titastory.id,- Aksi protes dan penolakan terhadap izin tambang marmer di petuanan hutan taniwel berlanjut. Ratusan masyarakat adat dan mahasiswa yang menamakan diri mereka Aliansi Taniwel Raya (ANTARA) menggelar aksi demonstrasi di Kantor DPRD Maluku, Karang Panjang, selasa 13 Oktober 2020.
Ratusan Masyarakat dan Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa menolak tambang batu marmer oleh PT. Gunung Makmur Indah di lahan ulayat masyarakat adat Kecamatan Taniwel, Kabupaten Seram BagianBarat, Provinsi Maluku.
Aksi unjuk rasa ini nyaris ricuh antara masyarakat adat dengan sejumlah anggota DPRD Maluku di depan kantor DPRD. Saling adu mulut pun terjadi. Meski begitu, kedua pihak dapat menahan emosi mereka masing-masing.
Aksi ini menurut masyarakat adat sudah berlangsung ketiga kalinya. Mereka merasa aksi unjuk rasa tidak dihargai dan tidak ada kepastian dari Pemerintah Maluku maupun DPRD Maluku.
Selama ini, menurut mereka telah melakukan demo menolak penambangan sebanyak tiga kali, namun tuntutan mereka tak direspons DPRD. Sementara, para pedemo menilai tuntutan mereka tertahan di meja Komisi II selama dua minggu tanpa pembahasan.
“Kami meminta penangguhan karena selama tiga kali aksi di sini, tuntutan penolakan perusahaan tambang di sana tak dihiraukan,”ujar korodinator Aksi Aliansi Taniwel Raya Seram Bagian Barat, Harun Matayane.
Dalam pernyataanya Harun menyampaikan warga menolak penambangan karena hutan tersebut masih tersimpan situs bersejarah yang mesti dilestarikan hingga turun temurun. Hutan adat tersebut, kata dia, merupakan perkampungan para nenek moyang. Kala itu, hutan menjadi sumber kehidupan bagi para leluhur hingga diwariskan kepada anak cucu.
“Warga khawatir jika perusahaan tambang beroperasi, maka akan membawa malapetaka bagi warga yang menggantungkan hidup dari satu batang air Kaputih dan Sapalewa yang mengalir dari hutan,” kata Harun Matayane menjelaskan.
Ratusan masyarakat adat ini untuk memprotes izin wilayah usaha tambang (IUP) yang dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Maluku kepada PT. Gunung Makmur Indah, tanpa melalui mekanisme undang-undang.
Pendemo menyesalkan surat rekomendasi yang dikeluarkan Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat, M. Yasin Payapo, dan kemudian diteruskan oleh Pemerintah Provinsi Maluku melalui izin.
“Berdasarkan hasil survei kami di lapangan, kami telah mengetahui dan mengantongi data penolakan sejumlah masyarakat adat kecamatan Taniwel (Taniwel, kasieh, Nukuhai) serta wilayah sekitarnya yang berpotensi terkena dampak yang memberikan penolakan terhadap kehadiran PT. Gunung Makmur Indah untuk beroperasi di ulayat masyarakat adat,”ujar Harun Matayane.
Aksi yang di gelar di kantor DPRD Maluku ini, pengunjuk rasa menuntut DPRD dan Gubernur Maluku segera mencabut izin yang telah dikeluarkan.
“DPRD harus mengawal seluruh aspirasi masyarakat Taniwel dengan mendesak Bupati SBB stop berikan ijin usaha, karena wilayah itu hak ulayat masyarakat adat, bukan pemerintah,” pintanya.
Masyarakat adat dalam orasinya mengatakan protes masuknya PT. Gunung Makmur Indah di ulayat masyarakat adat berawal pada tanggal 13 januari 2020. Saat itu penjabat desa Kasieh dan juga penjabat Desa Nukuhai mengeluarkan surat pernyataan dukungan tertanggal 14 januari 2020. Para pejabat tersebut menurut masyarakat ini diduga menerima gratifikasi.
Pengunjuk rasa ini membeberkan tugas dari kedua penjabat desa yang ditugaskan Bupati untuk menyiapakan kepala Desa Definitif malah menggerjakan tugas di luar tupoksinya, dan mengeluarkan rekomendasi.
