- Belasan mahasiswa Papua yang sedang menimba ilmu di Ambon, Maluku, menggelar aksi demo damai didepan pintu gerbang kampus Universitas Pattimura, Poka, Kecamatan Teluk Ambon, Jumat (29/7/2022).
- Juru Bicara PRP Sekber Maluku, Herman Giban mengatakan, mereka menolak UU DOB yang akan dinyatakan sah dan berlaku pada 30 Juli 2022, besok.
TITASTORY.ID– Belasan mahasiswa membawa sejumlah pamflet, bertuliskan “Cabut Otsus, Cabut DOB, Gelar Referendum di West Papua”. Orasi dilakukan secara bergantian, dan sejumlah mahasiswa yang masuk ke kampus dibagikan selebaran berisi pernyataan sikap yang dikeluarkan Juru Bicara Petisi Rakyat Papua, Jefri Wenda.
Dalam pernyataan sikapnya dikatakan, pada 30 Juni 2022 lalu, tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) DOB Provinsi Papua telah disahkan melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jakarta.
Sesuai mekanisme hukum di Indonesia, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus melalui rapat paripurna DPR RI, dan disahkan draf UU kemudian diajukan kembali ke pemerintah untuk dikeluarkan Peraturan Pemerintah (Perpu).
Namun jika selama 30 hari sejak UU di sahkan oleh DPR RI belum ada Perpu yang di keluarkan, maka UU tersebut akan dinyatakan sah. Dijelaskan, Undang-Undang DOB Papua telah disahkan oleh DPR RI pada 30 Juni 2022 lalu, dan di ajukan ke pemerintah untuk dikeluarkan Perpu, namun hingga saat ini belum ditanggapi.
Dengan demikian, jika Presiden Joko Widodo belum mengeluarkan Perpu, maka tepat tanggal 30 Juli 2022 (Red-Sabtu) UU DOB Papua akan dinyatakan sah.
Disebutkan, penolakan ini disebabkan karena proses pembahasan dan pengesahan RUU tentang DOB maupun Otsus Papua Jilid II tanpa melibatkan rakyat Papua, termasuk Majelis Rakyat Papua (MRP) dan dilakukan secara sepihak oleh Jakarta.
Tiga provinsi yang akan dimekarkan Provinsi Papua Tengah ibukotanya di Nabire, Provinsi Papua Selatan Ibu kotanya Merauke, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah yang Ibukotanya di Jayawijaya dan Papua Barat daya di Sorong.
Dia berpendapat, Pembahasan Rancangan UU DOB dilakukan atas dasar perubahan pasal 76 UU No. 2 Tahun 2021 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua, dan telah direspon dengan aksi demonstrasi besar-besaran, baik di Papua maupun di luar Papua.
Tentu, rakyat Papua menyadari bahwa Pemekaran tiga Provinsi dan Papua Baarat daya sudah direncanakan sebelumnya, berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 (yang kini sudah diubah menjadi pasal 76 UU No. 2 Tahun 2021). Produk UU ini dinilainya merupakan bagian dari produk penjajahan bagi orang Papua.
“Oleh karena itu mengapa pembahasan RUU tentang DOB dan sebelumnya disepakati secara sepihak, karena manfaatnya untuk mempertahankan kekuasaan penjajahan Indonesia di West Papua,”tukasnya.
Rakyat Papua tegas Dia, dengan sadar menolak Otsus yang diberikan yang bertujuan untuk meredam gerakan rakyat Papua menuntut kemerdekaan.
Dia juga mengkhawatirkan, dinamika demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Papua akan sangat jauh bergeser ke politik Identitas berdasarkan warna kulit, Gunung Pantai, Suku, Marga, hingga kelompok berdasarkan kepentingan.
Lantas nasib orang Papua yang jumlah populasinya sangat sedikit dari non-Papua di Papua akan dihadapkan dengan konflik justru mengalami perpecahan.
Disisi lain, realita keberadaan orang Papua sangat jauh dari kata sejahtera. Kondisi rakyat Papua di sektor kesehatan dan gizi buruk terus meningkat; lalu buta huruf dan buta aksara paling tinggi di wilayah penghasil Emas dan Migas paling banyak di Indonesia itu.
“Kemudian kemiskinan juga paling tinggi. Ironisnya Kabupaten Timika merupakan contoh salah satu kota termiskin di Papua. Padahal PT. Freeport berada di Kabupaten Timika. Dan Masih banyak lagi persoalan-persoalan di berbagai sektor,”pungkasnya. (TS-01)
Discussion about this post