Pada hari Jum’at, tanggal 19 Juli 2024, Mahkamah Internasional (International Court of Justice (ICJ) / Cour Internationale de Justice (CIJ)) yang berkedudukan di Istana Perdamaian (Peace Palace / Palais de la Paix / Vredespaleis), Carnegieplein 2, 2517 KJ The Hague (Den Haag), Netherlands (Belanda), telah membuat suatu keputusan dalam bentuk “pendapat Mahkamah Internasional (ICJ/CIJ)” (Advisory Opinion (AO)), bahwa:“Pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah tindakan yang melanggar hukum (internasional) dan merupakan pembenaran sejarah atas hak-hak Palestina”.
AO sebagaimana tersebut di atas, diterbitkan oleh ICJ/CIJ adalah dengan tujuan untuk memenuhi “permintaan pendapat Mahkamah Internasional (Request for Advisory Opinion)” oleh ‘Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)’ (General Assembly of the United Nations / United Nations General Assembly (UNGA)) yang diterbitkan di New York, Amerika Serikat (AS) / the United States of America (USA), pada hari Jum’at, tanggal 30 Desember 2022, melalui Resolusi UNGA, nomor: A/RES/77/247. Resolusi ini, kemudian diserahkan oleh UNGA kepada ICJ/CIJ pada hari Selasa, tanggal 17 Januari 2023.
Resolusi seperti tersebut di atas, diterbitkan berdasarkan Pasal 96 Piagam PBB (Charter of the United Nations) dan Pasal 65 Peraturan Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice). Sekalipun ICJ/CIJ memiliki yurisdiksi dengan kewenangan diskresi untuk menolak memberikan AO terhadap kasus konflik “Israel-Palestina” ini, tetapi ICJ/CIJ pada akhirnya telah memilih dan memutuskan untuk memeriksa kasus tersebut dan memberikan suatu: “Advisory Opinion (AO)”. Namun demikian, Israel menyatakan, bahwa: “ICJ/CIJ tidak memiliki yurisdiksi untuk mempertimbangkan masalah tersebut”.
Sebelum memenuhi permintaan UNGA akan AO seperti tersebut di atas, ICJ/CIJ telah melakukan kegiatan dalam bentuk “rapat dengar pendapat (public hearings)” yang diselenggarakan oleh ICJ/CIJ sendiri selama 6 (enam) hari lamanya, yaitu dari hari Senin, tanggal 19 Pebruari 2024 sampai/dengan hari Senin, tanggal 26 Pebruari 2024, dengan topik: “Akibat Hukum yang muncul dari Kebijakan Israel di Wilayah Pendudukan Palestina, termasuk Jerusalem Timur (Legal Consequences arising from the Policies of Israel in ‘the Occupied Palestinian Territory’ (OPT), including East Jerusalem)”.
Public hearings sebagaimana tersebut di atas, melibatkan 52 (lima puluh dua) negara, dan 3 (tiga) organisasi internasional (international organization), yaitu: “Uni Afrika (African Union), Organisasi Kerjasama Negara-negara Islam (OKI) (Organization of Islamic Cooperation (OIC)), dan Liga Negara-negara Arab (League of Arab States)”. Sedangkan Ke-52 negara itu, adalah: “Afrika Selatan; Algeria; Amerika Serikat (AS); Arab Saudi; Bangladesh; Belanda; Belize; Belgia; Bolivia; Brazil; Chile; China; Fiji; Gambia; Guyana; Hongaria; Indonesia; Inggris; Iran; Iraq; Irlandia; Jepang; Jordania; Kanada; Kolombia; Komoros; Kuba; Kuwait; Lebanon; Libya; Luxembourg; Malaysia; Maldives; Mauritius; Mesir; Namibia; Norwegia; Oman; Pakistan; Palestina; Perancis; Qatar; Russia; Slovenia; Spanyol; Sudan; Switzerland; Syria; Tunisia; Turkey; Uni Emirat Arab (UEA); dan Zambia”.
Pemerintah NKRI mendukung dengan sepenuhnya AO yang dibuat oleh ICJ/CIJ. Perihal ini adalah sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Dra. Retno Lestari Priansari Marsudi, LL.M. (Menteri Luar Negeri (MENLU) NKRI (2014-2024) dan mantan duta besar (DUBES) NKRI untuk Norwegia (2005-2008) serta Belanda (2011-2015)) atau sebagaimana yang dinyatakan oleh Dr. Haji Jazuli Juwaini, Lc., M.A. (Anggota Komisi I ‘Dewan Perwakilan Rakyat’ (DPR) NKRI dan Ketua Fraksi ‘Partai Keadilan Sejahtera’ (PKS) DPR NKRI serta Wakil Presiden Forum Anggota Parlemen Muslim Dunia) maupun sebagaimana yang dinyatakan oleh Proff. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani dan mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2003-2008)). Dra. Retno Lestari Priansari Marsudi, LL.M., menyatakan, bahwa: “Fatwa hukum ini menunjukkan bahwa hukum internasional berpihak pada perjuangan Bangsa Palestina”.
Berseberangan dengan pemerintah NKRI, pemerintah Israel melalui Benjamin Netanyahu (Perdana Menteri Israel dan Ketua Partai LIKUD yang mantan anggota ‘Pasukan Pertahanan Israel’ (Israel Defense Forces(IDF)) berpangkat Kapten (1967-1973), dan pernah bersekolah di Massachusetts Institute of Technology dan Harvard University serta pernah beberapa kali menjadi menteri maupun perwakilan Israel untuk PBB (1984-1988)) justeru menentang keras AO yang dibuat oleh ICJ/CIJ. Penentangan Israel ini, dapatlah dimengerti, sebab: “meskipun putusan ICJ/CIJ tersebut bersifat nasihat, bukan mengikat, namun putusan dimaksud akan memiliki dampak politik dan diplomatik yang signifikan bagi Israel”.
Bahkan Parlemen Israel, pada hari Kamis, tanggal 18 Juli 2024 – sehari sebelum ICJ/CIJ mengumumkan AO yaitu, pada hari Jumat, tanggal 19 Juli 2024 – telah memutuskan melalui suatu resolusi untuk menolak pembentukan: “Negara Palestina”. Sebelumnya lagi, Isreal tidak mengirimkan perwakilan dalam kegiatan “rapat dengar pendapat (public hearings)” yang diselenggarakan oleh ICJ/CIJ selama 6 (enam) hari (hari Senin, tanggal 19 Pebruari 2024 sampai/dengan hari Senin, tanggal 26 Pebruari 2024) atas permintaan UNGAmelalui Resolusi, nomor: “A/RES/77/247”, dengan alasan, bahwa: “ICJ/CIJ tidak memiliki yurisdiksi untuk mempertimbangkan masalah tersebut (Israel-Palestina – Penulis)”.
Dalam komentar terhadap AO yang dibuat oleh ICJ/CIJ, Netanyahu menyatakan, bahwa: “Orang-orang Yahudi ‘tidak mungkin’ (mustahil) menjajah / menaklukkan tanah mereka sendiri. Tidak di ibukota abadi kami, Yerusalem. Tidak juga di warisan leluhur kami di Yudea dan di Samaria” (klaim Netanyahu dalam pernyataan yang diterbitkan dari kantornya ini, menggunakan istilah ‘Biblikal’ (Alkitabiah) untuk wilayah: “Tepi Barat”). Netanyahu juga menyatakan, bahwa: “Tidak ada keputusan penuh kebohongan / penuh kepalsuan di ‘Den Haag’ (ICJ/CIJ) yang dapat memutarbalikan kebenaran sejarah ini. Demikian pula dengan legalitas pemukiman Israel di seluruh wilayah tanah air Israel, tidak dapat disangkal / tidak dapat diperdebatkan”. Pada prinsipnya, Netanyahu bermaksud dan/atau bertujuan untuk menyatakan, bahwa: “Wilayah Jalur Gaza (Gaza Strip) dan Tepi Barat (West Bank) serta Jerusalem Timur (East Jerusalem) adalah bagian dari tanah air historis Bangsa Yahudi”. Jika ditelaah dari sudut pandang ‘Biblikal’ (Alkitabiah), maka tanah air bersejarah / historis (historic) Bangsa Yahudi itu disebut, sebagai: “Tanah Perjanjian (Promised Land)”.
Tanah Perjanjian, secara implisit disebutkan oleh Netanyahu dalam pidatonya di depan anggota ‘Kongres Amerika Serikat’ (United States (US) Congress), Gedung Kapitol (US Capitol), Capitol Hill, Distric of Columbia, Washington, D. C., 20004, the United States of America (USA), pada hari Kamis, tanggal 25 Juli 2024 – 7 (tujuh) hari setelah ICJ/CIJ menerbitkan AO (hari Jum’at, tanggal 19 Juli 2024): “Selama hampir 4000 (empat ribu) tahun, tanah Israel telah menjadi tanah air Bangsa Yahudi. Tanah ini selalu menjadi rumah kami; tanah ini akan selalu menjadi rumah kami”. Tanah Perjanjian, secara eksplisit disebutkan oleh Netanyahu dalam pidatonya di depan anggota MU-PBB (UNGA), di Markas Besar PBB (UN Headquarter), Turtle Bay, Midtown Manhattan, New York, USA, pada hari Jum’at, tanggal 27 September 2024: “Ketika saya berbicara disini tahun lalu, saya mengatakan bahwa kita menghadapi pilihan abadi yang sama, yang Musa tetapkan bagi Bangsa Israel ribuan tahun yang lalu, saat kita akan memasuki Tanah Perjanjian”.
