Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina
Kekalahan ekspedisi Mayor Beetjes di Saparua menyebabkan Komisaris Jenderal dari Batavia (Jakarta), Laksamana Muda Arnold Adriaan Buyskes harus mengambil alih otoritas seluruh Maluku dan memberhentikan Komisaris Engelhardt dan Gubernur van Middelkoop yang sebenarnya sudah mengundurkan diri. Dia tiba di Ambon pada 30 September 1817 dengan Kapal “Prins Frederik” di bawah Komando dipimpin Kapten Van Senden.
Kapal ini juga mengangkut 250 infanteri dari Batavia yang dikomandoi Mayor Meijer. Pasukan ini juga didukung pasukan Kora Kora. Sebelum ke Saparua dan Haruku, terlebih dahulu menyisir daerah-daerah di Ambon, Seram yang juga melakukan perlawanan. Setelah itu, barulah mereka menyerang Haruku dan Saparua.
Pulau Honimoa (Saparua) dikepung dari berbagai sisi, baik dari laut dan darat. Sesuai catatan pada 13 Oktober 1817, pasukan di bawah Komando Mayor Meijer, terdiri dari, 110 pelaut Eropa termasuk perwira, 30 tentara Eropa bersenjata, 20 orang pribumi. Mayor Meijer membagi kapal bersenjata menjadi tiga divisi, yang didukung pasukan Kora Kora.
Pasukan Meijer di Saparua, pertama menghancurkan Porto dan Haria. Dari sini, pasukannya bergerak ke Tiouw, Sirri Sorri, Ullath dan Ouw. Di sini pasukan Mayor Meijer menghadapi perlawanan keras dari rakyat yang dipimpin Christina Martha Tiahahu. Pasukan Meijer mengalami kesulitan karena kehabisan amunisi, yang memaksa mereka menggunakan sangkur.
Sementara pasukan Christina menggunakan beragam senjata, termasuk batu. Christina Martha juga diketahui yang melempar batu ke arah Meijer. Di akhir pertempuran, Christina dengan lembing di tangan terperangkap dalam bumi hangus di Ullath dan Ouw. Mayor Meijer menderita luka yang cukup parah dan dibawa ke Ambon, Kapten Krieger terluka dan Letnan Richemont tewas dalam pertempuran.
Kejatuhan Ullath dan Ouw juga menandai penaklukan Saparua, yang diikuti dengan penaklukan semua pimpinan perang pada 12 November 1817, yakni Thomas Matulessy, Philip Latumahina, Anthony Rhebok, Said Perintah, Thomas Pattiwael, Kapiten Paulus Tiahahu. Semua ini menandai berakhirnya perlawanan di Saparua.
Kapitan Paulus Tiahahu dieksekusi di Nusa Laut, setelah disidang di atas kapal. Sedangkan Christina Martha lolos dari hukuman mati, tapi dia memohon ayahnya dibebaskan tapi tidak dikabulkan. Eksekusi terhadap ayahnya ini menyebabkan Christina Martha patah arang. Christina Martha hendak dikirim ke Jawa dengan Kapal Evertsen, tetapi Christina Martha menghembuskan napas di atas Kapal Evertsen dengan Kapten QMR Verhuell pada 2 Januari 1818 dalam usia remaja.
Namun, hanya berselang 14 hari, Mayor Meijer meski sudah mendapat perawatan medis di Ambon, juga tidak diselamatkan karena meninggal pada 16 Januari 1818. Pemerintah Belanda membuat tugu peringatan di Batu Gajah. Dia meninggal dalam usia 28 tahun karena terluka dalam pertempuran pada 12 November 1817 di Ulatth dan Ouw. Belanda membayar mahal, karena ada 11 petugas dan 532 orang yang menjadi korban dalam peperangan ini.
Sementara itu, Thomas Matulessy, Philip Latumahina, Anthony Rhebok dan Said Parinta dijatuhi vonis pada 16 Desember 1817 di Benteng “New Victoria” Ambon.
Di malam terakhir, Thomas Matulessy dikelilingi kepala sekolah dan sebagai seorang Kristen, Thomas Matulessy menghabiskan malam terakhir dengan bermazmur dan beribadah.
Di pagi hari, tanggal 16 Desember 1871, Thomas Matulessy, Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Said Parinta mendengarkan keputusan dewan hakim. Mereka divonis hukuman mati di tiang gantung. Philip Latumahina terlebih dahulu dieksekusi, disusul Anthony Rhebok, Said Parinta dan terakhir Thomas Matulessy. Philip Latumahina harus dua kali menjalani eksekusi karena eksekusi pertama gagal, karena gantungan patah akibat tidak mampu menahan tubuh Philip Latumahina yang besar.
Thomas Matulessy naik ke atas dengan langkap mantap. Dengan suara tenang dan keras menyatakan, “Slammat Tinggal Toewan-toewan!” Ini merupakan kata terakhir Thomas Matulessy.
Mengikuti kisah perjuangan Thomas Matulessy pada tahun 1817 ini, sangat mengejutkan karena dari berbagai referensi yang ada, tidak pernah muncul gelar Kapitan Pattimura untuk Thomas Matulessy, karena gelar yang disematkan melalui sumpah sebagai pemimpin perang adalah Kapitein Poelo. Gelar yang disematkan di Pulau Honimoa (Saparua) ini juga menunjukkan betapa ada kesadaran para pemimpin pada masa itu akan keberadaan Maluku sebagai wilayah kepulauan, sekaligus menjadi pengingat sebagai orang kepulauan.
Lantas, muncul pertanyaan sesungguhnya dari mana asal muasal Kapitan Pattimura ini disematkan kepada Thomas Matulessy. Di sini, kita tidak serta merta menolak gelar Kapitan Pattimura, tetapi sangat lumrah sebagai awam untuk mengetahui riwayat penyematan gelar ini.
Penulis berusaha untuk memeriksa sejumlah referensi tua, termasuk yang ditulis pelaku dalam perang di tahun 1817, ternyata memang tidak ada atau penulis belum temukan. Begitu juga berbagai referensi sebelum Indonesia merdeka, tidak ada referensi yang merujuk kepada gelar Kapitan Pattimura bagi Thomas Matulessy.
Sejauh yang bisa ditemukan, Pattimura ini muncul pada tahun 1950-an melalui nama batalion Pattimura, Pemuda Pattimura, termasuk perubahan nama Bandara Laha menjadi Bandara Pattimura.
Untuk itu, kaum intelektual dan para sejarawan semestinya mengambil peran dan tanggung jawab, sehingga memberikan jawaban terhadap perubahan Kapitan Poelo menjadi Kapitan Pattimura. Semestinya gelar Kapitan Poelo tidak menjadikan perjuangan Thomas Matulessy dan kawan-kawan menjadi kecil. Sebaliknya, penggunaan Kapitan Pattimura tidak serta merta membesarkan perjuangan Thomas Matulessy. Perjuangan Thomas Matulessy akan tetap besar, karena memang begitu adanya, apapun gelar yang disandangnya. Perjuangan Thomas Matulessy jelas dan nyata, sehingga selayaknya mendapatkan kehormatan.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab, siapa yang menyematkan, dimana dan kapan, oleh siapa dan bagaimana gelar itu disematkan. Bagi kita, Kapiten Poelo atau Kapitan Pattimura tentu harus diterima sejauh itu didukung fakta yang benar. Sebab, sangat penting untuk mewariskan kebenaran sejarah bagi generasi mendatang. (selesai)
Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina adalah Direktur Archipelago Solidarity Foundation.
Discussion about this post