TITASTORY.ID, Provinsi Maluku merupakan provinsi kepulauan yang terdiri dari 1.412 buah pulau dengan garis Panjang pantai 11 ribu km2, dengan luas wilayah 712.480 km2 dimana luas lautannya 92,4% dan luas daratannya hanya 7,6% (Road Map Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan Provinsi Maluku).
Berdasarkan Laporan Kajian Kerentanan Provinsi Maluku (USAID APIK), Grafik Proyek rata-rata suhu tahun 2025 menunjukan Maluku mengalami kecenderungan Maluku mengalami kecenderungan naik di suhu minimum yang menandai bahwa wilayah ini telah terindikasi terjadi perubahan iklim.
Wilayah Maluku merupakan satu dari sekian wilayah di Indonesia yang paling rentan terhadap bencana akibat dampak perubahan iklim. Aspek terdapak ada pada bidang pertanian dan bahan pangan, bidang kelautan dan perikanan, serta ketersediaan air minum, sosial ekonomi budaya serta tata kelola pemerintahan.
Perubahan dengan fenomena kanaikan permukaan air laut tidak hanya berdampak pada pengrusakan di daerah pesisir, namun dampak dari perubahan iklim ini pun mengancam potensi perikanan dan kelautan yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi berkisar 80 persen, khususnya masyarakat yang bermukim di daerah pesisir laut, dengan 1.412 pulau, dan luas daratan sebesar 7,6 persen dari total Wilayah Maluku.
Untuk wilayah darat, dampak yang dirasakan warga adalah rusaknya infrastruktur jalan dan tembok penahan ombak yang terjadi di sepanjang daerah pesisir, hal nya yang terjadi di kawasan Kecamatan Lehitu yakni Negeri Asilulu, Negeri Lima, dan Negeri Ureng. Kondisinya jalan beraspal pada sejumlah ruas sudah rusak dan tidak ada lagi, dan air laut menggenang di sejumlah titik, dan merusak tanggul penahan ombak.
Bahkan di tiga wilayah adat, di sisi Pulau Ambon ini pun tak jarang menjadi sasaran hantaman angin kencang disertai gelombang pasang tinggi. Fenomena yang juga menjadi ciri perubahan iklim ini pun jadi persoalan, yang sudah terjadi sejak 2010 hingga 2022, yakni perubahan ketinggian pasang air laut meningkat dua kali lipat.
Kondisi ini pun mengakibatkan terganggunya pasokan air bersih untuk masyarakat di ketiga negeri tersebut. Di Negeri Asilulu saja memaksa mereka menggunakan air laut untuk keperluan mandi, mencuci termasuk untuk aktivitas di MCK.
Direktur Program Sustainable Governance Strategic Kemitraan, Dewi Rizki pada pembukaan Kick-Off Program Adaptasi Perubahan Iklim dengan tema memperkuat kemampuan adaptasi komunitas persisir di Negeri Ureng, Negeri Lima dan Negeri Asilulu dalam menghadapi dampak perubahan iklim di Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, senin (29/08/2022) menerangkan, program berskemakan pendanaan dari Adaptation Fund (AF), didukung oleh Kemitraan-Partnership for Governance Reform, Yayasan Harmony Alam Indonesia (HAI) merupakan program kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim, serta menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat di daerah pesisir tiga Negeri Di Sisi Pulau Ambon ini.
Dikatakan, dampak perubahan iklim sudah dirasakan. Naiknya suhu secara global juga mempercepat naiknya air laut ke wilayah permukiman, intensitas badai, dan gelombang tinggi yang membahayakan pelayaran. Sehingga peran kemitraan dalam menjembatani program pemerintah dan implementasinya engan lembaga yang menerima dana adaptasi di Indonesia bisa menghasilkan kolaborasi dengan berbagai pihak sehingga bisa berjalan dengan maksimal,” terangnya.
Saat yang sama, Direktur Yayasan Harmony Alam Indonesia (HAI), Rian Hidayat menjelaskan perubahan iklim sangat berdampak pesat pada penurunan hasil tangkapan ikan, yang diakibatkan oleh berpindahnya wilayah tangkapan ikan (fishing ground), sehingga berdampak langsung pada usaha perikanan yang merupakan tiang penyangga ekonomi untuk ekosistem pesisir.