Sama dengan pandangan Netanyahu, dan berbeda dari pandangan resmi pemerintah NKRI sebagaimana tersebut di atas, adalah pandangan Dr. Connie Rahakundini Laspetrini Bakrie, M.Si. (Analis Pertahanan, Militer, dan Intelijen; Visiting Lecturer di Sekolah Staff dan Komando Angkatan Udara, dan Sekolah Staff dan Komando Angkatan Laut; Dosen pada Sekolah Diplomatik Kementerian Luar Negeri NKRI (SESPARLU dan DISPARLU); dan Dosen pada beberapa Universitas di dalam dan di luar negeri) yang berpendapat, bahwa:“Untuk memahami sejarah Israel yang panjang, kita tidak bisa mendapat sumber apapun, tidak akan, kecuali satu: ‘Bible’ (alkitab – Penulis). … Jadi memang harus baca Bible. … Tidak mungkin mengerti tentang Israel kalau kita tidak baca Bible atau menganggap Bible itu haram … memang kita harus membaca Bible, tidak bisa tidak, karena catatan (sejarah – Penulis) yang paling penting, paling panjang atau paling rigit ini hanya ada di Bible”. Connie melanjutkan, bahwa: “Dari seribu tahun sebelum masehi ‘ini tuh’ (Palestina – Penulis) daerah yang didominasi oleh Yahudi … Kitab Yahudi (Yudaisme – Penulis) dan Nasrani (Kristen – Penulis) berkali-kali disebut, Yerusalem itu, tanah Israel itu, adalah tanah yang diberikan Tuhan, Tanah yang dijanjikan Tuhan (Tanah Perjanjian – Penulis)”.
Tanah Perjanjian
Tanah Perjanjian (Bahasa Ibrani: ha-Aretz ha-Muvtakhat) adalah janji Tuhan untuk memberikan ‘tanah’ (daerah / wilayah / teritori (territory)) kepada: “Bangsa Israel”. Musa (Moses / Moseh / Moshe / Mose) adalah salah seorang Bangsa Israel dari Suku Lewi yang lahir pada tahun 1477 SM (Sebelum Masehi), di Tanah Goshen / Tanah Ramesses, di tepi timur laut delta Sungai Nil, Mesir Hilir, Mesir Kuno, Mesir (Egypt), pada masa pemerintahan Firaun Thutmose III (1479 SM – 1425 SM), dan wafat pada tahun 1357 SM, di Gunung Nebo, Tanah Moab, Transjordania, Yordania (Jordan) pada masa pemerintahan Firaun Amenhoteb III (1390 SM – 1352 SM) merupakan orang yang menulis, tentang: “Tanah Perjanjian”. Musa menulis 5 (lima) kitab, yaitu: “Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan”.
Dalam Kitab Suci Agama Kristen yaitu Alkitab, kompilasi dari kelima kitab Musa sebagaimana tersebut di atas, disebut sebagai: “Pentateukh (5 (lima) kitab Musa)”. Pentateukh merupakan salah satu dari 5 (lima) bagian Kitab Perjanjian Lama dalam Alkitab Kristen, yaitu: “Pentateukh, Sejarah, Hikmat, Kenabian, dan Deuterokanonika (kitab-kitab diluar kitab-kitab Protokanonika (kitab-kitab yang menjadi bagian dari Alkitab Ibrani))”. Sementara dalam Alkitab Kristen itu sendiri, terdiri dari 2 (dua) kitab yang merupakan satu kesatuan – yang bulat dan utuh serta ‘tidak dapat’ (mustahil) dilepaspisahkan antara satu dengan yang lainnya – yaitu: “Kitab ‘Perjanjian Lama’ (PL) dan Kitab ‘Perjanjian Baru’ (PB)”. Dimana inti dari Kitab PL, adalah: “Janji TUHAN sendiri tentang ‘juru selamat’ (MESIAS) untuk Bangsa Israel”. Sedangkan inti dari Kitab PB, adalah: “Penggenaban janji TUHAN mengenai MESIAS dalam diri YESUS PENYELAMAT (Bahasa Ibrani: YESHUA HAMASCHIAH / Bahasa Yunani: IESOUS CHRISTOS)”. Sekalipun ‘YESUS anak Yusuf’ (YESHUA bin Yossef) adalah salah seorang Bangsa Israel yang berasal dari suku Yehuda keturunan ‘Daud anak Isai’ (Daud bin Isai), tetapi Bangsa Israel tetap menolak Yesus, sebagai: “MESIAS”. Dimana dengan sendirinya juga, Bangsa Israel menolak pula, Kitab: “Perjanjian Baru (PB)”. Sampai/dengan saat ini, Bangsa Israel masih menantikan datangnya, seorang: “MESIAS”.
Dalam tradisi Yudaisme Rabbinik, Pentateukh disebut sebagai: “Taurat (Torah / Tora)”. Kata Taurat dalam bahasa Ibrani (klasik) berarti, sebagai: “ajaran, doktrin, instruksi, hukum”. Dalam tradisi Yudaisme Rabbinik juga, yang dimaksud dengan Taurat, adalah: “Taurat tertulis (Tora Sebbiktav)”. Untuk tujuan liturgi, jika ditelaah dari sudut pandang bentuknya, maka yang dimaksud dengan Taurat adalah, yang berbentuk: “Gulungan Taurat (Sefer Torah)”. Jika dalam bentuk kitab yang dijilid (biasanya dicetak bersama dengan kitab tafsir ‘para Nabi’ (Perushim)), maka disebut: “Chumas”.
Dalam literatur Yudaisme Rabbinik, kata Taurat menunjuk pada, baik “Torah tertulis” maupun “Torah lisan”. Torah lisan (Torah yang diucapkan) terdiri dari interpretasi dan amplifikasi yang menurut tradisi Yudaisme Rabbinik telah diturunkan dari generasi ke generasi dan sekarang terkandung dalam Talmud (sumber utama dari hukum agama Yahudi (Halakha)) dan Midrash (interpretasi Alkitab Ibrani termasuk metode interpretasinya dan kumpulan interpretasi tersebut). Pemahaman tradisi Yudaisme Rabbinik adalah bahwa semua ajaran yang ditemukan dalam Taurat – baik lisan maupun tulisan – diberikan oleh TUHAN melalui Musa, beberapa di ‘gunung Sinai’ (gunung Bashan, gunung Gebnunim, gunung Horeb, gunung TUHAN (Har HaElohim)) dan lainnya di Kemah Suci (Tabernakel), dan semua ajaran dituliskan oleh Musa yang menghasilkan Taurat yang ada pada saat ini. Dalam Kitab ‘Agama Yahudi’ (Yudaisme) yaitu Tanakh, Taurat adalah salah satu dari 3 (tiga) bagian kitab dalam Tanakh, yaitu: “Torah (instruksi), Nevi’im (Nabi), dan Ketuvim (Tulisan)”.
Dengan tidak menyangkal dan/atau menafikkan peranan TUHAN ketika Musa menulis Taurat sebagaimana tersebut di atas, tetapi adalah suatu perihal yang amat sangat logis dan dapat dipastikan pula bahwa, Musa menulis Taurat – khususnya mengenai sejarah nenek moyang Bangsa Israel dari Adam (4124 SM – 3195 SM), Nuh (3069 SM – 2119 SM), Abraham (2117 SM – 1942 SM), Ishak (2017 SM – 1837 SM), hinggaYakub (1957 SM – 1810 SM) – adalah berdasarkan “informasi” yang diterima oleh Musa dari orang-orang Bangsa Israel yang pada waktu itu sedang berada di Mesir. Musa sendiri adalah juga bagian dari sebanyak hampir kurang lebih 603.550 (enam ratus tiga ribu lima ratus lima puluh) orang Bangsa Israel yang lahir di Mesir pada masa pemerintahan Firaun Ahmose I (1550 SM -1525 SM) sampai/dengan masa pemerintahan Firaun Thutmose IV (1400 SM – 1390 SM). Jumlah tersebut tidak termasuk perempuan dan anak-anak, dan semua laki-laki Suku Lewi berumur satu bulan ke atas yang sebanyak 22.000 (dua puluh dua ribu) orang serta orang-orang yang tidak sanggup berperang. Sebab yang dihitung pada waktu itu hanyalah semua laki-laki Bangsa Israel yang berumur 20 (dua puluh) tahun ke atas dan yang sanggup berperang, dan jumlah mereka semua itu, adalah: “603.550 (enam ratus tiga ribu lima ratus lima puluh)”.
