titastory, Maluku Tengah – Penolakan terhadap pemasangan Pal Hutan Produksi Konversi (HPK) oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) semakin meluas di sejumlah negeri di Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Maluku.
Salah satu negeri yang ikut menyatakan sikap dengan menggelar deklarasi penolakan adalah masyarakat adat yang merupakan anak cucu Kerajaan Walaya yang berada di Negeri Hatu.
Mereka menolak pemasangan pal diatas tanah adat yang telah dilakukan secara diam-diam oleh BPKH sejak tahun 2023 lalu. Tindakan ini dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap etika dan prinsip nilai-nilai tatanan adat yang telah diturunkan turun temurun oleh para leluhur.
Kepala Seksi Pembinaan Masyarakat, Elon Timanoyo, dalam deklarasi penolakan beberapa waktu lalu menyatakan, pemasangan Pal HPK sebagai upaya untuk mempersempit ruang hidup masyarakat adat di Kecamatan Tehoru.

Masyarakat adat sebelumnya telah merelakan sebagian hutan adat dijadikan sebagai hutan lindung, untuk kepentingan Taman Nasional Manusela.
Pengorbanan tersebut harus dibayar mahal dengan semakin sempitnya lahan untuk pengembangan pemukiman maupun kebun-kebun masyarakat adat. Padahal mayoritas masyarakat adat bekerja sebagai petani, yang hidupnya bergantung dari hasil kebun.
Dengan pemasangan pal HPK, ruang hidup mereka akan semakin dibatasi. Eksistensi mereka sebagai masyarakat adat akan semakin dibatasi, ketika tempat-tempat sakral para leluhur dikuasai oleh pemerintah.
“Setelah mengorbankan hutan, kami tidak bisa membiarkan tanah adat dan kebun-kebun masyarakat adat serta tempat-tempat sakral kembali dirampas dan diambil oleh siapapun. Tanah Walayah merupakan tempat kami hidup dan menghidupkan anak cucu kami,” kata Timanoyo lantang.
Ia menegaskan, para leluhur telah menempati kawasan tersebut sejak berabad-abad lalu. Mereka mengelola dan menjaga tanah adat dari intervensi pihak manapun, untuk diwariskan kepada anak cucu.
Dengan demikian, menjaga tanah adat saat ini menjadi bentuk kewajiban mereka menjalankan pesan-pesan para leluhur, untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.
Timanoyo juga menyebut, pemasangan Pal HPK merupakan sebuah praktik penghinaan dan perampasan hak masyarakat adat Hatu di seluruh tanah Walaya.
“Tanah Walaya memiliki arti lain, yakni konsep yang sangat penting dalam budaya Maluku, yang menunjukkan hubungan antara masyarakat dengan tanah leluhur. Tanah Walaya dianggap sebagai tempat yang sakral dan memiliki nilai spiritual yang tinggi,”jelasnya.
Mewakili seluruh masyarakat adat Negeri Hatu yang tidak rela tanah dan hutannya diambil, Timanoyo menegaskan, menolak dengan keras pemasangan pal HPK. Mereka juga akan tetap berjuang untuk mempertahankan tanah adat yang merupakan warisan dari leluhur.
Bersama-sama dengan 9 negeri adat lainnya di Kecamatan Tehoru, masyarakat adat Negeri Hatu akan bertemu dengan DPRD Malteng untuk menyampaikan penolakan HPK, dan mendorong pengesahan Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kecamatan Tehoru.
Penulis : Sofyan Hatapayo Editor : Dianti Martha