“Cuaca yang tidak menentu, frekuensi siklon yang lebih intens telah menyebabkan terganggunya sistem operasional penangkapan,” ulasnya
Dikatakan, hal mendasar berkaitan dengan usaha perikanan adalah pada biaya operasional yang kian membengkak, dan ini pun disebabkan karena daerah tangkap ikan kian menjauh.
Rian berharap, program AF dapat membantu masyarakat pesisir di lokasi program untuk meningkatkan ketahanan, mengurangi kerentanan (vulnerability) secara sosial, ekonomi dan ekologi dari ancaman dampak perubahan iklim.
“Terdapat empat komponen program yang akan kita laksanakan, terdiri komponen program yang bersifat pembangunan fasilitas/infrastruktur, pengembangan ekonomi alternatif, penguatan kapasitas masyarakat khususnya nelayan, dan melakukan langkah-langkah rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan,” jelasnya.
Asisten I Setda Maluku, Semuel E. Huwae menerangkan Pemerintah Provinsi Maluku telah mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Maluku tahun 2019-2024, melalui program Unggulan Gubernur Maluku yakni program Kampung Iklim, Desa Tangguh Bencana dan Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal sebagai salah satu bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap isu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, bahkan Pemerintah Daerah Provinsi Maluku juga telah menyusun road map dan rencana aksi daerah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ternmasuk dokumen Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD).
“Persoalan perubahan iklim adalah tugas menantang sehingga membutuhkan komitmen kerja sama dan konektivitas yang kuat dari level pusat sampai daerah dengan usaha kolektif yang komprehensif, baik di darat pun di daerah pesisir hingga laut,” ungkapnya.
Saat ini, Pemda Maluku kata Samuel menggencarkan penghijauan secara tepat, pengendalian tata ruang secara lestari, pencegahan masif terhadap karhutla, menggalakkan penggunaan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil, menerapkan transportasi, serta pembangunan infrastruktur yang berwawasan lingkungan.
Melalui skema pendanaan dari Adaptation Fund (AF) dan didukung oleh KEMITRAAN – Partnership for Governance Reform, Yayasan Harmony Alam Indonesia (Yayasan HAI) meluncurkan program tiga tahun berjudul “Memperkuat Kemampuan Adaptasi Komunitas Pesisir Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim di Negeri Asilulu, Ureng dan Negeri Lima Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku di Hotel Amaris, Kota Ambon, Maluku.
Tak tanggung -tanggung para nelayan di tiga Negeri di wilayah Kabupaten Maluku Tengah ini pun menyampaikan sejumlah kendala yang dihadapi mereka selama ini.
Topik yang dibahas adalah berkurangnya hasil tangkapan, akibat terjadi pergeseran lokasi ikan atau fhising ground. Penyebab utamanya adalah karena perubahan iklim dan faktor lainnya.
Secara spesifik, topik yang ditampilkan dan terkesan merupakan curhatan hati dari para nelayan dari tiga negeri tersebut adalah terkait sulitnya mendapatkan ikan tuna yang merupakan salah satu komuditi yang cukup menjanjikan di bidang ekonomi, namun harapan itu kian terkuras karena tidak lagi berimbang dengan besar biaya yang harus dikelaurkan atau biaya operasional yang kian mahal. Sementara untuk melakukan satu trip pencarian ikan belum tentu akan mendapat hasil yang bisa mengembalikan modal biaya yang telah dikeluarkan.
A Karim Layn, anggota Saniri Negeri (BPD) Negeri Asilulu menjelaskan realita fhising ground yang kian menjauh dan cukup berpengaruh pada kondisi alat tangkap ikan tradisional yang keberadaanya tidak lagi mampu mengatasi perubahan iklim, khususnya pada tinggi gelombang dan kekuatan angin.
Pria yang pekerjaannya sebagai pengepul ikan tuna ini juga mengungkapkan, dengan menggunakan metode pengejaran dan melakukan penangkapan adalah thenik yang masih dipraktekan. Secara alami para nelayan di tiga negeri ini berpatokan pada tanda tanda alam yang dalam istilah lokal disebut tanoar, dimana untuk mengetahui waktu yang tepat dan dirasakan cocok untuk melakukan pencarian adalah dengan berpatokan pada bulan.