Catatan: Pada tahun 1827 SM, yaitu pada masa Tanah Mesir diperintah oleh Firaun Amenemhat III (1860 SM – 1815 SM), nenek moyang Bangsa Israel yang datang ke Mesir untuk pertama kalinya hanya berjumlah 70 (tujuh puluh) orang saja. Ke – 70 (tujuh puluh) orang ini pun berasal dari keturunan: “Yakub” (Yakub ini disebut juga dengan nama: “ISRAEL”). Ayah Yakub, bernama: “Ishak”. Dan kakek Yakub, bernama: “Abraham”. Yakub sendiri memiliki 13 (tiga belas) orang anak dari 4 (empat) orang isteri (Lea, Rahel, Bilha, dan Zilpa), yang nama dari anak-anak Yakub / Israel itu, menurut usianya masing-masing secara berurutan, adalah: “Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Dan, Naftali, Gad, Asyer, Isakhar, Zebulon, Dina (Perempuan), Yusuf, dan Benyamin” (Kejadian, 36: 22b – 29). Pada tahun 1836, anak ke – 12 (dua belas) dari Yakub, yakni: “Yusuf (1866 SM – 1756 SM)”, dinobatkan oleh Firaun Amenemhat III sebagai orang kedua paling berkuasa di Tanah Mesir. Perihal ini adalah sebagaimana perkataan Amenemhat III itu sendiri: “Engkaulah menjadi kuasa atas istana-Ku dan kepada perintahmu seluruh rakyat-Ku akan taat; hanya ‘tahta’ (singgasana – Penulis) inilah kelebihan-Ku daripadamu. Dengan ini Aku melantik engkau menjadi kuasa atas seluruh tanah Mesir. Akulah Firaun, tetapi dengan tidak setahumu, seorangpun tidak boleh bergerak di seluruh tanah Mesir” (Kejadian, 41: 37 – 57). Amenemhat III kemudian memberikan kepada Yusuf, meterai kerajaan berbentuk cincin yang ia tanggalkan sendiri dari jarinya dan mengenakannya pada jari Yusuf, dan juga jubah kebesaran kerajaan, serta kalung emas kerajaan, bahkan nama barupun diberikannya kepada Yusuf bin Yakub, sebagai: “Zafnat-Paaneah (Yusuf-Hidup)”. Amenemhat III memberikan pula Asnatkepada Yusuf untuk menjadi isteri Yusuf. Asnat adalah anak perempuan dari Potifera, seorang Imam di On. Keturunan Yakub / Israel tinggal dan menetap di Tanah Mesir selama hampir kurang lebih: “430 (empat ratus tiga puluh) tahun”. Perihal ini adalah seperti yang ditulis sendiri oleh Musa: “Lamanya orang Israel diam di Mesir adalah empat ratus tiga puluh (430 – Penulis) tahun. Sesudah lewat empat ratus tiga puluh (430 – Penulis) tahun, … keluarlah bala tentara TUHAN (Bangsa Israel – Penulis) dari tanah Mesir” (Keluaran, 12: 40 – 41).
“Tanah Perjanjian” untuk pertama kalinya diberitahukan oleh TUHAN kepada Abraham. Bahkan pada tahun 2042 SM, TUHAN sendirilah yang telah memanggil Abraham untuk keluar dari tanah kelahirannya di Ur-Kasdim dan pergi ke: “Tanah Perjanjian”. Ur-Kasdim itu sendiri adalah suatu kota kuno Sumeria di selatan Mesopotamia dan di seberang sungai Eufrat dimana telah berdiam orang-orang Kasdim pada sekitar abad IX SM. Kota tersebut sekarang ini bernama Tall al Muqayyar yang terletak sekitar 300 (tiga ratus) Km di arah tenggara ibukota Negara Iraq, yaitu: “Baghdad”. Perihal ini adalah sebagaimana FIRMAN TUHAN kepada Abraham yang ditulis sendiri oleh Musa: “AKU akan memberikan negeri ini (Tanah Perjanjian – Penulis) kepada keturunanmu (Bangsa Israel – Penulis) … AKU-lah TUHAN, yang membawa engkau keluar dari Ur-Kasdim untuk memberikan negeri ini (Tanah Perjanjian – Penulis) kepadamu menjadi milikmu” (Kejadian, 15: 7). Abraham telah berusia 75 (tujuh puluh lima) tahun, ketika TUHAN menuntun Abraham keluar dari tanah kelahirannya di Ur-Kasdim (sekarang: Tall al Muqayyar) dan pergi, ke: “Tanah Perjanjian”.
Selain pergi ke Tanah Perjanjian, Abraham juga pernah pergi ke Tanah Mesir (2032 SM) yang pada waktu itu sedang diperintah oleh Firaun dari dinasti kesebelas periode menengah pertama: “Nephetepre Mentuhoteb I (2060 SM – 2010 SM)”. Sebelum Abraham pergi ke Tanah Perjanjian, yaitu pada saaat Abraham masih tinggal dan menetap di kota kelahirannya di Ur-Kasdim, Abraham tidak mengenal TUHAN yang benar, yaitu: “TUHAN Adam dan TUHAN Nuh”. Perihal ini adalah seperti yang tertulis dalam Akitab, Kitab Yosua, Pasal 24, ayat (2): “Berkatalah Yosua kepada seluruh bangsa itu (Bangsa Israel – Penulis): Beginilah Firman TUHAN, TUHAN Israel: dahulu kala diseberang sungai Eufrat (bagian sebelah barat – Penulis), disitulah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah Abraham, dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada TUHAN lain (dewa bulan (Camarina) – Penulis)”.
TUHAN sendirilah yang telah datang dan memperkenalkan diri-NYA kepada Abraham serta berbicara kepadanya, mengenai: “Tanah Perjanjian”. Perihal ini adalah seperti yang ditulis sendiri oleh Musa: “Ber-FIRMAN-lah TUHAN kepada Abram: Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini (Ur-Kasdim – Penulis) ke negeri yang akan AKU tunjukkan kepadamu (Tanah Perjanjian – Penulis); AKU akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar (Bangsa Israel – Penulis), dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. AKU akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat (YESUS KRISTUS – Penulis)” (Kejadian, 12: 1 – 3). Tidak hanya janji tersebut saja, TUHAN juga berjanji untuk membuat keturunan Abraham sebanyak: “Debu tanah atau pasir di tepi pantai bahkan bintang-bintang di langit”. Bahkan TUHAN juga berjanji, bahwa: “melalui Abraham semua bangsa di muka bumi akan mendapat berkat”. Lebih daripada itu, TUHAN memberi pula nama “Abraham” sebagai pengganti nama: “Abram”. Perihal ini adalah sebagaimana FIRMAN TUHAN itu sendiri: “Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham, karena engkau telah AKU tetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa” (Kejadian, 17: 5).
Ketika Abraham telah berdiam di Tanah Kanaan, TUHAN menampakkan diri-NYA kepada Abraham dan ber-FIRMAN kepadanya sebagaimana yang ditulis oleh Musa: “Kepadamu (Abraham – Penulis) dan kepada keturunanmu (Bangsa Israel – Penulis) akan KU-berikan negeri ini yang kau diami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan KU-berikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan AKU akan menjadi TUHAN mereka (Bangsa Israel – Penulis)” (Kejadian, 17: 8). Dalam FIRMAN TUHAN tersebut, TUHAN untuk pertamakalinya menyatakan bahwa, yang dimaksud oleh TUHAN dengan Tanah Perjanjian itu, adalah: “Tanah Kanaan”. Tanah Kanaan sebagai Tanah Perjanjian kemudian dinyatakan juga kepada Musa oleh TUHAN sendiri melalui FIRMAN-NYA: “ … Bukan saja AKU telah mengadakan perjanjian-KU dengan ‘mereka’ (Abraham, Ishak, dan Yakub – Penulis) untuk memberikan kepada mereka Tanah Kanaan, tempat mereka tinggal sebagai orang asing, … Dan AKU akan membawa kamu (Bangsa Israel – Penulis) ke negeri yang dengan sumpah telah kujanjikan memberikannya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, dan AKU akan memberikanya kepadamu untuk menjadi milikmu; AKU-lah TUHAN“ (Keluaran, 6: 1 – 7). Nama Tanah Kanaan lalu muncul di seluruh bagian Alkitab Ibrani maupun Alkitab Kristen sebagai ‘gambar bumi’ (geografy) yang dihubungkan dengan: “Tanah Perjanjian”.
