Intan Jaya, — Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Intan Jaya, Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), serta Dewan Adat Papua (DAP) menyatakan sikap bersama menuntut pemerintah menghentikan pendekatan militer di Tanah Papua. Desakan ini disampaikan menyusul tragedi penembakan yang menewaskan 11 warga sipil di Kampung Soanggama, Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua Tengah, pada Rabu, 15 Oktober 2025.
Ketiga organisasi tersebut menilai tindakan kekerasan bersenjata yang terjadi berulang kali antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat–Organisasi Papua Merdeka (TPNPB–OPM) dengan aparat TNI–Polri menunjukkan bahwa pendekatan militeristik justru memperpanjang rantai pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
“Tragedi kemanusiaan di Soanggama harus menjadi evaluasi bagi Presiden Prabowo Subianto dan Panglima TNI untuk segera menarik pasukan dari wilayah Intan Jaya,” ujar Jacob Ugiba, Ketua KNPB Wilayah Intan Jaya, dalam keterangan tertulis yang diterima titastory.id, Senin (27/10/2025).
Menurut Jacob, penembakan terhadap warga sipil tak bisa lagi dianggap sebagai insiden biasa. “Ini pelanggaran HAM berat yang harus ditangani serius, bukan hanya dengan narasi penegakan keamanan,” tegasnya.
YKKMP: Kekerasan di Papua Terjadi Secara Sistematis dan Massif
Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) menilai kekerasan di Papua merupakan fenomena sistematis dan berlangsung secara terstruktur.
“Presiden mengetahui bahwa pelanggaran HAM di Papua terjadi secara terang benderang. Namun sistem hukum kita belum menjamin keadilan bagi orang Papua,” tulis Theo Hesegem, Direktur Eksekutif YKKMP, dalam surat tersebut.
Theo menegaskan bahwa mekanisme hukum nasional selama ini gagal memberikan perlindungan bagi masyarakat Papua. “Mendapat keadilan dalam sistem hukum Indonesia adalah perjuangan paling sulit bagi orang Papua,” ujarnya. Ia mendesak pemerintah agar menghentikan pola impunitas dan memastikan pelaku kekerasan terhadap warga sipil ditindak secara tegas.
Rasa Takut dan Pengungsian Massal
Jacob Ugiba juga menyoroti banyaknya pos militer yang berdiri di Intan Jaya. Keberadaan pos-pos tersebut, kata dia, menciptakan ketakutan dan tekanan psikologis bagi warga sipil.
“Baik TPNPB maupun aparat militer harus menghormati prinsip kemanusiaan dalam konflik bersenjata. Warga sipil tidak boleh menjadi korban,” ucapnya.
Ia menambahkan, hingga akhir Agustus 2025, lebih dari 100 ribu warga Papua tercatat mengungsi akibat kekerasan di berbagai wilayah, termasuk Intan Jaya, Nduga, dan Yahukimo. “Pemerintah harus menjadikan jumlah pengungsi ini sebagai alarm kemanusiaan, bukan sekadar statistik,” ujar Jacob.
Dewan Adat Papua: “Tidak Ada Damai di Atas Darah dan Ketakutan”
Sikap serupa disampaikan Yan P. Yarangga, Ketua Dewan Adat Papua (DAP). Ia mengecam keras tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil tanpa penyelesaian hukum yang jelas.
“Kami, sebagai representasi masyarakat adat Papua, sangat prihatin dan marah. Tidak ada kesejahteraan dan kedamaian yang bisa dibangun di atas darah dan ketakutan,” kata Yan.
DAP mendesak Presiden Prabowo agar turun langsung ke Papua untuk memastikan penegakan hukum dan pembentukan tim independen guna menyelidiki kasus penembakan di Intan Jaya.

Desakan Konkret untuk Pemerintah dan PBB
Dalam pernyataannya, YKKMP dan DAP menyampaikan sejumlah tuntutan moral dan politik kepada pemerintah Indonesia dan komunitas internasional.
Tuntutan YKKMP:
- Pemerintah segera membuka akses bagi wartawan nasional dan jurnalis asing untuk meliput situasi HAM di Papua.
- PBB diminta membentuk tim investigasi melalui prosedur khusus untuk mengidentifikasi akar konflik di Papua.
- Negara diminta membuka diri terhadap kunjungan Dewan HAM PBB ke wilayah-wilayah terdampak kekerasan.
- Pemerintah Indonesia didesak menginisiasi dialog damai dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Tuntutan DAP:
- Presiden harus memastikan penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelaku penembakan warga sipil.
- Dibentuk tim independen yang melibatkan Komnas HAM, tokoh adat, gereja, dan perwakilan masyarakat.
- Hentikan pendekatan keamanan, dan dorong dialog kemanusiaan sebagai jalan damai menyelesaikan konflik Papua.
- Jaminan perlindungan bagi tenaga pendidik, tenaga medis, dan pekerja sipil di wilayah rawan konflik.
- Inisiasi dialog rekonsiliasi nasional dengan melibatkan semua pemangku kepentingan di Tanah Papua.
Ketiga organisasi ini menegaskan, Papua membutuhkan pendekatan kemanusiaan, bukan operasi militer. Kekerasan yang berulang, kata mereka, hanya akan memperdalam luka dan memperkuat ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap negara.
“Jika negara sungguh ingin membangun Papua, maka hentikan kekerasan dan buka ruang dialog yang setara,” tutup Theo Hesegem.