“Sebagai nelayan pesisir dengan menggunakan kemampuan alamiah kami di tahun 90-an nelayan ikan tuna masih bisa benafas karena posisi ikan tuna masih dapat kami ketahui letaknya, dan dengan memperhatikan posisi bulan serta waktu hasilnya cukup memuasakan. Namun kondisi ini pun berubah setelah adanya perubahan ikilm,” ucapnya.
Terhadap kondisi yang ada, dirinya mengaku nelayan pesisir kini mulai beralih pada penggunaan rumpon yang menjadi salah satu daya tarik ikan tuna karena difasilitasi dengan cahaya lampu. Namun demikian lagi lagi persoalan biaya ada tantantan untuk nelayan pesisir.
Dia bilang program yang digalakan HAI, berkolaborasi dengan lembaga Kemitraan, tentunya memiliki dampak positif dan didukung, para nelayan, sehingga problem yang kini dirasakan dapat teratasi.
Nelayan lainnya, Gani Kiat (60), Nelayan Asal Negeri Asilulu, mengungkapkan adanya perubahan fishing ground perubahan terjadi di tahun 2005. Untuk ikan tuna dilapangan selalu ditemukan bergerombol bersama dengan lumba-lumba serta dipengaruhi umur bulan. Ini merupakan ciri yang bisa dijadikan patokan untuk mengetahui kenberadaan ikan tuna.
“Kalau bulan tinggi akan diketahui itu arus air laut, dan plankton akan bertemu dalam dua arus yang berlawanan, sehingga hal ini tidak mudah untuk memprediksikan. Dan jika menggunakan teknologi itu adalah teori namun secara praktik belum tentu,” ungkap Gani Kiat.
Dia juga menerangkan adanya perubahan atau fishing ground menyulitkan para nelayan pesisir karena lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan tidak pernah hadir atau tidak melakukan pengontrolan terkait keberadaan rumpon yang mengundang datangnya plankton, sehingga lumba lumba akan berlari keluar dan tentunya akan disusul oleh ikan tuna.
Sementara untuk kondisi yang terjadi adalah menjamurnya rumpun di sejumlah perairan di Maluku khususnya pada kawasan berhadapan dengan daerah Leihitu, “kata Kiat”, juga dipengaruhi dengan oleh kewenangan Pemerintah Provinsi penguasaan laut sejauh 12 mil. Namun kenyataan yang terjadi rumpun di sejumlah wilayah perairan di Maluku sudah berada di atas 10-12 mil sehingga berdampak semakin menjauhnya ikan tuna dari daerah penangkapan.
Hal lain yang juga diungkapkan Kiat adalah terkait armada tangkap ikan yang menggunakan alat trasportasi pentura, yakni sebuah perahu yang dibuat dari bahan viber. Dia menjelaskan saat musim penghujan yakni musim timur maka nelayan semakin was-was dan bimbang karena perahu ini tidak menjamin keselamatan nelayan saat dihantam gelombang yang berujung terbalik karena sifatnya tidak mengapung. Moda transportasi ini berbeda dengan perahu yang terbuat dari kayu, yang akan mengapung saat terbalik atau kemasukan air.
“Kami ragu akan alat transportasi ini. Karena ada kerabat kami yang mengalami kecelakaan saat menggunakan alat ini, berbeda dengan moda yang terbuat dari kayu,” ujarnya.
Masalah lainnya menurut Kiat adalah penggunaan tinta yang diduga mengandung unsur kimia. Katanya, bahwa bahan ini dibawa oleh para nelayan dari Negara Filipina saat melaut di perairan Maluku. Cara kerjanya, katanya tinta itu akan ditumpahkan sehingga membuat ikan akan mabuk. Hal ini katanya, sangat bepengharuh pada menjauhnya ikan karena ada ancaman itu.
Terhadap kondisi yang telah terjadi, maka aktivitas di tengah laut di tiga Negeri, baik Ureng, Asilulu dan Negeri Lima, para nelayan ini meminta serius adanya perhatian Pemerintah Provinsi sesuai kewenangan dalam melakukan pengawasan.
Hal yang sedehana kata mereka adalah soal keberdaan rumpun tanpa ada regulasi, penggunaan zat kimia atau dalam istilah nelayan di sebut tinta, namun hal yang secara kasat mata terlihat adalah pada volume sampah yang cukup berdampak.