Catatan: TUHAN yang benar (TUHAN Adam dan TUHAN Nuh) tidak pernah memberitahukan nama-NYA kepada siapapun juga, bahkan kepada Adam dan Nuh sekalipun. Perihal ini dapat dikatakan demikian, karena sampai/dengan TUHAN datang kepada Musa di gunung Sinai (1397 SM), TUHAN tidak memberitahukan nama-NYA kepada Musa, tetapi TUHAN hanya memperkenalkan diri-NYA kepada Musa, sebagai: “Akulah TUHAN ayahmu, TUHAN Abraham, TUHAN Ishak, dan TUHAN Yakub” (Keluaran, 3: 6). Sehingga Musa bertanya kepada TUHAN: “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: TUHAN nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang namanya? – apakah yang harus kujawab kepada mereka?” (Keluaran, 3: 13). FIRMAN TUHAN kepada Musa: “AKU ADALAH AKU (Ehyeh Asher Ehyeh / Ehiyeh sh’Ehiyeh / Yod heh vav heh (YHWH) (Tetragramaton) – Penulis) … AKULAH AKU telah mengutus AKU kepadamu … TUHAN nenek moyangmu, ‘TUHAN Abraham, TUHAN Ishak, dan TUHAN Yakub’ (Elohei Avraham, Elohei Yitzchak, we Elohei Ya’aqov – Penulis) telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-KU untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-KU turun temurun” (Keluaran, 3: 14 – 15). Karena TUHAN tidak memiliki nama secara “spesifik” maka orang lalu menyembah TUHAN yang benar (TUHAN-nya Adam dan Nuh) dengan berbagai sebutan, seperti: “El, Eli, Eloah, Elohim, Elyon, Elohei, EL Olam, El Roi, El Shaddai, Immanuel, Adonai, Hashem, Shema, Kyrios, Allah, Yehova / Yahweh (Yod heh vav heh (YHWH)), Maryah (Mem, Resh, Yud, Alip (MRYA = YHWH)) dan lain sebagainya”. Dalam literatur Agama Kristen, TUHAN memiliki nama secara spesifik, yaitu: “YESUS (YESHUA / YEHOSHUA)” (Matius, 1: 21; Lukas, 1: 31). Keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam ‘DIA’ (YESUS – Penulis), sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain (selain nama YESUS – Penulis) yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kisah Para Rasul, 4: 12). Sebab hanya dalam nama YESUS bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “YESUS KRISTUS adalah TUHAN” (Filipi, 2: 10 – 11).
Tanah Perjanjian yaitu Tanah Kanaan sebagaimana tersebut di atas, diberikan oleh TUHAN kepada Abraham dan keturunannya (Bangsa Israel) melalui perjanjian 2 (dua) pihak yaitu, oleh dan di-antara: “TUHAN dan Abraham”. Konsep / materi / isi dari perjanjian itu sendiri dibuat oleh TUHAN, sebagaimana di-FIRMAN-kan TUHAN kepada Abraham seperti yang ditulis oleh Musa: “AKU akan mengadakan perjanjian antara AKU (TUHAN – Penulis) dan engkau (Abraham – Penulis)” (Kejadian, 17: 2). TUHAN sebagai pihak pertama dalam perjanjian ini, ber-FIRMAN kepada Abraham sebagai pihak kedua seperti yang ditulis oleh Musa: “Dari pihak-KU, inilah perjanjian-KU dengan engkau (Abraham – Penulis) … Kepadamu dan kepada keturunanmu (Bangsa Israel – Penulis) akan KU-berikan negeri ini (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis) yang kau diami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan (Tanah Perjanjian – Penulis) akan KU-berikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan AKU akan menjadi TUHAN mereka (Bangsa Israel – Penulis)” (Kejadian, 17: 8). TUHAN selanjutnya ber-FIRMAN kepada Abraham seperti yang ditulis oleh Musa: “Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-KU, engkau (Abraham – Penulis) dan keturunanmu turun-temurun (Bangsa Israel – Penulis)” (Kejadian, 17: 9).
Tanda dari perjanjian antara TUHAN dan Abraham, adalah: “SUNAT”. Perihal ini adalah sebagaimana FIRMAN TUHAN kepada Abraham: “Inilah perjanjian-KU, yang harus kamu pegang, perjanjian antara AKU (TUHAN – Penulis) dan kamu (Abraham – Penulis) serta keturunanmu (Bangsa Israel – Penulis), yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat; haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara AKU dan kamu. Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yaitu setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun: … maka dalam dagingmulah perjanjian-KU itu menjadi perjanjian yang kekal. Dan orang yang tidak disunat, … , maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya: ia telah mengingkari perjanjian-KU“ (Kejadian, 17: 10). Dalam tradisi Yudaisme, sunat pada usia / umur 8 (delapan) hari disebut, sebagai: “Sunat Abraham”. Abraham sendiri disunat pada tahun 2018 SM, ketika Abraham telah berusia: “99 (sembilan puluh sembilan) tahun”. pada tahun 1942 SM, Abraham wafat dalam usia: “175 (seratus tujuh puluh lima) tahun”. Abraham lalu dimakamkan di gua Makhpela, di padang Efron bin Zohar, orang Het, di sebelah timur Mamre, yang telah dibeli oleh Abraham dari Bani Het, di Hebron, di Tepi Barat (West Bank), di: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”.
Musa menulis bahwa, janji TUHAN kepada Abraham tentang Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian tidak hanya dinyatakan oleh TUHAN sendiri kepada Abraham saja, tetapi juga dinyatakan oleh TUHAN sendiri kepada anak Abraham, yaitu: “Ishak”. FIRMAN TUHAN kepada Ishak: “Tinggalah di negeri ini (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis) sebagai orang asing, maka AKU akan menyertai engkau dan memberkati engkau, sebab kepadamulah dan kepada keturunanmu (Bangsa Israel – Penulis) akan AKU berikan seluruh negeri ini (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis), dan AKU akan menepati sumpah yang telah AKU ikrarkan kepada Abraham, ayahmu” (Kejadian, 26: 3). Janji TUHAN kepada Abraham itu, juga dinyatakan oleh TUHAN sendiri kepada cucu Abraham (anak dari Ishak), yaitu: “Yakub (ISRAEL)”. Kepada Yakub, TUHAN ber-FIRMAN: “AKU-lah TUHAN, TUHAN Abraham, nenekmu, dan TUHAN Ishak (ayah Yakub – Penulis); tanah tempat engkau berbaring ini (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis) akan AKU berikan kepadamu dan kepada keturunanmu (Bangsa Israel – Penulis) … ” (Kejadian, 28: 13).
Catatan: ISRAEL adalah nama yang diberikan oleh TUHAN kepada Yakub, karena Yakub telah menang dalam pergumulan melawan TUHAN dan manusia. FIRMAN TUHAN kepada Yakub sebagaimana yang ditulis oleh Musa: “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan TUHAN dan manusia, dan engkau menang” (Kejadian, 32: 28). Nama Yakub, dalam bahasa Ibrani berarti, sebagai: “Cerdik / Licik / menipu”. Sedangkan nama Israel dalam bahasa Ibrani berasal dari gabungan 2 (dua) kata, yaitu: “kata Yisra yang berarti sebagai berjuang, dan kata El (kependekan dari kata Elohim) yang berarti sebagai TUHAN”. Secara harafiah, nama Israel dapat diberi arti, sebagai: “Pejuang TUHAN / berjuang bersama TUHAN”. Penggantian nama Yakub menjadi Israel oleh TUHAN ini, adalah suatu “tanda” dari berakhirnya kehidupan yang sebelumnya penuh “kelicikan tipu muslihat” dengan dimulainya kehidupan untuk menggenapi rencana, rancangan, dan jalan TUHAN. Dalam peristiwa pergumulan antara Yakub dengan TUHAN ini, Yakub juga sempat bertanya kepada TUHAN tentang nama TUHAN, tetapi TUHAN menjawab Yakub: “Mengapa engkau menanyakan nama-KU?” (Kejadian, 32: 29). Tempat dimana terjadinya peristiwa pergumulan antara Yakub dengan TUHAN, dinamai oleh Yakub, sebagai: “Pniel” (Kejadian, 32: 30). Sebab kata Yakub: “aku telah melihat TUHAN berhadapan muka, tetapi jiwaku tertolong” (Kejadian, 32: 30). Dalam tradisi Yudaisme, tidak seorangpun yang pernah memandang wajah TUHAN, karena ketika se-seorang memandang wajah TUHAN maka orang itu pasti akan mati. Tentang perihal ini, TUHAN sendiri telah ber-FIRMAN kepada Musa: “Engkau tidak tahan memandang wajah-KU, sebab tidak ada orang yang memandang AKU dapat hidup” (Keluaran, 33: 20). Dalam agama Kristenpun demikian juga adanya, yaitu: “Tidak ada seorangpun yang pernah melihat TUHAN” (Yohannes, 1: 18; 1 Yohannes, 4: 12). Tetapi dalam iman Kristen yang mengakui YESUS adalah TUHAN, maka TUHAN dapat dilihat melalui YESUS. Perihal ini adalah sebagaimana apa yang dikatakan sendiri oleh YESUS: “ … Barang siapa telah melihat AKU (YESUS / TUHAN – Penulis), ia telah melihat BAPA (TUHAN – Penulis) (Yohanes, 14: 9); … AKU (YESUS / TUHAN – Penulis) di dalam BAPA (TUHAN – Penulis) dan BAPA (TUHAN – Penulis) di dalam AKU (YESUS / TUHAN – Penulis) (Yohanes, 14: 10); … AKU (YESUS / TUHAN – Penulis) dan BAPA (TUHAN – Penulis) adalah satu (TUHAN – Penulis)” (Yohanes, 10: 30).
