Titastory Mengabdi: Cerita dari Orang Upau, Penjaga Hutan di Kaki Gunung Manusela

26/01/2025
Gambar bagian atas adalah keindahan di sekitar kaki gunung Manusela, Foto kiri bawah Christ Belseran Founder titastory sedang menyerahkan bantuan berupa alat tulis menulis kepada siswa-siswi sekolah adat Lumah Ajare di Dusun Manggadua, Foto kanan bawah anak-anak suku Upao yang tinggal di dusun Manggadua, Negeri Sounulu terlihat antuasias menerima bantuan alat tulis menulis dari tim media titastory. (Foto: redaksi titastory)
Spesial HUT titastory ke-5 : Harmoni Tradisi, Alam, dan Pengabdian di Negeri Sounulu

Di bawah naungan Gunung Manusela, anak-anak keturunan Maraina tersenyum ceria.

Mereka hidup dengan sederhana, namun semangat mereka untuk belajar dan menjaga jati diri adat tetap menyala.

 

Dusun Manggadua, Negeri Sounolu, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah – Senyum ceria anak-anak Dusun Mangga Dua menghiasi malam itu, menyala dalam semangat yang jarang terlihat di tengah hiruk-pikuk kota besar. Mereka bernyanyi, tertawa, dan menyambut kami, tim titastory.id, dengan rasa syukur yang tulus. Meski hidup dengan fasilitas seadanya, tanpa kemewahan yang sering dianggap lazim oleh anak-anak di kota, semangat mereka untuk belajar dan menjaga identitas sebagai anak adat sungguh luar biasa.

Dengan alat tulis seadanya, buku-buku yang tak banyak, serta beralaskan tikar bambu mereka tetap tekun belajar. Tidak ada keluhan, tidak ada putus asa—hanya ada tekad untuk terus maju, menjaga warisan leluhur mereka sebagai anak-anak keturunan Manusela dan Maraina.

Malam itu, lagu terima kasih dalam bahasa setempat menggema di sudut beranda tempat kami berkumpul. Suara mereka yang polos namun penuh semangat membuat kami terharu. Mereka tidak hanya bernyanyi; mereka berbicara melalui nyanyian, mengucapkan terima kasih atas kehadiran kami. Kami, tim titastory, balas bernyanyi. Heningnya malam Manggadua seketika berubah menjadi penuh kehangatan.

Ini tentunya kebahagiaan untuk kami apalagi, bulan ini masih dalam suasana peringatan HUT ke-5 media titastory.id, tentu sebuah sejarah yang tak bisa dilupakan. Kami sangat senang berkesempatan dalam aksi kecil menyapa puluhan siswa-siswi sekolah adat di Dusun Mangga Dua, Negeri Sounolu, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah.

“ Tak banyak yang dapat kami berikan, semoga hal yang sedikit ini bisa dipergunakan untuk menunjang masa depan,” kata Dianti pimpinan redaksi titastory dihadapan siswa-siswi sekolah adat, sabtu (18/1).

titastory mengabdi dengan memberikan bantuan alat tulis menulis kepada para pelajar sekolah adat Lumah Ajare di yang diterima langsung oleh Kepala Sekolah Adat Lumah Ajare, Johan Waliana. (Foto: titastory)

Kepala Sekolah Adat Lumah Ajare, Johan Waliana, menjelaskan bahwa pendidikan di sekolah adat ini tidak hanya berpusat pada buku, tetapi juga pada alam, tanah, dan tradisi leluhur. “Di sekolah adat, kami mengajarkan bahwa alam adalah saudara kita,” tuturnya.

Menurut Johan, sejak dini anak-anak dibimbing untuk memahami dan merasakan bahwa alam adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kedekatan dengan alam ini tertanam dalam aktivitas sehari-hari, sehingga membentuk hubungan emosional yang kuat antara anak-anak dan lingkungan sekitarnya.

“Melalui kesempatan ini, saya mewakili sekolah adat sekaligus masyarakat adat ingin menyampaikan pesan untuk kita semua: mari jaga alam ini. Kita tidak bisa hidup tanpa alam. Kita bergantung kepada alam, sehingga wajib untuk menjaga alam ini, bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang,” pesan Johan penuh harap.

Tim titastory bersama pelajar dan guru komunitas sekolah adat Lumah Ajare

Mendidik Generasi Penjaga Alam

Sekolah adat Lumah Ajare, yang berdiri pada tahun 2023, memiliki visi besar sebagai pusat pembelajaran, pelestarian, dan pengembangan pendidikan adat bagi generasi Nusa Ina. Visi ini berlandaskan nilai-nilai luhur dan pemberdayaan masyarakat adat.

Sekolah ini juga mengemban misi penting, di antaranya: Membentuk generasi Nusa Ina yang beradat, beradab, berilmu, dan berakhlak, Menjadikan wilayah adat sebagai sumber pengetahuan, Menciptakan pemimpin muda adat yang kompeten serta Memberdayakan masyarakat adat melalui pengetahuan adat yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.

Johan bilang, pelajaran di Lumah Ajare tidak hanya berisi teori, tetapi juga praktik langsung di alam. Para guru adat mengajarkan harmoni dengan lingkungan, menanamkan nilai-nilai adat, dan mengajak anak-anak memahami peran mereka sebagai penjaga masa depan bumi.

“Alam adalah guru terbaik,” kata  Natan Lilihatta, kepala dusun Manggadua. Di hutan dan kebun pala, cengkeh, serta kelapa sekitar Dusun Mangga Dua, anak-anak belajar bagaimana hidup selaras dengan alam. Mereka memahami bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga cara untuk mempertahankan kehidupan.