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Univesitas Patimura Ambon, Dr. Harold J.D Waas dihadapan forum diskusi menerangkan dengan melihat pada sistem arus lintas Indonesia (Arlindo) yaitu sistem lintas air, dan akan tetap melewati Perairan Indonesia.
“Ikan tuna akan tetap melewati Indonesia dengan melewati selat makasar, masuk ke Perairan Banda, selat Bali, laut Sawu, Perairan Halmahera, Laut Seram, dan menuju ke kawasan Timur. karena ikan tuna bergerak mengikuti arus dan tidak melawan arus”
Dia bilang, dengan banyak rumpun maka, dampak ini akan dirasakan masyarakat di tiga negeri di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.
Dikatakan, ikan tuna adalah hewan laut yang memiliki nilai investasi cukup besar, dengan memperhatikan perubahan temperatur suhu air, antara dingin dan panas dan merupakan daerah potensial sebagai paramater.
“Ada parameternya, yakni dengan melihat teperatur suhu air, yaitu suhu antara air dingin dan panas, maka dipastikan akan banyak Ikan Tuna di lokasi tersebut. Apa lagi Indonesia masuk dalam salah satu kawasan arus lintas Tuna,” jelasnya.
Dihadapan peserta diskusi, ahli oceanography dan remote sensing kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan ini juga menjelaskan soal pemetaan fishing ground, mulai dari rantai makanan hingga penggunaan remote sensing.
Dijelaskan, berkaitan dengan rantai makanan dari di laut mulai dari zooplankton, fitoplankton, ikan kecil hingga ikan besar. Kemudian Dia jelaskan bagaimana ikan besar bisa bertahan di salah satu lokasi jika rantai makanan itu berjalan teratur. Namun jika tidak, tentu saja, fishing ground akan lebih jauh karena ikan besar atau ikan jenis tuna lainnya tidak bisa bertahan tanpa adanya pasokan makanan.
Selain rantai makanan, dosen ilmu kelautan ini juga menjelaskan tentang pemetaan Prakiraan Daerah Potensi Ikan (PPDPI), penginderaan jarak jauh kelautan dengan menggunakan remote sensing, bagaimana menggunakan satelit untuk mempermudah penangkapan ikan oleh para nelayan nantinya.
Sementara itu, Staf Dinas Perikanan dan Keluatan Provinsi Maluku, Elin Talahatu, menyambut baik program adaptasi perubahan iklim. Baginya program ini dapat membantu pemerintah Provinsi Maluku dalam penanganan perubahan iklim dan tata Kelola lingkungan khususnya bagi nelayan skala menengah dan kecil di Provinsi Maluku.
Saat ini, Dinas DKP Maluku, kata Talahatu sedang merencakan program yang sama dengan memperkuat kemampuan adaptasi bagi nelayan di tiga Desa di Leihitu, antara lain dengan mengadakan penanaman vegetasi non mangrove di pesisir pantai.
“Saat ini kami sedang mengusulkan rencana penanaman vegetasi pantai non mangrove ke Kementrian Kelautan dan Perikanan RI,”ujarnya.
Sementara itu, soal penggunaan zat kimia atau tinta cumi sebagai zat peracun, Talahatu tegaskan, aktifitas penggunaan zat kimia yang dilakukan adalah bentuk perbuatan pidana.
Atas yang terjadi, Ia meminta adanya kolaborasi dari masyarakat pesisir untuk bisa melakukan pengawasan. Dia bilang, melalui kolaborasi yang ada, Dinas Perikananan dan Kelautan Provinsi Maluku dapat memfasilitasi para nelayan dengan membentuk masyarakat pengawas.
“Perlu pengawasan ketat, dan dibantu masyarakat, dimana laporan hasil pengawasan telah tersistem karena berkerja sama dengan TNI-AL, Polairud, dan Kementerian Perikanan dan Kelautan Indonesia,” tutur Elin.
Insani Soulissa, salah satu perempuan nelayan di Desa Negeri Lima mengatakan usaha perikanan komunitas pesisir kepada tiga negeri,Ureng, Asilulu dan Negeri Lima membutuhkan adanya perhatian dalam peningkatan kualitas budaya di laut pun di air tawar, serta destinasi pariwisata.