Secara umum, batas-batas Tanah Perjanjian yang dalam perihal ini adalah Tanah Kanaan, berada di antara 4 (empat) penjuru mata angin, yaitu: “timur dan barat, utara dan selatan” (Kejadian, 13: 14; Kejadian, 28: 14). Secara spesifik-implisit, TUHAN melalui FIRMAN-NYA telah memberitahukan batas-batas Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian kepada Abraham sebagaimana yang ditulis oleh Musa: “Kepada keturunanmulah AKU (TUHAN – Penulis) berikan negeri ini (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis), mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Eufrat: yakni tanah orang Keni, orang Kenas, orang Kadmon, orang Het, orang Feris, orang Refaim, orang Amori, orang Kanaan, orang Girgasi dan orang Yebus itu” (Kejadian, 15: 18 – 21). Tetapi Secara spesifik-eksplisit, batas-batas Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian adalah seperti yang di-FIRMAN-kan oleh TUHAN kepada Musa: “Perintahkanlah kepada orang Israel dan katakanlah kepada mereka: Apabila kamu masuk ke negeri Kanaan (Tanah Perjanjian – Penulis), maka inilah negeri yang akan jatuh kepadamu sebagai milik pusaka, yakni tanah Kanaan (Tanah Perjanjian – Penulis) menurut batas-batasnya:” (Bilangan, 34: 1 – 29).
- Sisi Selatan: Adapun sisi selatanmu ialah dari padang gurun Zin menyusur Edom, maka batas selatanmu mulai dari ujung laut Asin di sebelah timur. Lalu batasmu membelok di selatan pendakian Akrabim, terus ke Zin dan berakhir di sebelah selatan Kadesh-Barnea. Sesudah itu, ia mencapai Hazar-Adar, dan terus ke Azmon. Kemudian batas itu membelok dari Azmon ke sungai Mesir dan berakhir ke laut;
- Sisi Barat: batas baratmu ialah laut besar (laut tengah / laut Mediterania / Mare Mediterraneum (daratan / negeri tengah) – Penulis) dan pantainya: itulah batas baratmu;
- Sisi Utara: inilah batas utaramu: mulai dari laut besar haruslah kamu buat tanda batas ke gunung Hor, dari gunung Hor harus kamu buat tanda batas ke jalan yang menuju ke Hamat, lalu batas itu mencapai Zedad. Kemudian batas itu mencapai Zifron dan berakhir di Hazar-Enan; itulah batas utaramu;
- Sisi Timur: sebagai batasmu di sebelah timur haruslah kamu membuat tanda batas dari Hazar-Enan ke Sefam. Dari Sefam batas itu turun ke Ribla, di sebelah timur Ain; kemudian batas itu turun lagi dan mencapai tebing danau Kineret di sebelah timur. Lalu batas itu turun ke sungai Yordan dan berakhir di laut Asin. Itulah negerimu menurut batas-batasnya sekeliling.
FIRMAN TUHAN selanjutnya kepada Musa, adalah: “Inilah nama orang-orang yang harus membagikan tanah itu (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis) kepadamu sebagai miliki pusaka: imam Eleazerdan Yosua bin Nun. Lagi haruslah kamu mengambil seorang pemimpin dari setiap suku untuk membagikan tanah itu (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis) sebagai milik pusaka. Inilah nama orang-orang itu: dari suku Yehuda: Kaleb bin Yefune; dari suku bani Simeon: Samuel bin Amihud; dari suku Benyamin: Elidad bin Kislon; dari suku bani Dan seorang pemimpin: Buki bin Yogli; dari anak-anak Yusuf, yakni dari suku bani Manasye seorang pemimpin: Haniel bin Efod; dan dari suku bani Efraim seorang pemimpin: Kemuel bin Siftan; dari suku bani Zebulon seorang pemimpin: Elifasan bin Parnah; dari suku bani Isakhar seorang pemimpin: Patniel bin Azan; dari suku bani Asyer seorang pemimpin: Ahihud bin Selomi; dari suku bani Naftali seorang pemimpin: Pedael bin Amihud. Itulah orang-orang yang diperintahkan TUHAN untuk membagikan milik pusaka kepada orang Israel di tanah Kanaan (Tanah Perjanjian – Penulis)”.
Dalam kerangka TUHAN menepati janji yang telah di-ikrarkan-NYA dengan sumpah kepada nenek moyang Bangsa Israel yakni, Abraham, Ishak, dan Yakub, untuk memberikan kepada keturunan mereka (Bangsa Israel) Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian, maka TUHAN memilih Musa guna menggenapi janji TUHAN itu, yakni untuk membawa Bangsa Israel keluar dari Tanah Mesir dan pergi ke: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Perihal ini adalah seperti FIRMAN TUHAN kepada Musa di gunung Sinai: “Jadi sekarang, Pergilah, AKU mengutus engkau (Musa – Penulis) kepada Firaun untuk membawa umat-KU, orang Israel keluar dari Mesir” (Keluaran, 3: 10) – dimana pada masa itu, Mesir sedang berada dalam pemerintahan Firaun Thutmose IV (1400 SM – 1390 SM). Ketika Musa memimpin Bangsa Israel keluar dari tanah Mesir pada tahun 1397 SM, Musa telah berusia: “80 (delapan puluh) tahun”.
Saat untuk pertamakalinya Bangsa Israel melangkahkan kaki mereka keluar dari tanah Mesir pada tahun 1397 SM, ditetapkan sebagai bulan pertama dalam penanggalan Israel Kuno dengan nama: “Bulan Abib (Bahasa Ibrani: Abib / Aviv berarti sebagai: musim semi / bulir gandum baru) dan/atau bulan Nisan (Bahasa Akkadia: Nisanu; bahasa Sumeria: Nisag) dalam kalender Assiria dan/atau bulan Xanthicus dalam kalender Yunani-Romawi dan/atau pertengahan bulan Maret hingga pertengahan bulan April dalam kalender Gregorian”. Bangsa Israel keluar dari Tanah Mesir secara tergesa-gesa pada waktu hari sudah menjelang gelap (petang/senja). Ketergesaan Bangsa Israel itu, diperingati dengan memakan ‘roti tidak beragi’ (roti penderitaan / roti kesengsaraan) pada saat matahari terbenam menjelang malam (petang/senja) selama 7 (tujuh) hari berturut-turut.
Pada tanggal 10 bulan Abib, tahun yang pertama (1397 SM), dilakukan suatu perayaan selama 7 (tujuh) hari berturut-turut untuk memperingati keluarnya Bangsa Israel dari Tanah Mesir yang disebut sebagai hari Raya: “Paskah (Pasach / Passover)”. Saat Bangsa Israel beranjak keluar dari Tanah Mesir pada tanggal 15 bulan Abib itu, Musa berkata kepada mereka: “Apabila TUHAN telah membawa engkau (Bangsa Israel – Penulis) ke negeri orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Hewi, dan orang Yebus, negeri yang telah dijanjikan-NYA dengan sumpah kepada nenek moyangmu (Abraham, Ishak, dan Yakub – Penulis) untuk memberikannya kepadamu (Bangsa Israel – Penulis), suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, maka engkau (Bangsa Israel – Penulis) harus melakukan ibadah ini (Paskah – Penulis) dalam bulan ini juga (Abib – Penulis)” (Keluaran, 13: 5). Paskah dirayakan oleh Bangsa Israel setiap tahun pada tanggal 15 sampai / dengan tanggal 22 bulan Abib (Aviv / Nisan / Nisanu / Nisag / Xanthicus).
Dengan membawa tulang-tulang Yusuf anak Yakub (Yossef bin Ya’aqov) – sesuai dengan sumpah Bangsa Israel kepada Yusuf: “ … Pada waktu itu (waktu keluar dari Tanah Mesir – Penulis) kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini (Tanah Mesir – Penulis)” (Kejadian, 50: 25) – Musa lalu memimpin Bangsa Israel keluar dari Tanah Mesir menuju ke Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian melewati ‘laut merah’ ((red sea) laut teberau / laut kolsom) dan padang gurun, yang menghabiskan waktu perjalanan selama kurang lebih: “40 (empat puluh) tahun”. Dimana perjalanan ini, melewati lokasi tempat persinggahan sebanyak: “42 (empat puluh dua) titik”. sebenarnya, jarak tempuh antara Tanah Mesir dengan Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian kurang lebih sejauh: “500 (lima ratus) mil dan/atau 800 (delapan ratus) kilometer”. Dimana jarak tersebut, dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih: “25 (dua puluh lima) hari”.
Musa menulis bahwa, 40 (empat puluh) tahun perjalanan Bangsa Israel dari Tanah Mesir ke Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian melalui padang gurun adalah hukuman TUHAN atas kejahatan Bangsa Israel dalam kasus 12 (dua belas) pengintai pada tahun 1395 SM – 2 (dua) tahun setelah Bangsa Israel keluar dari Tanah Mesir menuju ke: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian” – dimana TUHAN ber-FIRMAN kepada Bangsa Israel seperti yang ditulis sendiri oleh Musa: “Sesuai dengan jumlah hari yang kamu (12 pengintai – Penulis) mengintai negeri itu (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis), yakni empat puluh hari, satu hari dihitung satu tahun, jadi empat puluh tahun lamanya kamu (Bangsa Israel – Penulis) harus menanggung akibat kesalahanmu, supaya kamu tahu rasanya, jika AKU berbalik dari padamu: AKU, TUHAN, yang berkata demikian” (Bilangan, 14: 34). Akibat dari sebab kasus ke – 12 (dua belas) pengintai ini adalah, 603.550 (enam ratus tiga ribu lima ratus lima puluh) orang yang lahir di Tanah Mesir dan yang berumur 20 (dua puluh) tahun ke atas serta yang sanggup berperang, tidak ada satupun – termasuk didalamnya: “Musa dan Harun” – yang memasuki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian kecuali Yosua bin Nun dan Kaleb bin Yefune. Ke – 603.550 (enam ratus tiga ribu lima ratus lima puluh) orang tersebut, mati di padang gurun dalam perjalanan dari Tanah Mesir menuju ke: Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”.