Kehadiran Lumah Ajare menjadi lebih dari sekadar tempat belajar. Sekolah adat ini adalah simbol perlawanan terhadap arus modernisasi yang kerap menggerus nilai-nilai tradisi. Di sini, masyarakat adat berupaya mempertahankan jati diri mereka, memastikan warisan leluhur tidak hilang dan tetap menjadi pedoman hidup generasi mendatang.

 

Di Antara Gunung dan Adat: Sebuah Kehidupan yang Harmonis

Dusun Manggdua adalah gambaran sempurna dari kehidupan yang menyatu dengan alam. Kampung kecil ini berdiri teguh di kaki Gunung Manusela, tiga kilometer dari garis pantai. Warganya adalah petani yang menggantungkan hidup pada hasil tanam seperti kasbi, keladi, kelapa, dan cengkih. Namun, lebih dari itu, mereka adalah penjaga tradisi yang menghormati adat dan alam.

“Hutan itu katong pung kaka,” kata Natan Lilihatta. “Pohon-pohon adalah saudara kami. Mereka memberi oksigen, makanan, dan kehidupan. Tanpa mereka, kita tidak akan ada.”

Setiap lelaki di kampung ini mengenakan berang, kain merah di kepala yang melambangkan kesiapsiagaan untuk melindungi tanah adat, keluarga, dan tradisi. Perempuan, yang disebut Saloi, menjalankan peran penting dalam mengolah hasil bumi, menjadikan tanah dan hutan sebagai sumber kehidupan yang tidak pernah habis.

 

Tradisi yang Menjaga Generasi

Dalam kunjungan ini, kami juga diberi kesempatan mendokumentasikan ritual kasi kaluar anak—sebuah tradisi yang dilakukan sebelum seorang bayi diperkenalkan kepada dunia luar. Ritual ini bukan sekadar seremonial; ia adalah simbol bahwa setiap anak yang lahir diterima oleh komunitas dengan penuh cinta dan tanggung jawab bersama.

“Anak-anak sangat berharga bagi kami,” jelas Petrus Lilihatta, tetua adat Mangga Dua. “Kami percaya bahwa sebelum seorang anak melihat dunia luar, mereka harus disiapkan dengan baik, baik secara spiritual maupun material.”

Setiap keluarga dari suku membawa barang-barang rumah tangga seperti piring, gelas, dan sendok sebagai simbol dukungan dan tanggung jawab bersama untuk masa depan anak tersebut. Nilai kekeluargaan ini menjadi fondasi yang kokoh bagi komunitas mereka.

 

Pesan Alam untuk Masa Depan

Semangat anak-anak Manggadua untuk belajar tidak hanya mencerminkan keinginan untuk maju, tetapi juga menunjukkan hubungan mendalam mereka dengan alam. Dalam setiap nyanyian, tawa, dan langkah kecil mereka, ada pesan besar yang tersirat: menjaga alam adalah menjaga kehidupan.

Sebagai media yang berkomitmen menyuarakan suara-suara yang terpinggirkan, titastory.id merasa terpanggil untuk mendokumentasikan cerita ini. “Kami ingin menjadi bagian dari perjuangan mereka,” kata Marta Dianti, pimpinan redaksi titastory. “Hutan, adat, dan anak-anak seperti mereka adalah masa depan kita.”

Titastory mengabdi dengan menanam bibit pohon pala di sekitar kebun warga.

Namun, ancaman deforestasi, eksploitasi alam, dan regulasi yang sering tidak berpihak pada masyarakat adat menjadi tantangan besar.

“Masyarakat adat adalah guru konservasi kita. Mereka tahu bagaimana hidup selaras dengan alam. Tapi ironisnya, mereka seringkali menjadi korban,” lanjut Dianti.

Selain berbagi kasih dengan anak-anak sekolah adat dan mendokumentasikan tradisi kasi kaluar bayi—ritual sakral masyarakat adat Dusun Manggadua, Negeri Sounulu, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah—titastory juga turut serta dalam aksi nyata menjaga lingkungan. Tim kami berkesempatan menanam bibit pohon pala di kebun milik warga setempat.

Penanaman ini bukan sekadar simbolis, melainkan bagian dari program titastory yang berkomitmen menjaga bumi dari ancaman deforestasi, krisis iklim, hingga bencana ekologi lainnya. Bibit-bibit pala tersebut diharapkan tumbuh menjadi pohon-pohon besar yang tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi warga, tetapi juga menjadi penjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem di kawasan ini.

“Ini lebih dari sekadar menanam pohon. Ini adalah bagian dari tanggung jawab kita untuk menyayangi bumi,” ujar Dianti.

Rangkaian acara titastory mengabdi juga mendokumentasikan tradisi kasi kaluar bayi—ritual sakral masyarakat adat Dusun Mangga Dua, Negeri Sounulu, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah

Cahaya Harapan dari Mangga Dua

Malam itu berakhir dengan rasa haru dan syukur. Anak-anak Dusun Manggadua mengajarkan kami bahwa kebahagiaan tidak diukur dari kemewahan, tetapi dari semangat dan cinta pada apa yang dimiliki.

Dalam semangat mereka, kami melihat harapan—harapan bahwa tradisi akan terus hidup, bahwa alam akan tetap lestari, dan bahwa anak-anak seperti mereka akan menjadi penjaga masa depan.

Di kaki Gunung Manusela, anak-anak Manusela dan Maraina ini adalah cahaya kecil yang akan menerangi jalan bagi generasi berikutnya. Dan di tengah malam yang hangat itu, kami tahu bahwa tugas kami sebagai media adalah memastikan cerita mereka terus terdengar, tidak hanya di Manggadua, tetapi di seluruh dunia.

Penulis          : Edison Waas
Editor           : Christ Belseran
error: Content is protected !!