-
Libatkan We Land dan Hivos Indonesia, sebanyak 30 Penulis dan jurnalis Perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia berjibaku dalam pelatihan selama dua hari untuk menemukan rumusan tingkat kapasitas berekspresi di ruang pemberitaan.
-
Hasil survey, penulis dan jurnalis Perempuan di Indonesia masih berada di bawa persentase rata – rata sebagai pengambil kebijakan di perusahaan media.
TITASTORY.ID, – Sebanyak 30 peserta dari kalangan jurnalis dan penulis lepas serta trans perempuan seluruh Indonesia Ikuti kolaborasi Project Multatuli. Agenda pelatihan yang terlaksana selama dua hari, yakni tanggal 23 – 24 Juli 2022 dan dipusatkan di Hotel Cemara Wahid Hasyim Gondangdia, Menteng Jakarta Pusat, adalah kesempatan emas untuk para penulis dan jurnalis perempuan untuk dapat bersikap di ruang publik.
Dengan melibatkan organisasi Hivos, yaitu organisasi pembangunan internasional yang dipandu oleh nilai-nilai humanis, dalam memberikan kontribusi menuju masyarakat yang adil, inklusif, dan menopang kehidupan di mana orang memiliki akses yang sama terhadap peluang, hak, dan sumber daya. Dimana Hivos memiliki salah satu program berskala dunia dan sementara dilaksanakan dan We Lead sebagai anak cabang di Indonesia tampil dengan program yang berafiliasi pada upaya memberikan inspirasi , inovatif dan berjangkauan luas dan bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan hak seksual dan reproduksi (SRH-R) perempuan muda dari empat kelompok tertentu yang hidup dengan HIV, penyandang disabilitas, bahkan yang mengidentifikasi diri sebagai lesbian, biseksual, trans atau interseks, dan/atau yang terkena dampak pemindahan. Program ini benar-benar menempatkan para pemegang hak perempuan muda ini di kursi kemudi, sambil mendukung mereka untuk mengadvokasi SRH-R mereka yang berdampak dan berkelanjutan.
Direktur Eksekutif Projek Multatuli, Evi Mariani, kepada wartawan, pekan kemarin menerangkan ada kendala karena sulit menemukan para penulis perempuan terutama di ruang media massa, sementara keberadaan mereka sangat penting.
“Kami ingin mendistorsi praktik jurnalisme media industri yang dominan, kebanyakan perspektif laki-laki saja, serta pengaruh Jakarta Centris yang lebih dominan mengulas tentang topik – topik para Elit,” akui Evie.
Dijelaskan kegiatan untuk penulis dan jurnalis perempuan dan trans perempuan sengaja mengusung tema tentang ketimpangan gender di lingkup media.
Pasalnya ” ucap Evie”, sesuai hasil survei yang di lakukan Project Multatuli dalam waktu terkini banyak pemberitaan di media cetak maupun online yang kerap menyudutkan perempuan .
” Pada kasus pemberitaan asusila misalnya. Ruang redaksi justru lebih banyak memproduksi berita yang dianggap semakin menyudutkan para korban yang mayoritas adalah perempuan, ” terangnya.
Bahkan dalam ruang pemberitaan, katanya lanjut ada pemilihan bahasa yang tidak pantas, serta penyampaian kronologis yang sering digunakan berpotensi menyakiti pihak korban bahkan korban secara langsung.
“Dampaknya adalah, Perempuan dalam posisi korban bisa kembali menjadi korban untuk kedua kalinya akibat pemberitaan yang dibuat tanpa memperhatikan dampak psikologi si korban,” ulasnya.
Ditambahkan, survey bahkan menunjukkan bahwa pemberitaan terkait asusila di buat 95 % adalah oleh kaum pria, yang tidak memiliki empati dan terkesan memanfaatkan berita asusila sebagai berita yang bisa menarik pembaca. Sehingga pilihan bahasa yang gunakan pun dinilai vulgar dan tidak menghormati hak korban.
“Hal semacam ini bisa diredam jika perusahaan media bisa menempatkan perempuan dalam jajaran redaksi atau posisi pengambil keputusan tertinggi,” arahnya.
Dijelaskan hal ini perlu untuk diterpakan tentunya memiliki tujuan yakni agar seluruh pemberitaan yang bersifat gender bisa sedikit di kendalikan.
“Hal yang bisa digunakan adalah dengan cara melalui proses penyaringan atau revisi tulisan, serta memilih pemakaian narasi yang tidak menyudutkan perempuan dalam penyusunan berita di meja redaksi.” tegasnya.
Tidak sebatas itu, Evi juga menegaskan tentang keberadaan perempuan dalam ruang redaksi juga perlu mendapatkan respon baik dari rekan seprofesi, bahwa perempuan memiliki hak yang sama dalam menyampaikan dan mengambil kebijakan.
Dia mengakui, hingga saat ini minim perempuan yang berkesempatan menduduki jabatan penting sebagai pengambil keputusan di ruang redaksi.
Dijelaskan, sesuai hasil survey Aliansi Jurnalis Independen ( AJI ) total perempuan profesi jurnalis yang eksis sebagai pengambil kebijakan di ruang redaksi hanya 30 %, dan presentasi ini untuk seluruh Indonesia. Sedangkan keterlibatan perempuan sebagai narasumber berita hanya sekitar 11 %. Ini menunjukkan betapa perempuan tidak memiliki cukup tempat di ruang publik untuk bersuara.
Untuk itu, Evi memekakkan bahwa pelatihan yang di lakukan pun diharapkan bisa memunculkan lebih banyak penulis perempuan terutama di media massa , bisa mengangkat lebih banyak isu menarik tentang perempuan. Serta menjadi agen perubahan dalam memproduksi konten berita yang ramah terhadap gender dan perempuan di perusahaan media tempat para jurnalis bekerja.
” Pelatihan ini diharapkan dapat membawa perubahan, dan peserta pelatihan mampu bertindak sebagai agen perubahan dalam memproduksi konten berita di media jurnalis perempuan berkarya ( TS-03)
Discussion about this post