Pada bulan yang ketiga, tahun yang pertama (1397 SM), setelah Bangsa Israel keluar dari Tanah Mesir, dan setelah mereka berangkat dari Rafidim (Masa & Meriba), mereka tiba di padang gurun Sinai dan berkemah di depan gunung Sinai. Di tempat persinggahan inilah, TUHAN mengikat perjanjian antara TUHAN dengan Bangsa Israel, setelah Musa memberitahukan kepada Bangsa Israel itu segala FIRMAN TUHAN dan segala peraturan yang dibuat oleh TUHAN kepada Bangsa Israel. Selama 40 (empat puluh) siang dan 40 (empat puluh) malam (40 (empat puluh) hari), Musa berada di atas gunung Sinai untuk menerima FIRMAN TUHAN dan segala peraturan yang dibuat oleh TUHAN kepada Bangsa Israel, dan yang diberikan oleh TUHAN kepada Bangsa Israel dengan perantaraan Musa sendiri. Perihal ini adalah seperti tertulis dalam Alkitab, Kitab Keluaran, Pasal 24, ayat (7) – (8): “Diambilnyalah kitab perjanjian itu, lalu dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu (Israel – Penulis) dan mereka berkata: segala FIRMAN TUHAN akan kami lakukan dan akan kami dengarkan. Kemudian Musa mengambil darah itu (lembu-lembu jantan – Penulis) dan menyiramkannya pada Bangsa itu serta berkata: Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu (Bangsa Israel – Penulis), berdasarkan segala FIRMAN ini”.
Kepada Bangsa Israel, Musa berkata: “Inilah perintah, yakni ketetapan dan peraturan, yang aku ajarkan kepadamu atas perintah TUHAN, Allahmu, untuk dilakukan di negeri, kemana kamu pergi untuk mendudukinya, supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan TUHAN, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-NYA yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu. Maka dengarlah, hai orang Israel! Lakukanlah itu dengan setia, supaya baik keadaanmu, dan supaya kamu menjadi sangat banyak, seperti yang dijanjikan TUHAN, Allah nenek moyangmu, kepadamu di suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenab hatimu dan dengan segenab jiwamu dan dengan segenab kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu” (Ulangan, 6: 1 – 9).
Catatan: 40 (empat puluh) tahun lamanya perjalanan Bangsa Israel di padang gurun setelah keluar dari Tanah Mesir menuju ke Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (1397 SM – 1357 SM), TUHAN sendirilah yang telah menyertai Bangsa Israel dengan berbagai: “Tanda Mujizat”. TUHAN memberi Bangsa Israel makanan daging burung puyuh pada waktu petang, dan ‘roti dari surga’ (Manna) pada waktu pagi (Keluaran, 16: 13 – 31). TUHAN memberi Bangsa Israel air untuk diminum, bahkan air dari dalam gunung batu sekalipun seperti di Masa dan di Meriba (Keluaran, 17: 4 – 6) atau air pahit yang menjadi manis seperti di Mara (Keluaran, 15: 25) atau air yang bersumber langsung dari mata air seperti di Elim (Keluaran, 15: 27). TUHAN melindungi dan memayungi Bangsa Israel dengan “tiang awan” pada waktu siang serta menuntun dan menerangi Bangsa Israel dengan “tiang api” pada waktu malam (Keluaran, 13: 21 – 22). TUHAN berperang untuk Bangsa Israel sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa Bangsa Amalek menyerang Bangsa Israel di Rafidim, dimana kemenangan bala tentara Bangsa Israel ditentukan oleh: “Tangan Musa”. Tetapi Musa berkata: “Tangan di atas panji-panji TUHAN! TUHAN berperang melawan Amalek turun-temurun” (Keluaran, 17: 16). Bahkan sebelumnya, ketika Firaun mencegah Bangsa Israel untuk keluar dari Tanah Mesir, TUHAN menurunkan 10 (sepuluh) tulah atas Firaun dan Tanah Mesir: “Air Menjadi Darah; Katak; Nyamuk; Lalat Pikat; Penyakit Sampar Pada Ternak; Barah; Hujan Es; Belalang; Gelap Gulita; dan Kematian Anak Sulung Orang Mesir” (Keluaran, 7 – 12). Ketika Bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dan berhadapan dengan laut merah, TUHAN sendirilah yang telah membelah laut tersebut sehingga Bangsa Israel terhindar dari kejaran Firaun dan bala tentara Mesir, dan dapat melalui laut itu serta tiba dengan selamat diseberang: “Laut Merah (Red Sea)”. Peristiwa terbelahnya Laut Merah / Laut Teberau / Laut Kolsom adalah suatu kejadian yang amat sangat “mencengangkan” Firaun dan bala tentara Mesir, sehingga mereka berkata: “Marilah kita lari meninggalkan orang Israel, sebab TUHAN-lah yang berperang untuk mereka (Bangsa Israel – Penulis) melawan Mesir” (Keluaran, 14: 25).
Pada tanggal 20 (dua puluh), bulan yang kedua, tahun yang kedua (1395 SM), Bangsa Israel berangkat dari padang gurun Sinai ke padang gurun Paran. Keberangkatan ini adalah keberangkatan yang untuk pertamakalinya dilakukan oleh Bangsa Israel menurut perintah TUHAN dengan perantaraan Musa. Perihal ini adalah sebagaimana yang tertulis dalam Alkitab, Kitab Bilangan, Pasal 10, ayat (11) – (13): “Pada tahun yang kedua, pada bulan yang kedua, pada tanggal dua puluh bulan itu, naiklah awan itu dari atas Kemah Suci, tempat hukum TUHAN (Tabut Perjanjian yang berisikan 10 (sepuluh) perintah TUHAN, yang tertulis pada 2 (dua) log batu – Penulis). Lalu berangkatlah orang Israel dari padang gurun Sinai menurut aturan keberangkatan mereka, kemudian diamlah awan itu di padang gurun Paran. Itulah pertamakali mereka berangkat menurut titah TUHAN dengan perantaraan Musa”. Selama perjalanan Bangsa Israel dari Tanah Mesir ke Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian yang 40 (empat puluh) tahun lamanya itu, TUHAN juga telah memberikan kepada Musa berbagai perintah, ketetapan, dan peraturan serta janji untuk Bangsa Israel seperti yang dapat dibaca dalam kitab: “Taurat / Torah / Tora (Pentateukh)”.
Selama 40 (empat puluh) tahun perjalanan Bangsa Israel dari Tanah Mesir ke Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian sebagaimana tersebut di atas, Musa sebagai perantara antara TUHAN dan Bangsa Israel telah bekerja dengan amat sangat keras, dan berusaha dengan susah payah untuk dapat melakukan perubahan atas pola hidup Bangsa Israel yang ‘lama’ (pola hidup menurut budaya Bangsa Mesir yang selama 430 (empat ratus tiga puluh) tahun itu) ke arah pola hidup Bangsa Israel yang ‘baru’ (pola hidup menurut hukum TUHAN yang benar, yaitu: “TUHAN Abraham, TUHAN Ishak, dan TUHAN Yakub”). Terlepas dari hukuman TUHAN atas Bangsa Israel dalam kasus ke – 12 (dua belas) pengintai sebagai sebab yang membawa akibat Bangsa Israel harus berjalan selama 40 (empat puluh) tahun dari Tanah Mesir ke Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian, jika ditelaah dari sudut pandang yang lain maka perjalanan Bangsa Israel dari Tanah Mesir ke Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian yang selama 40 (empat puluh) tahun itu, adalah salah satu cara TUHAN dalam mendidik dan mendisiplinkan serta mempersiapkan Bangsa Israel untuk memasuki: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Sebab di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian ini, Bangsa Israel akan berhadapan dengan bangsa-bangsa yang kuat, dan dengan jumlah yang banyak serta kepercayaan dan adat-istiadat yang amat sangat berbeda jauh dari Bangsa Israel itu sendiri.
