titastory.id, jakarta – Tolak rencana investasi budidaya peternakan sapi, Himpunan Mahasiwa Jargaria Kabupaten Kepulauan Aru, mendatangi kantor Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di di Jalan Jendral Gatot Subroto, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2024).
Aksi yang dilakukan oleh Solidaritas Mahasiswa Melanesia yang terdiri dari gabungan mahasiswa di Timur Indonesia antara lain mahasiswa Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.
Disman Gurgurem, salah satu perwakilan mahasiswa Aru dalam orasinya menolak dengan tegas rencana investasi peternakan sapi di wilayah adat mereka. Menurutnya, masyarakat di desanya sudah melakukan musyawarah dengan keputusan yang bulat untuk menolak investasi tersebut.
“Sebagai anak adat dari desa Gaimar, saya patut memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi para orang tua saya yang ada di desa”, kata Disman.
Disman bilang, Dia menduga ada upaya penguasaan wilayah pulau Trangan, Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru secara menyeluruh oleh investor, Andi Syamsudin Arsyad atau Haji Isam. Karena saat mendatangi desa Popjetur, timnya mencoba membodohi masyarakat dengan mengatakan bahwa semua prosedur telah selesai sehingga perusahaan bisa melakukan aktivitas.
“Tim-nya mencoba menipu masyarakat dengan bilang urusan dengan Bupati sudah selesai jadi nanti setelah urusan dengan masyarakat di desa baru mereka akan bertemu Bupati,” katanya.
“Kalau kata urusan dengan Bupati sudah selesai berarti ini mengacu pada rekomendasi yang pernah dibuat pada 2019. Dan itu bukan hanya di wilayah desa Popjetur tapi di pulau Trangan secara keseluruhan karena sekitar 60.000 hektar lahan yang akan menjadi wilayah konsesi peternakan sapi. Untuk itu, orang tua kami di desa Gaimar menyatakan sikap dengan tegas menolak”, kata Disman coba membeberkan peristiwa kedatangan tim Haji Isam di desa Popjetur.
Tak hanya di desa Gaimar, menurut Disman, Invstasi ini juga akan menyasar di desa Popjetur.
“Disana ada sebagian dari marga Apalem yang menolak, namun juga yang menerima. Kalau dari marga Siarukin semuanya menolak”
Penolakan yang dilakukan oleh warga kata Disman, bukan tanpa alasan, namun karena sikap perusahaan yang tidak wajar dan tidak melalui mekanisme aturan adat masyarakat setempat.
“Datang seperti orang pencuri sehingga wajar kalau masyarakat menolak”, kata Disman.
Jadi dengan jelas, kata Disman, anak buah Haji Isam yang datang secara diam-dia dan secara sengaja pengaruhi masyarakat dengan sejumlah tawaran maupun iming-iming. Tentunya ini bukan barang baru bagi masyarakat Aru yang sudah sejak lama menjadi target untuk investasi.
Lanjutnya, sehingga, kedatangan mahasiswa Aru Bersama gabungan mahasiswa Melanesia di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah bagian dari tindak-lanjut tuntutan masyarakat.
Hal ini kata menurutnya, agar pihak Kementerian tidak secara sepihak memberikan bagi investor yang tidak menjalankan prosedur perizinan.
“Banyak wilayah-wilayah yang sudah rusak akibat investasi, dari Papua, Maluku, Maluku Utara, sampai NTT. Masyarakat bukan makin baik ekonominya tapi makin rusak, ditambah lagi dengan ancaman kerusakan lingkungan”.
“Untuk itu, kami meminta Kementerian LHK, jangan memberi izin rencana investasi peternakan sapi karena akan ada ancaman perampasan ruang hidup, pencemaran lingkungan serta akar konflik yang bisa saja akan terjadi. Kalau investasi masuk karena persetujuan sebagian pihak tanpa marga yang berbatas maka jangan konflik pasti akan timbul sehingga relasi sosial yang saling membutuhkan di antara masyarakat Aru akan hilang dengan sendirinya,” tutup Disman.
Johan Djamanmona, mengatakan, izin Pemanfaatan Pemanfaatan Hutan seluas 54.560 hektar kepada PT. Wana Sejahtera Abadi merupakan bentuk ancaman terhadap ruang hidup masyarakat di Pulau Wokam dan Pulau Woham, kabupaten kepulauan Aru.
