2020).
Sebelum dikerahkan ke lapangan, 200 personel Polresta Pulau Ambon ini sempat mengikuti apel pergerakan pasukan yang dipimpin langsung Kapolresta Pulau Ambon di lapangan upacara Mapolresta setempat, pada Rabu (22/4/2020).
Leo menegaskan, pihaknya tidak segan-segan untuk mengambil tindakan tegas jika ada pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan HUT RMS untuk melakukan pengibaran bendera benang raja atau tindakan makar lainnya.
“Apabila terjadi pengibaran bendera RMS saya perintahkan agar segera di lakukan tindakan dan langkah-langkah,” ujar dia. (TS-01)
Discussion about this post