Proses “pembentukkan” pola hidup Bangsa Isreal melalui “pelepasan” pola hidup Bangsa Mesir dan “penerimaan” pola hidup berdasarkan hukum TUHAN yang benar (TUHAN-nya, Abraham, Ishak, dan Yakub), yang tidak semudah membalikkan telapak tangan karena berbeda 180 (seratus delapan puluh) derajat sejauh Timur dari Barat itu, telah memunculkan apa yang dipandang oleh TUHAN sendiri, sebagai: “Pemberontakan”. TUHAN sendiri telah menghitung bahwa, peristiwa pemberontakan Bangsa Israel terhadap TUHAN telah terjadi, sebanyak: “10 (sepuluh) kali” (Bilangan, 14: 22). Salah satu pemberontakan itu (pemberontakan di Masa (arti: pencobaan), dan di Meriba (arti: bertengkar atau perpecahan)) telah menjadi sebab yang membawa akibat Musa dan Imam Harun (Kakak dari Musa) berbuat dosa kepada TUHAN, sehingga TUHAN menghukum Musa dan Harun dengan hukuman: “Musa dan Harun tidak boleh memasuki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Perihal ini adalah seperti FIRMAN TUHAN kepada Musa dan Harun: “Karena kamu (Musa & Harun – Penulis) tidak percaya kepada-KU dan tidak menghormati kekudusan-KU di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan KU-berikan kepada mereka (Bangsa Israel – Penulis)” (Bilangan, 20: 12).
Pada tanggal 1, bulan yang kesebelas, tahun yang ke-empat puluh (1357 SM), bertempat di seberang sungai Yordan (bagian sebelah timur), di padang gurun, di Araba-Yordan, di tentangan Suf, antara Paran dengan Tofel, Laban, Hazerot, dan Di-Zahab, di dataran tanah Moab. Sebelas hari perjalanan jauhnya dari Horeb sampai/dengan Kadesh Barnea, melalui jalan pegunungan Seir – sebelum Bangsa Israel untuk pertamakalinya melangkahkan kaki mereka memasuki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – TUHAN memperbaharui perjanjian-NYA dengan Bangsa Israel melalui perantaraan Musa. Setelah perjanjian antara Bangsa Israel dengan TUHAN diperbaharui oleh Musa, maka wafatlah Musa (1357 SM) dalam usia: “120 (seratus dua puluh ) tahun”. Musa lalu dimakamkan di suatu lembah di tanah Moab di tentangan Bet-Peor. Dengan demikian genablah FIRMAN TUHAN bahwa, Musa tidak akan pernah memasuki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian. Perihal ini adalah, seperti yang telah di-FIRMAN-kan oleh TUHAN kepada Musa: “Inilah negeri (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis) yang AKU janjikan dengan sumpah kepada Abraham, Ishak, dan Yakub; demikian: Kepada keturunanmulah (Bangsa Israel – Penulis) akan AKU berikan negeri itu (Tanah Perjanjian / Tanah Kanaan – Penulis). Aku mengizinkan engkau melihatnya dengan matamu sendiri, tetapi engkau tidak akan menyeberang ke sana” (Bilangan, 34: 4).
Sebelum kematian Musa, TUHAN telah menetapkan “abdi” Musa sebagai pengganti Musa untuk membawa Bangsa Israel memasuki: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian” (Bilangan, 27: 18 – 21). Abdi Musa itu, adalah: “Yosua anak Nun (Yehoshua bin Nun)”. Yosua bin Nun (1442 SM – 1332 SM) adalah salah seorang Bangsa Israel dari Suku Efraim yang lahir pada tahun 1442 SM, di Tanah Goshen, di tepi timur laut delta Sungai Nil, Mesir Hilir, Mesir Kuno, Mesir (Egypt) pada masa pemerintahan Firaun Hatshepsut (1473 SM – 1458 SM). Proses penggantian Musa oleh Yosua adalah seperti tertulis dalam Alkitab, Kitab Ulangan, Pasal 31, ayat (7) – (8): “Lalu Musa memanggil Yosua dan berkata kepadanya di depan seluruh orang Israel: Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkau akan masuk bersama-sama dengan bangsa ini (Israel – Penulis) ke negeri yang dijanjikan TUHAN (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis) dengan sumpah kepada nenek moyang mereka (Abraham, Ishak, dan Yakub – Penulis) untuk memberikannya kepada mereka (Bangsa Israel – Penulis), dan engkau akan memimpin mereka sampai mereka memilikinya. Sebab TUHAN, DIA sendiri akan berjalan di depanmu, DIA sendiri akan menyertai engkau, DIA tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau (Yosua bin Nun – Penulis); … ”.
Setelah kematian Musa sebagaimana tersebut di atas, pada tanggal 10 (sepuluh), bulan Abib, tahun yang ke-empat puluh (1357 SM), Yosua memimpin Bangsa Israel memasuki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian dari arah selatan Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian melalui sebelah timur Laut Mati, lalu menyeberangi sungai Yordan, kemudian menuju ke arah utara Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian. Jumlah Bangsa Israel yang dipimpin oleh Yosua pada saat itu, adalah sebanyak hampir kurang lebih 601.730 (enam ratus satu ribu tujuh ratus tiga puluh) orang yang lahir di Padang gurun pada masa perjalanan Bangsa Israel keluar dari Tanah Mesir menuju ke: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Jumlah tersebut tidak termasuk perempuan dan anak-anak, dan semua laki-laki Suku Lewi berumur satu bulan ke atas yang sebanyak 23.000 (dua puluh tiga ribu) orang serta orang-orang yang tidak sanggup berperang. Sebab yang dihitung pada waktu itu hanyalah semua laki-laki Bangsa Israel yang berumur 20 (dua puluh) tahun ke atas dan yang sanggup berperang, dan jumlah mereka semua, adalah: “601.730 (enam ratus satu ribu tujuh ratus tiga puluh)” (Bilangan, 26: 51).
Pada saat Yosua memimpin Bangsa Israel memasuki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian, Yosua telah berusia: “85 (delapan puluh lima) tahun”. Akan tetapi, sekalipun telah berusia lanjut, tetapi Yosua berhasil memasuki dan merebut serta menduduki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian hanya dalam jangka waktu: “7 (tujuh) tahun (1397 SM – 1390 SM)” (Yosua, 11: 18). Dimana dalam jangka waktu tersebut, Yosua berhasil memasuki dan merebut serta menduduki banyak sekali daerah di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian dan mengalahkan: “31 (tiga puluh satu) orang raja kota di kota-kota Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian” (Yosua, 12: 1 – 24). Kota Yerikho adalah salah satu dari ke – 31 (tiga puluh satu) kota tersebut, yang direbut oleh Bangsa Israel tanpa berperang tetapi hanya dengan: “Sorak-sorai dan bunyi sangkakala” (Yosua, 6: 20). Bahkan TUHAN sendirilah yang telah menolong Bangsa Israel mengalahkan Bangsa Amori untuk merebut wilayah bagian selatan dari Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian dengan ber-FIRMAN melalui Yosua yang berkata: “Matahari, berhentilah di atas Gibeon dan engkau, bulan, di atas lembah Ayalon!” (Yosua, 10: 12 – 14). Semua peristiwa ini, mungkin terjadi jika dan hanya jika seperti apa yang tertulis dalam Alkitab, kitab Yosua, Pasal 10, ayat (14): “sebab yang berperang untuk orang Israel ialah TUHAN”.
Namun demikian, sekalipun Yosua telah berhasil memasuki dan merebut serta menduduki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian maupun sudah sukses mengalahkan sejumlah besar raja-raja di kota-kota Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian, tetapi belum semua daerah di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian yang dimasuki dan direbut serta diduduki oleh Bangsa Israel sesuai dengan batas-batas Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian yang telah di-FIRMAN-kan oleh TUHAN kepada Musa (Bilangan, 34: 1 – 12). Daerah-daerah di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian yang belum dimasuki dan direbut serta diduduki oleh Bangsa Israel ini, masih dikuasai oleh bangsa-bangsa: “Kanaan, Het, Amori, Feris, Hewi, dan Yebus” (Hakim-hakim, 3: 5). Daerah-daerah di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian yang belum dimasuki dan direbut serta diduduki oleh Bangsa Israel adalah seperti yang tersebut dibawah ini: (Yosua, 13: 1 – 7)
- Segenap wilayah orang Filistin dan seluruh negeri orang Gesur, mulai dari sungai Sikhor di sebelah timur Mesir sampai daerah Ekron ke arah utara – semuanya ini terhitung tanah orang Kanaan -; ada 5 (lima) raja kota orang Filistin, yakni di Gaza, di Asdod, di Askelon, di Gat dan di Ekron -; dan Orang Awi di sebelah selatan;
- Seluruh negeri orang Kanaan dan Meara, kepunyaan orang Sidon, sampai ke Afek, sampai ke daerah orang Amori;
- Selanjutnya negeri orang Gebal dan seluruh gunung Libanon di sebelah matahari terbit, mulai dari Baal-Gad di kaki gunung Hermon sampai ke jalan yang menuju ke Hamat;
- Semua orang yang diam di pegunungan, mulai dari gunung Libanon sampai ke Misrefot-Maim; semua orang Sidon.