Selain itu, rekomendasi izin peternakan sapi seluas 61.527 hektar yang diterbitkan oleh Johan Gonga, Bupati Kepulauan Aru pada 2019 rencananya akan dilakukan re-aktivasi merupakan ancaman baru terhadap budaya masyarakat dan ruang hidup masyarakat yang hidup dari aktivitas berburu.
Belum lagi kata Johan, aktivitas pembukaan hutan alam dan pembalakan liar yang massif dilakukan di Kabupaten kepulauan Aru sehingga berdampak terhadap masyarakat dari tahun ke tahun.
Contoh kasus kata Johan adalah Abrasi, banjir rob, serta banjir yang terjadi di beberapa desa. Hal ini akibat aktivitas pengrusakan hutan dan perubahan iklim global. Selain itu dari 2013 ancaman pengrusakan hutan terus berdatangan, terakhir 2018 dapat ditolak oleh masyarakat Aru.
“Kepulauan Aru adalah wilayah yang Iandai, hutan di kepulauan Aru adalah penyangga kehidupan yang sangat rentan dengan aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang ada di daratan”, kata Disman Gurgurem, salah satu Pemuda Aru.
Aksi Masyarakat
Gelombang penolakan investasi peternakan sapi tidak hanya datang dari pemuda dan Mahasiswa di Aru dan Jakarta, namun Gerakan untuk menolak investasi milik haji Isa mini juga dilakukan masyarakat adat di Kepulauan Aru.
Dari pantauan tim media di desa Gaimar, Kecamatan Aru Selatan, terlihat sejumlah spanduk kain dipasang di dinding dan halaman rumah warga. Terlihat juga ada di depan pintu masuk desa.
“Kami masyarakat adat menolak investasi peternakan sapi di wilayah petuanan kami”, demikian pernyataan masyarakat Desa Gaimar pada sejumlah spanduk.
Johan Djamanmona, Perwakilan Pemuda Aru dalam aksinya menuntut kepada Pemerintah Norwegia untuk segera menghentikan pemberian dana penurunan emisi karbon kepada Pemerintah Indonesia karena faktanya di lapangan berbanding terbalik.
“Kami akan mendesak pemerintah Norwegia hentikan penyaluran dana penurunan emisi krabon karena dana itua supaya hutan bisa dijaga dan terawat. Tetapi realita di lapangan malah bentuk penipuan yang disampaikan, kerusakan hutan terus terjadi,” kata Johan. Mereka kata Johan tidak segan membuat petisi dan menyurati Pemerintah Norwegia untuk menghentikan dana tersebut.
Terhadap masalah yang terjadi Ia meminta Kementerian LHK segera melihat keberadaan suku Tobelo Dalam yang saat ini menjadi korban dari program proyek strategis nasional.
Kepala Desa Gaimar, Markus Apalem, kepada media ini mengatakan penolakan yang dilakukan langsung oleh masyarakat. Selaku kepala pemerintahan desa, kata Markus, hanya mengacu kepada tuntutan masyarakat.
“Jadi kalau masyarakat menyatakan sepakat untuk menolak berarti selaku kepala pemerintahan, saya hanya bisa menjawab apa yang dikehendaki oleh seluruh masyarakat desa Gaimar,” ujarnya.
Terlepas sebagai Kepala Desa, kata Markus, Ia merupakan anak adat dari Desa setempat sehingga melekat kewajiban untuk mematuhi apa yang menjadi keputusan bersama para orang tua adat.
“Hari ini, para tua-tua adat beserta masyarakat menghubungi saya untuk melakukan pemasangan spanduk sebagai bentuk penegasan. Dan karena ini keputusan yang dihasilkan dari forum musyawarah para tua-tua adat serta masyarakat maka terlepas dari kepala pemerintahan, saya merupakan anak adat”, kata Markus.
Markus berharap, aksi penolakan yang dilakukan masyarakat ini juga dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa Aru yang ada di Dobo, Makassar, Ambon, maupun di Jakarta, agar nantinya tuntutan mereka bisa didengar dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Pusat.
“Ketika dihubungi oleh teman-teman Pemuda dan Mahasiswa Aru, saya nenyampaikan bahwa apa ya menjadi tuntutan masyarakat adalah kesepakatan bersama sehingga kami juga berharap ada dukungan dari teman-teman. Semua masyarakat desa Gaimar yang tinggal di Dobo juga menyatakan penolakan dengan membubuhi tanda-tangan pada lembaran penolakan yang dikirim ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”, harapnya. (TS-10)
Discussion about this post