Tanah Rakyat Tanimbar Dihargai Rp14 Ribu per Meter, Proyek Raksasa Blok Masela Picu Amarah Warga

10/10/2025
Keterangan gambar: Pertemuan Warga Desa Lermatang dengan Komisi III DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) ketika melakukan kunjungan lapangan di Desa Lermatang, Kecamatan Tanimbar Selatan, pada 21/8/25. Foto: Organisasi Kepemudaan (OKP) Cipayung Plus KKT

Kepulauan Tanimbar, — Di tanah seluas lebih dari 600 hektare di Desa Lermatang, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, akan berdiri proyek raksasa bernilai lebih dari Rp345 triliun: kilang gas alam cair (LNG) Abadi Blok Masela. Namun, di balik gegap gempita investasi sebesar US$20,94 miliar itu, tersimpan kekecewaan mendalam warga setempat.

Mereka menilai, harga tanah yang ditawarkan oleh operator proyek, Inpex Masela Ltd, tak masuk akal — hanya Rp14.000 per meter persegi.

“Empat belas ribu rupiah itu bahkan tidak cukup untuk membeli beras satu kilogram,” kata Lukas Semangun, Ketua KNPI Kabupaten Kepulauan Tanimbar, dalam rilisnya yang diterima titastory.id, Kamis, 10 Oktober 2025. “Ini tanah produktif, sumber hidup warga selama puluhan tahun. Bagaimana mungkin proyek asing dengan nilai ratusan triliun menghargai tanah rakyat sebegitu rendah?”

Semangun menilai, kebijakan Inpex berpotensi menyalakan bara konflik agraria. Ia menegaskan, masyarakat Desa Lermatang telah memiliki dasar hukum yang jelas soal nilai jual tanah: melalui Peraturan Desa (Perdes) Nomor 3 Tahun 2023, harga tanah untuk investasi asing ditetapkan sebesar Rp350.000 per meter.

“Inpex harus menghormati Perdes itu. Undang-Undang Desa Nomor 14 Tahun 2014 sudah mengakui hak asal-usul dan tradisi masyarakat hukum adat. Kalau aturan desa saja diabaikan, ini bentuk pelecehan terhadap kedaulatan rakyat di tingkat akar rumput,” ujarnya.

Keterangan gambar: Penyampaian aspirasi dari Organisasi Kepemudaan (OKP) Cipayung Plus terkait
keterwakilan SDM tokoh lokal di pucuk pimpinan Blok Inpex Masela. Foto: Ist

Proyek Raksasa, Harga Rakyat Murah

Blok Masela bukan proyek kecil. Digarap sejak penandatanganan kontrak bagi hasil (PSC) pada 1998 antara Inpex Corporation dan Pemerintah Indonesia, proyek ini baru ditargetkan beroperasi pada akhir 2029 dan diperkirakan berjalan hingga 2055. Pemerintah mengklaim, proyek tersebut akan menyumbang US$150 miliar atau sekitar Rp2.543 triliun ke Produk Domestik Bruto nasional.

Namun bagi warga Lermatang, keuntungan negara tidak sebanding dengan kehilangan tanah mereka. Harga Rp14 ribu per meter terasa seperti penghinaan.

DPRD Provinsi Maluku pun turun tangan. Pada Januari 2025, Komisi I DPRD Maluku menyatakan akan memanggil pihak Inpex, pemerintah daerah, dan Badan Pertanahan untuk membahas keluhan warga.

“Kami sudah menerima surat dari masyarakat soal harga tanah yang terlalu murah,” kata Solichin Buton, Ketua Komisi I DPRD Maluku. “Untuk proyek bernilai ratusan triliun, harga Rp14 ribu per meter itu tidak logis. Kami akan bahas agar bisa disesuaikan dengan NJOP dan rasa keadilan masyarakat.”

Tanah Bukan Sekadar Nilai Jual

Sosiolog Universitas Pattimura, Dr. Paulus Koritelu, menilai persoalan ini bukan sekadar soal ganti rugi. Ia menyarankan agar masyarakat tidak menjual tanahnya, melainkan menyewakan atau menjadikannya sebagai bentuk modal bersama dengan investor.

“Kalau tanah dijual, masyarakat akan kehilangan hak seumur hidup. Setelah proyek selesai, tanah itu hilang selamanya dari tangan mereka,” ujar Koritelu. “Lebih baik sistem kontrak atau saham rakyat, agar warga tetap punya hak, bahkan bisa menikmati hasil ekonomi jangka panjang.”

Menurutnya, pemerintah daerah dan pusat semestinya berdiri di sisi masyarakat. Tanah bukan hanya aset ekonomi, tapi identitas dan sumber kekuasaan kolektif orang Maluku Tenggara.

“Tanah itu identitas. Kalau hak atas tanah hilang, berarti kehilangan jati diri. Karena itu jangan menyederhanakan urusan ganti rugi menjadi sekadar uang,” tegasnya.

Koritelu juga mengingatkan, penjualan tanah tanpa perlindungan hukum yang kuat akan membuka potensi konflik sosial. “Satu meter pagar yang bergeser saja bisa jadi masalah besar. Apalagi kalau tanah adat dijual untuk proyek asing.”

Sewa Tanah, Solusi yang Lebih Adil

Pandangan serupa disampaikan Zeth Songupnuan, tokoh masyarakat Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Ia mengatakan, masyarakat adat Lermatang ingin agar tanah mereka tidak dijual, melainkan dikontrak oleh Inpex atau pemerintah.

“Pulau Nustual, lokasi kilang gas Masela, adalah tanah adat milik banyak orang. Warga ingin sistem kontrak agar hak atas tanah tidak hilang,” katanya.

Songupnuan menambahkan, penjualan tanah rakyat kepada perusahaan asing hanya akan membuat masyarakat kehilangan hak atas warisan leluhur. “Kalau tanah sudah dijual, anak cucu tidak punya apa-apa lagi. Karena itu, sistem sewa atau kontrak jauh lebih bijak,” ujarnya.

Kasus Blok Masela memperlihatkan bagaimana proyek strategis nasional bisa menyingkirkan suara rakyat yang paling terdampak. Di tengah gembar-gembor investasi raksasa, warga Lermatang merasa kedaulatan mereka dirampas, tanah mereka diremehkan, dan masa depan mereka diabaikan.

Rp14 ribu per meter bukan sekadar harga tanah — tetapi simbol bagaimana suara masyarakat adat seringkali tidak diperhitungkan dalam skema pembangunan besar negeri ini.

error: Content is protected !!