Jakarta, – Di panggung konflik tambang nikel di Halmahera Timur, jejak kekuasaan terbentang mulai dari desa terpencil hingga jaringan global. Di tingkat lokal, perubahan administratif di antara dua desa—Desa Maba Sangaji dan Desa Wailukum—serta dokumen batas yang tiba-tiba muncul tanpa sosialisasi publik, digunakan sebagai mesin legal untuk perluasan konsesi di wilayah adat Moronopo. Aktor-aktor seperti Kasman Mahmud (kepala desa Maba Sangaji), Edi Septiagus Rajab (Kabid Pemerintahan Desa sekaligus Ketua KNPI Haltim), dan Mukdir Lakoda (anggota BPD sekaligus Humas eksternal perusahaan) hanya sebagian dari wajah pemerintah desa yang berubah menjadi mitra korporasi.
“Korporasi menanam pengaruh di desa, menggandeng pemuda, pejabat, bahkan tokoh agama. Akibatnya, warga kehilangan kepercayaan pada negara,” ungkap Julfikar Sangaji dari JATAM Maluku Utara, dalam peluncuran laporan bertajuk Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera, Selasa (10/11).

Dalam laporannya, menurut Julfikar, di atasnya, poros kekuasaan korporasi makin padat. Contohnya, PT Position kini berada di bawah kendali PT Tanito Harum Nickel—anak usaha dari Harum Energy Tbk yang dikuasai keluarga Barki. Struktur ini sudah menjangkau bukan hanya tambang di Halmahera Timur, tetapi juga tambang batubara, pelayaran, hingga logistik nasional. Seorang analis menyebut bahwa keputusan ekspansi izin, pengelolaan konflik lahan, hingga strategi hilirisasi nikel “seluruhnya kembali ke grup Harum”.
Sementara itu, di korporasi lain seperti PT Wana Kencana Mineral (WKM), struktur kepemilikan memadukan modal domestik-asing dan jaringan militer-politik: dari PT Baja Selatan Lintas Nusantara, PT Sejahtera Jaya Prima, hingga Huacai (Hongkong) Limited. Jenderal purnawirawan dan mantan menteri tercatat sebagai komisaris; direksi yang jadi mantan kopassus meneguhkan bahwa tambang nikel telah menjadi persoalan keamanan dan politik, bukan sekadar ekonomi.

Melky Nahar, Koordinator JATAM Nasional, dalam diskusi peluncuran laporan ini menyebutkan, konflik antar korporasi sendiri tak kalah sengit. Perseteruan antara PT Position dan WKM ternyata bermula dari kerjasama dan persetujuan jalan tambang (hauling road) yang melintasi kawasan hutan produksi yang dikuasai oleh entitas lain, pengelolaan izin yang tumpang-tindih, hingga manipulasi tapal batas administratif. Dalam laporan JATAM, semua itu disebut bagian dari “pertarungan kuasa antar-korporasi” yang menempatkan hukuman terhadap warga penolak tambang sebagai alat pemaksaan sosial.
“Masuknya industri nikel telah menghancurkan ruang hidup warga. Hutan adat digunduli, sungai tercemar, dan lahan pangan tradisional hilang,” ujar Melky.
Semua lapisan tadi — desa, korporasi, militer, modal asing — saling bertaut dalam suatu jaringan yang diam tetapi masif. Hasilnya: warga adat kehilangan kontrol atas sungai yang dulu bisa mereka minum langsung, kebun sagu yang sendiri harus diproduksi di tempat baru dengan biaya lebih besar, konflik internal yang makin memecah komunitas, dan hukum yang dipakai bukan untuk perlindungan tetapi untuk represi.
“Halmahera Timur kini jadi model kolonialisme baru: investasi atas nama transisi energi, tapi nyatanya perampasan ruang hidup,” kata Melky Nahar, Koordinator JATAM Nasional.

Dengan demikian, peta aktor di balik seteru tambang ini bukanlah kumpulan nama acak, tetapi jaringan berlapis yang menghubungkan lokalitas dan globalitas—menjadikan satu wilayah adat menjadi medan pertarungan besar antara manusia biasa yang menuntut hak hidup, dan sistem industri yang membawa logika keuntungan di atas segalanya.
Perubahan batas wilayah antara Desa Maba Sangaji dan Desa Wailukum secara tiba-tiba dijadikan dasar untuk melegitimasi perluasan konsesi tambang di wilayah adat Moronopo — ruang hidup penting bagi masyarakat adat Teluk Buli. Dokumen batas baru muncul tanpa sosialisasi publik, namun langsung masuk ke dalam peta izin pertambangan, memiskinkan warga dari proses partisipasi.

Proses ini melibatkan aktor-aktor lokal seperti:
- Kasman Mahmud, Kepala Desa Maba Sangaji;
- Edi Septiagus Rajab, Kabid Pemerintahan Desa & Ketua KNPI Halmahera Timur;
- Mukdir Lakoda, anggota BPD sekaligus Humas Eksternal PT Position.
Keterlibatan mereka menunjukkan bahwa pemerintah desa — semestinya menjadi pelindung hak warga — telah berubah menjadi kepanjangan tangan korporasi. “Ini pola lama, tapi kini lebih sistematis,” ujar Julfikar Sangaji dari JATAM Maluku Utara.
“Korporasi menanam pengaruh di desa, menggandeng pemuda, pejabat, bahkan tokoh agama. Akibatnya, warga kehilangan kepercayaan pada negara.”
Bantuan dana, kompensasi, dan janji pekerjaan digunakan sebagai alat tawar. Warga yang menolak disebut sebagai pengganggu investasi, sementara aparat negara sibuk menertibkan protes warga demi menjaga “stabilitas investasi”.

Peta Kuasa: Dari Desa ke Dunia
Dari level paling bawah hingga puncak jaringan, Halmahera Timur saat ini tampak sebagai laboratorium kekuasaan baru: keluarga konglomerat, perwira militer, birokrat lokal, hingga investor asing saling bertaut demi kendali atas nikel dan tanah adat.
“Halmahera Timur kini jadi model kolonialisme baru: investasi atas nama transisi energi, tapi nyatanya perampasan ruang hidup,” ungkap Melky Nahar, Koordinator Nasional JATAM.
Proyek besar seperti fasilitas HPAL (High Pressure Acid Leaching) untuk baterai kendaraan listrik, izin tambang yang tumpang tindih, hingga ekspansi jalan tambang di hutan adat — semua menjadi bagian dari peta kuasa yang tak lagi netral.
