titastory, Pulau Buru – Di tepian sungai yang airnya mengalir jernih, suara tawa anak-anak bercampur dengan gemericik air dan nyanyian alam. Mereka, anak-anak lelaki dan perempuan dari masyarakat adat Buru, menjalani salah satu ritual penting dalam hidup mereka—Toho Wae. Sebuah tradisi sunat yang bukan sekadar proses medis, tetapi juga upacara sakral yang sarat dengan nilai budaya, spiritualitas, dan kekeluargaan.
“Toho Wae” bukan sekadar ritual sunat biasa. Lebih dari itu, ini adalah proses peralihan dari dunia kanak-kanak menuju kedewasaan awal, sebuah fase penting yang harus dilewati setiap anak laki-laki suku Buru sebelum memasuki usia sekolah. Sejak dini, mereka diajarkan tentang keteguhan hati, kesabaran, dan keberanian.
Tradisi ini dimulai dengan prosesi berendam di sungai selama dua hingga tiga jam. Air sungai yang dingin bukan sekadar elemen alam, tetapi dipercaya membawa kesucian dan kekuatan bagi anak-anak yang akan menjalani proses sunat. Di tengah gemuruh sungai dan suara dedaunan yang bergesekan dihembus angin, para anak laki-laki duduk berendam, menanti giliran mereka dipanggil oleh Mama Tukang dan Bapa Tukang—sebutan untuk ahli sunat tradisional yang memiliki keahlian khusus dan dihormati dalam masyarakat Buru.
Setelah prosesi sunat selesai, riuh rendah suara tifa menggema di udara. Sorak-sorai penuh kegembiraan terdengar dari para kerabat dan tetangga yang hadir. Tari Cakalele—tarian perang khas Maluku—ditampilkan sebagai bentuk penghormatan atas keberanian anak-anak yang telah menyelesaikan ritual ini.
Hari itu, wajah anak-anak yang baru saja disunat dipenuhi senyum bangga. Mereka kemudian didandani dengan pakaian adat terbaik, wajah mereka dipoles dengan riasan sederhana namun memancarkan pesona khas tradisi Buru. Kampung pun berubah menjadi lautan sukacita. Semua orang bersatu dalam tarian Inafuka, tarian penuh simbol tentang kebersamaan dan rasa syukur.
Di sela-sela tarian dan sorak sorai, ada satu prosesi yang tak kalah penting—Fua Burat. Anak-anak yang baru saja disunat akan membagikan sirih pinang kepada Mama Tukang dan Bapa Tukang, sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan terima kasih. Sirih pinang, yang dalam budaya Maluku melambangkan persaudaraan dan penerimaan, menjadi simbol ikatan suci antara anak-anak yang baru saja melewati fase penting dalam hidup mereka dan para pemangku adat yang membimbing mereka dalam ritual tersebut.
Sebagai puncak dari rangkaian upacara, keluarga dari anak-anak yang disunat akan menggelar patita—sebuah pesta adat dengan hidangan melimpah yang dinikmati bersama oleh seluruh warga kampung. Hidangan khas daerah tersaji, disertai dengan doa-doa pengharapan untuk masa depan yang cerah bagi anak-anak tersebut. Dalam pesta ini, Mama Tukang dan Bapa Tukang mendapatkan penghormatan khusus, diperlakukan layaknya orang tua kedua bagi anak-anak yang mereka sunat.
Tradisi Toho Wae bukan hanya tentang ritual fisik, tetapi tentang nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di balik setiap gerakan tarian, setiap irama tifa, dan setiap suap hidangan dalam pesta patita, tersembunyi kisah tentang keberanian, penghormatan, dan solidaritas komunitas.
Melalui unggahan sederhana di media sosial, Deliana Behuku mengingatkan kita bahwa di tengah arus modernisasi yang deras, tradisi seperti Toho Wae tetap hidup dan berdiri teguh sebagai penjaga identitas dan warisan budaya Pulau Buru.
Toho wae (sunat)
Setiap anak Buru di bawah usia belum sekolah, diwajibkan harus ‘toho wae’
Tradisinya dengan anak-anak berendam di sungai selama 2-3 jam yg disebut toho wae.
Setelah disunat oleh mantri khusus, diaebut Mama Tukang dan Bapa Tukang…
Akhirnya selesai, dan disorak Holun dengan tifa dan disambut dengan cakalele.
Setelah itu, setiap anak didandan cantik dan tampan dalam satu hari, semua satu kampung akan menari dengan Inafuka.
Sambil Fua Burat, makan pinang sirih dari anak² yg disunat akan diberikan ke Mm Tukang dan Bp Tukang mereka.
Orangtua juga biasanya membuat makanan patita, makan rame² untuk orang² di kampung. Terlebih ada persembahan khusus kepada Tukang sebagai orangtua anak² yg disunat.
Sekian~
Itulah tradisi di kampungku
Dan di sana, di tepian sungai yang airnya tak pernah berhenti mengalir, cerita tentang Toho Wae akan terus diceritakan. Sebuah warisan yang tak hanya merawat tubuh, tetapi juga merawat jiwa dan kebersamaan masyarakat adat Buru.
Penulis: Christ Belseran
Sumber: Akun Facebook Deliana Behuku