“Ini potensi. Namun ada kekurangan dalam hal edukasi dan pembinaan. Sebetulnya budaya ikan air laut dan air tawar seperti di DAM Wai Ela sangat berpotensi untuk menambah perekonomian masyarakat khususnya sector perikanan. Selain itu juga akan menampilkan kualitas eko wisata,”jelasnya.
Hal senada juga dikatakan Atum Ely, Perempuan nelayan asal Negeri Asilulu. Dia bergerak di bidang usaha perikanan di Desanya. Dalam forum diskusi Atum meminta perhatian serius semua pihak, lebih khusus kepada penanggung jawab HAI dan Kemitraan serta pemerintah Daerah Maluku dapat membuka ruang pemasaran.
Dimana mereka sebagai perempuan juga bisa membantu menjalankan roda perekonomian di keluarga dan Desa mereka. Jika suami atau para nelayan tak bisa melaut akibat cuaca buruk.
Pada point ini, Dr. Harold D.J. Waas menerangkan juga tentang action untuk melakukan penataan, dan kolaborasi dengan citra satelit yang sementara ini diolah sendiri. Kolaborasi juga akan dilakukan dengan pengetahuan dan metal masyarakat dan dipadukan dalam satu analisis baik pengetahuan mental masyarakat khssus nelayan serta data citra satelit.
Sehingga biasanya penggunaan data harus uji secara pasti, baik terhadap fenomena atau kejadian, sebagai penyedia data potensial yang dapat memudahkan nelayan dalam hal pemetaan perikanan di Wilayah Maluku.
Program Menager Kemitraan Pantnership, Abimanyu Sasongko Aji, menerangkan, program kemitraan yang secara langsung berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi Maluku dan juga Harmopni Alam Indonesia ini merupakan program adaptasi perubahan iklim khususnya untuk tiga daerah pesisir di Pulau Ambon, yakni Negeri Asilulu, Negeri Lima dan Ureng. Program ini merupakan salah bentuk perhatian pemerintah untuk masyarakat terdampak perubahan iklim.
Secara teknis, Kemitraan Patnership tentunya akan terfokus pada bagaimana memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan nelayan.
Teknisnya adalah melakukan pemetaan wilayah pesisir, karena kawasan pesisir merupakan kawasan yang cukup rentan terhadap adanya perubahan iklim dan menyebabkan naiknya permukaan air laut, serta tinggi gelombang yang mampumemoprak poranda kawasan pesisir.
“Perlindungan daerah pesisr tentunya menjadi salah satu lamngkah yang harus dilakukan dengan melakukan reahabbilitasi kawasan pesisir, dan penguatan ekonomi masyarakat pesisir,” terangnya.
Sasongko juga menyampaikan, selain ketahanan kawasan pesisir dalam zona fisik, tetapi penguatan ketahanan ekonomi masyarakat daerah pesisir juga perlu mendapat perhatian serius dalam sejumlah sisi, salah satunya adalah bahwa nelayan perlu dilengkapi dengan Colstorage.
Terhadap hal itu, Sasongko Aji juga menekankan juga pada pola dan perilaku nelayan dalam hal penanganan permasalah penangkapan ikan tuna yang semakin sulit dari sisi jarak dan akomodasi yang semakin mahal.
“Pemetaan lokasi tangkap adalah langkah awal disamping adanya rehabilitasi kondisi laut, serta mengubah pola penangkapan masyarakat yang kadang tidak berdampak sehat pada kondisi laut, terumbung karang dan sebagainya,” ujarnya.
Dalam awal September, melalui program adaptasi perubahan iklim ini, Harmony Alam Indonesia (HAI) bekerja sama dengan kemitraan partnership serta masyarakat di tiga negeri akan memulai melakukan beberapa program awal mulai dari konsultasi dan dialog sosial, pemberdayaan, hingga pelatihan.
“Pelatihan ini akan melibatkan perwakilan masyarakat di tiga negeri, yakni Negeri Lima, Ureng dan Asilulu dan berlangsung di Balai Perikanan Unpatti, di Hila, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, kata Rian Hidayat, Direktur Harmony Indonesia, saat menutup sesi diskusi program perubahan iklim dan tata Kelola lingkungan.
Penulis : Waas Edison
Editor : Belseran Christ
Discussion about this post