titastory, Ternate – Transparency Internasional (TI) Indonesia menemukan bahwa tata kelola pertambangan di Indonesia sangat karut marut, tak terkecuali di Provinsi Maluku Utara. Kondisi ini membuka cela terjadinya praktik korupsi di sektor pertambangan.
Salah satu kasus yang disorot dalam diskusi mengenai tata kelola sektor pertambangan nikel global di Indonesia, pada Senin (24/2/2025) di Muara Hotel, Kota Ternate, ialah kasus korupsi mantan gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba (AGK).
Kasus suap dan gratifikasi terpidana AGK disebut mencerminkan pengawasan dan tata kelola di sektor pertambangan yang sangat lemah, sehingga terjadilah konflik kepentingan. Apalagi, saat ini, Maluku Utara, menjadi salah satu daerah yang terdapat banyak izin tambang hingga pabrik pengolahan bijih nikel atau hilirisasi untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.

Masalahnya kemudian, menurut Ferdian Yazid, manajer program tata kelola sumber daya alam TI Indonesia, sebanyak 75 persen sektor hilirisasi di Indonesia bergantung pada perusahaan multinasional, khususnya dari China. Padahal, hilirisasi diharapkan, tidak saja berdampak pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga kesejahteraan masyarakat lokal yang berada di sekitar proyek hilirisasi.
Masalah berjalannya proyek hilirisasi di Maluku Utara, justru makin ruyam, karena adanya praktik tata kelola yang buruk. Masih soal, kasus AGK, yang disinyalir bagi-bagi izin tambang, salah satunya izin tambang Blok Medan yang diduga melibatkan Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, anak dan menantu mantan Presiden Joko Widodo.
“[Masalah korupsi di sektor perizinan] ini berdampak pada pekerja, mungkin juga berdampak pada pendapatan Negara, baik di tingkat pusat maupun provinsi,” kata Ferdian.

Dari kasus korupsi AGK, yang mencerminkan buruknya tata kelola pertambangan, mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam seperti komoditas logam nikel, berlangsung secara ugal-ugalan.
Prof. M. Aris, Guru Besar Univeristas Khairun (Unkahir), mengatakan kerusakan lingkungan akibat dari dampak eksploitasi pertambangan di berbagai daerah di Maluku Utara, menjadi bukti bahwa negara tidak mampu mengelola sumber daya alam secara adil dan transparan.
Dengan adanya hilirisasi di sektor mineral nikel di Maluku Utara, tambah prof. Aris, masalahnya menjadi semakin rumit. Kasus AGK, katanya, menjadi skandal korupsi di sektor sumber daya alam terburuk dari pemerintahan di Provinsi Maluku Utara.
“Sangat ironis sekali ketika kita berkunjung di daerah lingkar tambang, apa yang kita dapatkan tidak semegah apa yang ada di dalam pertambangan,” papar Prof. Aris.
Prof Aris sendiri sudah sangat sering melakukan penelitian terkait dampak pertambangan nikel terhadap pencemaran perairan dan biota laut di beberapa daerah, seperti di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan Halmahera Selatan. Hasilnya, menemukan, perairan laut sudah tercemar logam berat dan beberapa jenis ikan telah terkontaminsasi racun kimia dari proyek pertambangan dan hilirisasi nikel.
Pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair ini menerangkan bahwa, pada prinsipnya, pengelolaan sumber daya alam, seperti proyek hilirisasi nikel harus dikendalikan oleh negara, negara yang harus mengelola untuk kemakmuran rakyatnya.

Bila tidak memiliki modal, kata Prof. Aris, negara bisa serahkan kepada negara asing dengan syarat, negara yang menjadi regulator di dalamnya, dan memastikan agar pengelolaanya tidak merusak lingkungan dan ruang hidup masyarakat.
Disisi lain, kebijakan yang terdesentralisasi di pusat, membuat pengelolaan yang amburadul. Sahroni A. Hirto, akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, mengatakan, izin-izin tambang kembanyakan diatur dari pusat, begitu pula pembagian hasilnya.
Terus kita di sini para kepala daerah itu tersandera dengan politik pusat. Palingan kita diperantara oleh kepentingan-kepentingan pusat dan akhirnya kita adalah bagian pion awal untuk menjadi sesuatu yang sudah, kalau kesalahan itu kesalahan pusat adalah kesalahan daerah gitu,” jelas Sahroni.
Dalam penelitian TI Indonesia (2023) menemukan fakta ada 16 kerentanan risiko korupsi terhadap perizinan usaha pertambangan. Ada hubungan erat antara pemerintah, politisi, dan pebisnis industri pertambangan yang bahkan seringkali bertumpang susun tak hanya terjadi dalam tingkat politik lokal. Beberapa kajian mengonfirmasi, penyusunan kebijakan yang ada tak terlepas dari kepentingan bisnis tambang dan energi kotor.