TITASTORY.ID, – Fungsi Kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut diduga telah membuat korps Adhyaksa ini bersikap sewenangan-wenang dalam proses penyidikan dengan melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara secara internal Kejaksaan, yang notabene rekan kerja sendiri.
Wewenang Kejaksaan untuk melakukan penyidikan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai penuntut terindikasi mengakibatkan tidak ada Checks and Balances dalam proses penyidikan sehingga dengan mudah untuk menyatakan berkas perkara lengkap dan dapat segera dilimpahkan. Adapun dugaan kesewenang-wenangan Kejaksaan terjadi di Indonesia, di antaranya terkait kasus penetapan Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Kabupaten Mimika Johannes Rettob sebagai tersangka pengadaan pesawat terbang oleh Kejaksaan Tinggi Papua dan kasus penetapan tersangka ke sejumlah pihak dalam proyek pembangunan jalan Rambatu – Manusa, Kecamatan Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Provinsi Maluku.
Penetapan Tersangka Plt Bupati Mimika
Menyikapi akan bentuk supremasi hukum tersebut, M. Yasin Djamaluddin SH, MH, Kuasa Hukum Johannes Rettob, kepada media ini, selasa (07/03/2023) menerangkan penetapan tersangka harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, namun hal itu tidak berlaku atau diduga tidak disematkan pada kliennya.
Pasalnya, “ ungkap Djamaludin, dari proses penyidikan yang belum rampung, yaitu belum dilakukan pemeriksaan saksi dan ahli, namun kliennya itu menyandang status hukum sebagai tersangka.
“ Ada kejanggalan, dimanah tahapan pemeriksaan saksi dan ahli namun Kline kami sudah berstatus tersangka,” ungkapnya.
Selain itu, “katanya pula”, Audit Badan Pemeriksa Keuangan telah menyatakan tidak ada kerugian negara dalam proyek pengadaan pesawat terbang tersebut. Bahkan oleh pihak KPK yang telah melakukan penyidikan selama dua tahun tidak ditemukan adanya penyelewengan anggaran.
Terhadap langkah hukum yang telah dilalui kliennya itu, Djamaluddin pun mengambil langkah Praperadilan guna menguji terkait prosedur penetapan tersangka apakah sesuai atau tidak.
“Hak tersangka adalah mengajukan Praperadilan, karena kliennya kami merasa dikebiri oleh Kejaksaan Tinggi Papua yang mengajukan berkas perkara yang belum selesai atau rampung ke Pengadilan. Langkah Praperadilan memiliki tujuan agar permohonan tersangka dapat digugurkan oleh Pengadilan, “ ujarnya.
Sebelumnya, Djamaludin juga menerangkan, upaya Praperadilan ini dilakukan setelah pihaknya mengetahui tahapan penyidikan yang belum selesai, namun pihak Kejaksaan Tinggi Papua tetap melimpahkan berkas perkara ke Penuntut Umum untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan.
“ Langkah Praperadilan yang dilakukan klien kami adalah bentuk kontrol terhadap penyelenggara hukum, yang tentunya bisa memberikan pencerahan kepada Kejaksaan Tinggi Papua agar terhindar proses penetapan tersangka tanpa bukti permulaan yang cukup sehingga tidak ada penilaian buruk publik terhadap tahapan tahapan yang dilakukan oleh lembaga negara ini.” jelasnya.
Namun demikian, ungkap Djamaludin, kliennya Johannes Rettob dan Silvi Herawaty diduga telah menjadi korban kesewenang-wenangan Kejaksaan Tinggi Papua sehingga hal itu sangat merugikan dan menghilangkan hak para tersangka untuk melakukan uji proses penetapan tersangka yang benar, sesuai dengan asas due process of law.
Menilik pada dugaan praktik kesewenang-wenangan kejaksaan seperti itu, M. Yasin Djamaluddin pun mengajukan Judicial Review terhadap Pasal 82 KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) huruf (d) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ke Mahkamah Konstitusi. Pendapatnya pasal inilah yang sering digunakan Kejaksaan dan berpotensi pada adanya praktik kesewenang-wenangan untuk menggugurkan Hak para pencari keadilan.
Terangnya, Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila permohonan Praperadilan sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri, maka Pokok Perkara haruslah ditanggungkan sampai adanya putusan Praperadilan, agar prosedur, keadilan dan transparansi penegakan hukum berjalan dengan baik. Dirinya juga menambahkan, untuk menghindari Dwi fungsi kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut umum yang menjadikan jaksa bertindak sewenang-wenang dalam proses penyidikan dan untuk menghindari tumpang tindih penyidikan, maka Kejaksaan harus dikembalikan ke kewenangan yang hakikatnya, yaitu Penuntutan bukan penyidikan.
Tersangka Kasus Pembangunan Jalan Rambatu – Manusa SBB, Maluku
Dalam kaitan dengan itu, perihal kasus serupa yang terjadi di Kota Ambon, Maluku, Djamaludin yang juga bertindak sebagai selaku kuasa hukum tersangka atas Proyek Pembangunan Jalan Rambatu -,Manusa, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Provinsi Maluku, dirinya meminta agar Kejaksaan Tinggi Maluku untuk segera menerbitkan Surat Perintah Diberhentikannya Penyelidikan (SPDP) terhadap para tersangka yang adalah pihak pemohon Praperadilan di Pengadilan Negeri Ambon dan telah dikabulkan.
Namun sebelum tiba pada tahapan itu, Kejaksaan Tinggi Maluku mestilah terlebih dahulu melaksanakan perintah putusan Praperadilan yaitu, perintah menghentikan penyidikan dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SPP) dan Merehabilitasi nama baik para pemohon yang awalnya adalah tersangka.
“Saya berpendapat, ada kesalahan, menabrak prosedur formal jamak dan telah terjadi, bahkan sudah dilakukan oleh penyidik kejaksaan yang pada waktunya akan menjadi alasan di batalkan surat perintah penyidikan (Sprindik),” imbuhnya.
Lebih jelas Djamaludin menyampaikan, pasca dibatalkan Sprindik oleh Pengadilan Negeri Ambon dalam ruang Praperadilan, seharusnya menjadi evaluasi terhadap kinerja dan kapasitas para penyidik di lingkup Kejaksaan Tinggi Maluku, bukan sebaliknya menggunakan kewenangan untuk sesegera menerbitkan sprindik seakan ingin menunjukkan bahwa Kejaksaan Tinggi Maluku adalah lembaga super power yang tidak boleh dikontrol dengan cara dan alasan hukum apa pun.
“Terkait dengan Sprindik baru yang dikeluarkan Kejaksaan Tinggi Ambon terhadap Jorrie dan Guwen, Djamaludin menduga tindakan Kejaksaan Tinggi Ambon akan menjadi metari tambahan bahan Uji Materi di Mahkamah Konstitusi tentang Dwi Fungsi Kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut dalam perkara korupsi,” tegasnya. (TS 02)
Discussion about this post