titastory, Jakarta – Krisis iklim tak lagi menjadi ancaman di masa depan. Ia sudah hadir hari ini—dalam bentuk suhu ekstrem, banjir di tengah musim kemarau, kekeringan berkepanjangan, dan kualitas udara yang terus memburuk. Saat dunia dituntut berpaling dari energi fosil, pendidikan tentang energi terbarukan justru belum menjadi bagian penting dalam sistem pengajaran di sekolah.
Di tengah tantangan itu, komunitas anak muda RE–Agents dan organisasi masyarakat sipil Trend Asia membuka ruang baru: pendidikan transisi energi di sekolah. Mereka menyasar generasi Z—populasi terbesar saat ini—untuk memahami akar krisis iklim dan mendorong transformasi menuju energi bersih dan berkeadilan.

“Pelajar dan anak muda harus ikut mendorong transformasi energi. Ini soal masa depan kita sendiri,” kata Valensiya, Ketua RE–Agents, dalam pameran bertajuk RE–Agents Goes to School di SMAN 3 Jakarta, Kamis, 29 Mei 2025.
Valensiya menilai minimnya materi transisi energi di ruang kelas menjadi celah yang perlu segera diisi. “Generasi muda harus diajak bicara soal dampak krisis iklim, terutama bagi kelompok marginal dan rentan. Mereka bisa jadi penggerak untuk memastikan hak hidup layak dan sehat bagi semua,” ujarnya.
Kegiatan ini menjadi bentuk praktik pendidikan kritis yang menyambungkan teori dengan realitas sosial-ekologis. Di ruang pamer, para siswa dikenalkan dengan teknologi energi terbarukan, mulai dari panel surya, turbin angin, hingga instalasi mikrohidro.
Mukhlis, Kepala SMAN 3 Jakarta, menyambut baik pendekatan ini. “Di sekolah jarang ada kegiatan seperti ini. Padahal bumi sedang tidak baik-baik saja. Kami juga ingin berkontribusi dalam gerakan energi bersih,” katanya.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan 2024 sebagai tahun terpanas dalam sejarah. El Nino sejak akhir 2023 dan peningkatan emisi karbon dari energi fosil disebut sebagai penyebab utama. “Kondisi ini menambah tekanan terhadap komitmen global dalam Perjanjian Paris,” ujar Valensiya.

Namun, arah kebijakan nasional justru dinilai berlawanan. Dalam RUPTL 2025–2034 yang diumumkan pekan ini, pemerintah masih menambahkan PLTU batu bara sebesar 6,3 GW dan PLTG sebesar 10,3 GW.
“Ini mengunci ketergantungan kita terhadap energi fosil. Padahal Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, sekitar 3.686 GW. Surya dan angin bahkan 15 persen lebih murah,” kata Beyrra Triasdian, Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia.
Triasdian menegaskan bahwa transisi energi bukan semata perkara teknologi. Keadilan sosial dan partisipasi komunitas menjadi kunci. Ia mencontohkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) di Kampung Tangsi Jaya, Bandung Barat, dan inisiatif Omset Pintar karya Noer Chanief, guru SMKN 1 Blora, yang menciptakan pembangkit tenaga angin dan surya untuk desa tanpa listrik.
“Di Blora, listrik itu kemewahan. Maka kami menciptakan solusi sendiri. Kincir angin dan panel surya kami pasang di jalan desa. Tak hanya gratis dan tanpa emisi, tapi juga menambah keamanan karena menurunkan populasi hama,” cerita Noer.
Ia juga membangun sepeda portabel pembangkit listrik saat pandemi. “Kami ingin membuktikan bahwa masyarakat bisa mandiri energi, kalau diberi ruang dan alat.”
Bagi Nadya Fidina Salam, guru Geografi SMAN 3 Jakarta, semua perubahan itu bisa dimulai dari ruang kelas. “Guru bisa mengajak siswa menghitung penggunaan listrik harian. Atau pelajaran fisika bisa mengukur kenaikan suhu global. Pelajaran soal energi bersih sudah sangat mendesak,” katanya.
RE–Agents dan Trend Asia menekankan bahwa transformasi energi harus inklusif, adil, dan berbasis kebutuhan komunitas. Pendidikan menjadi fondasi penting untuk mewujudkannya. Jika transisi energi hanya menjadi wacana elite, maka keberlanjutan akan terus tertunda.
Reporter: Edison Waas Editor: Christ Belseran