“Kedua penjabat kepala desa kan tugasnya jelas,bukan lagi membuat gaduh sampai mengeluarkan izin di luar tupoksinya. Namanya juga penjabat. Kira-kira siapa yang memerintahkan mereka,” teriak Harun di depan anggota DPRD .
“Untuk penjabat Desa Kasieh mengeluarkan surat pernyataan dukungan dengan nomor:140-03, kemudian penjabat Desa Nukuhai mengeluarkan surat pernyataan dukungan tertanggal 14 januari 2020 dengan nomor:140/04/2020. Hal inilah kemudian membuka pergerakan PT. gunung Makmur Indah untuk mengeluarkan izin eksplorasi padahal hal ini belum disepakati bersama oleh masyarakat adat negeri Taniwel, Kasieh, dan Nukuhai, baik secara keseluruhan maupun dari soa-soa yang dimasuki hutan ulayatnya,” teriak Apriliska Lattu Titahena salah seorang perempuan adat dari Taniwel.
Di depan Kantor DPRD, selasa siang masyarakat adat ini membacakan tuntutan mereka, yakni meminta Pemprov Maluku mencabut kembali WIUP yang telah diberikan kepada PT Gunung Makmur dan meminta DPRD Provinsi Maluku mendesak GubernurMaluku menghentikan segala bentuk perijinan usaha pertambangan yang ada di wilayah Kecamatan Taniwel.
Para pengunjuk rasa ini juga memaksa DPRD Maluku segera meneken surat penangguhan perizinan perusahaan tambang agar perusahaan tidak beroperasi di Hutan adat petuanan di tiga desa tersebut.
Sementara itu, ketua Komisi II DPRD Maluku Saodah Tethol mengatakan bakal turun bertemu dengan warga dan kepala desa di sana. “PRD membuat rapat komisi dan membawa persoalan tersebut ke rapat paripurna,” kata Saodah.
Menurut dia, DPRD tak memiliki kewenangan penuh dalam mengambil keputusan membatalkan perizinan karena perizinan tersebut tengah dikeluarkan pemerintah daerah. Namun, DPRD akan mengawal aspirasi masyarakat adat sampai tuntas.
“Besok Rabu (14/10/2020) Komisi II turun ke sana, kami mau pastikan keluhan pedemo di tengah warga di tiga desa di sana,” kata Saodah.
Diketahui, PT. Gunung Makmur Indah akan melakukan operasi tambang batu marmer di kabupaten Seram bagian Barat seluas 2400,15 Hektar yang berlokasi di tiga kawasan yakni Taniwel, Kasieh, dan Desa Nukuhai yang merupakan ulayat masyarakat adat.
Dari situ Bupati Seram Bagian Barat mengeluarkan rekomendasi dan kemuadian dilanjutkan dengan rekomendasi Gubernur Maluku.
“Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat, M. Yasin Payapo mengelurakan rekomendasi dengan nomor 543/035/251.1/2020/ tertanggal 22 januari 2020 kepada Gubernur Maluku. Kemudian, Gubernur Maluku mengeluarkan surat keputusan persetujuan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) nomor : 93 tahun 2020 tertanggal 17 februari 2020,” paparnya.
Dari situ, lanjut dia Gubernur Maluku mengeluarkan surat keputusan dengan nomor 93 tahun 2020, dan bupati mengeluarkan surat rekomendasi nomor 540/088/REK.11/2020 tertanggal 17 februari 2020 tentang wilayah izin usaha.
“Berdasarkan peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2010 dan juga rekomendasi Bupati kabupaten Seram Bagian Barat dan Gubenur Maluku maka PT. GMI melakukan proses eksplorasi pada tahap lingkungan di masing-masing Negeri (Desa) adat,” pungkasnya.
Atas rekomendasi sepihak itulah maka pada tanggal 12 september 2020, masyarakat adat Negeri (Desa) Nukuhai dan Negeri Kasieh melakukan rapat Negeri serta menggalang dukungan dari masyarakat adat secara keseluruhan dengan tanda tangan petisi penolakan sebagai bentuk protes terhadap PT. GMI.
“Apapun yang terjadi kami akan tetap menjaga tanah dan hutan adat kami, meski kami harus berhadapan dengan aparat Negara dan Pemerintah. Kami tegaskan kami menolak dan kami akan usir perusahan itu dari ulayat Negeri Taniwel,” teriak Baytia Masihuwey, demonstran. (TS-01)
Discussion about this post