Daerah-daerah di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian yang telah dimasuki dan direbut serta diduduki oleh Bangsa Israel kemudian dibagi-bagikan kepada ke – 12 (dua belas) suku Israel, yaitu: “Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Dan, Naftali, Gad, Asyer, Isakhar, Zebulon, Yusuf (Manasye & Efraim), dan Benyamin” (Yosua, 14 – 21). Pembagian itu dilakukan dengan cara “mengundi” melalui orang-orang yang telah ditunjuk oleh TUHAN sendiri sebagaimana FIRMAN TUHAN kepada Musa (Bilangan, 34: 13 – 29). Dimana Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian yang terletak disebelah barat sungai yordan dibagikan kepada 9 ½ (sembilan setengah) suku Israel sebagai milik pusaka mereka masing-masing, yaitu: “Simeon, Yehuda, Dan, Naftali, Asyer, Isakhar, Zebulon, Benyamin, Efraim, dan ½ (setengah) Manasye” (Yosua, 14 – 21). Sedangkan Tanah diluar batas-batas Tanah Kanaan / Tanah Perjanian yang terletak disebelah timur sungai yordan (Bilangan, 34: 1 – 12) dibagikan kepada 2 ½ (dua setengah) suku Israel sebagai milik pusaka mereka masing-masing, yaitu: “Ruben, Gad, dan ½ (setengah) Manasye” (Yosua, 13: 8 – 33).
Sementara itu, ke – 12 (dua belas) suku Israel tersebut masing-masing harus dan/atau wajib untuk memberikan sejumlah kota dan tanah penggembalaan mereka kepada suku Lewi dengan total jumlah kota dan tanah penggembalaan yang harus diterima oleh suku Lewi dari 11 (sebelas) suku Israel lainnya itu adalah, sebanyak: “48 (empat puluh delapan) kota dan tanah penggembalaan” (Bilangan, 35: 1 – 8). Suku Lewi tidak memperoleh milik pusaka di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian karena milik pusaka suku Lewi itu, adalah: “TUHAN” (Bilangan, 18: 20). 6 (enam) kota dari 48 (empat puluh delapan) kota tersebut, adalah kota-kota yang disebut oleh Bangsa Israel itu sendiri, sebagai: “Kota-kota Perlindungan” (Bilangan, 35: 9 – 34). Ke-enam (6) kota perlindungan itu, adalah: (Yosua, 21: 7 – 9)
- 3 (tiga) kota perlindungan yang terletak di sebelah barat sungai Yordan, di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian:
- Kota Kadesh, di Galilea di pegunungan Naftali;
- Kota Sikhem, di pegunungan Efraim;
- Kota Kiryat-Arba, yaitu Hebron, di pegunungan Yehuda.
- 3 (tiga) kota perlindungan yang terletak di sebelah timur sungai Yordan, di luar batas-batas Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian:
- Kota Golan, di Basan dari suku Manasye;
- Kata Ramot, di Gilead dari suku Gad;
- Kota Bezer, di padang Gurun, di dataran tinggi, dari suku Ruben.
Yosua bin Nun memimpin Bangsa Israel di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian selama kurang lebih: “25 (dua puluh lima) tahun”. Selama kepemimpinan Yosua atas Bangsa Israel di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian, TUHAN mengaruniakan kepada Bangsa Israel “keamanan” ke segala penjuru, tepat seperti yang dijanjikan TUHAN dengan bersumpah kepada nenek moyang Bangsa Israel, yaitu: “Abraham, Ishak, dan Yakub” (Yosua, 21: 43 – 45). Di kota Sikhem, di pegunugan Efraim, Yosua mengikat perjanjian dengan Bangsa Israel dan membuat ketetapan dan peraturan bagi Bangsa Israel. Di kota Sikhem ini juga, dikuburkan tulang-tulang Yusuf bin Yakub yang dibawa oleh Bangsa Israel dari Tanah Mesir guna menggenapi sumpah Bangsa Israel kepada Yusuf, yaitu: “Kamu (Bangsa Israel – Penulis) harus membawa tulang-tulangku dari sini (Tanah Mesir – Penulis)” (Kejadian, 50: 25). Tanah dimana tulang-tulang Yusuf dikuburkan adalah tanah milik yang dibeli oleh Yakub bin Ishak dengan harga seratus kesita dari anak-anak Hemor, bapa Sikhem, dan yang ditentukan bagi bani Yusuf untuk menjadi milik pusaka mereka (Yosua, 24: 32). Pada tahun 1332 SM, Yosua wafat dalam usia: “110 (seratus sepuluh) tahun”. Yosua lalu dimakamkan di daerah milik pusakanya, di Timnat-Serah, di pegunungan Efraim, di sebelah utara gunung Gaas.
Setelah kematian Yosua, Bangsa Israel dipimpin oleh apa yang Bangsa Israel itu sendiri namakan, sebagai: “Hakim-hakim”. Dimana Bangsa Israel pernah dipimpin oleh 13 (tiga belas) orang hakim yang namanya masing-masing dan secara berturut-turut, adalah: “Otniel bin Kenas, Ehud bin Gera, Samgar bin Anat, Debora binti Uz & Barak bin Abinoam, Gideon bin Yoas & Abimelekh bin Gideon, Tola bin Pua bin Dodo, Yair bin Segub, Yefta bin Gilead, Ebzan, Elon bin Zebulon, Abdon bin Hilel, Simson bin Manoah, dan Samuel bin Elkana”. Kepemimpinan Hakim-hakim tersebut berlangsung selama hampir kurang lebih: “282 (dua ratus delapan puluh dua) tahun”. Kepemimpinan para hakim itu, dimulai setelah kematian Yosua pada tahun 1332 SM dan berakhir pada tahun 1050 SM. Suatu ‘tahun’ (1050 SM) dimana hakim Samuel bin Elkana berperan sebagai seorang “Nabi” ketika mengurapi Raja Kerajaan Israel yang pertama dari suku Benyamin untuk Bangsa Israel, yaitu: “Saul bin Kish”.
Catatan: 70 (tujuh puluh) jiwa adalah banyaknya orang dari Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian yang tiba di Tanah Mesir untuk pertama kalinya pada tahun 1827 SM. Jumlah tersebut, ialah: “Keluarga besar ‘Yakub’ (ISRAEL)”. Perihal ini adalah seperti yang ditulis oleh Musa: “lalu tibalah mereka di Mesir, yakni Yakub (Israel – Penulis) dan seluruh keturunannya bersama-sama dengan dia (Yakub – Penulis). Anak-anak dan cucu-cucunya laki-laki dan perempuan, seluruh keturunannya dibawanyalah ke Mesir … Jadi keluarga Yakub yang tiba di Mesir seluruhnya berjumlah tujuh puluh (70 – Penulis) jiwa ” (Kejadian, 46: 1 – 27). Pada tahun 1397 SM – 430 (empat ratus tiga puluh) tahun terhitung sejak tahun 1827 SM – banyaknya jumlah orang Israel di Tanah Mesir telah mencapai angka: “603.550 (enam ratus tiga ribu lima ratus lima puluh)”. Jumlah ini – tidak termasuk Yosua bin Nun dan Kaleb bin Yefune – kemudian “dibinasakan” di padang gurun oleh TUHAN sendiri dalam 40 (empat puluh) tahun (1397 SM – 1357 SM) perjalanan Bangsa Israel dari Tanah Mesir ke: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Banyaknya orang Israel yang memasuki dan merebut serta menduduki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (1357 SM – 1332 SM) adalah: “601.730 (enam ratus satu ribu tujuh ratus tiga puluh)”. Dengan demikian, genablah FIRMAN TUHAN, kepada: Abraham – 600 (enam ratus) tahun – sebelumnya: “Ketahuilah dengan sesungguhnya bahwa keturunanmu akan menjadi orang asing dalam suatu negeri, yang bukan kepunyaan mereka (Mesir – Penulis) … 400 (empat ratus) tahun lamanya … Tetapi keturunanmu yang ke-empat akan kembali ke sini (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis)” (Kejadian, 15: 13 – 16); Ishak – 500 (lima ratus) tahun – sebelumnya: “Tinggallah di negeri ini (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis) sebagai orang asing, maka AKU akan menyertai engkau dan memberkati engkau, sebab kepadamulah dan kepada keturunanmu akan KU-berikan seluruh negeri ini (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis), dan AKU akan menepati sumpah yang telah KU-ikrarkan kepada Abraham, ayahmu” (Kejadian, 26: 3); Yakub – 400 (empat ratus) tahun – sebelumnya: “Akulah TUHAN yang Mahakuasa. Beranakcuculah dan bertambah banyak; satu bangsa (Israel – Penulis), bahkan sekumpulan bangsa-bangsa, akan terjadi daripadamu dan raja-raja akan berasal dari padamu. Dan negeri ini (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis) yang telah AKU berikan kepada Abraham dan kepada Ishak, akan AKU berikan kepadamu (Yakub – Penulis) dan juga kepada keturunanmu (Bangsa Israel – Penulis)” (Kejadian, 35: 11 – 12).
Pada tahun 930 SM, Kerajaan Israel terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: “Kerajaan Israel Utara (Samaria: 931 SM – 723 SM), dan Kerajaan Israel Selatan (Yehuda: 1000 SM – 586 SM)”. Selama hidupnya, Kerajaan Israel (Samaria & Yehuda) telah diperintah oleh 56 (lima puluh enam) orang Raja, dari Saul sebagai Raja yang pertama (1050 SM) sampai/dengan Herodes Philippus II sebagai Raja yang terakhir (39 Masehi (M)). Dalam rentang waktu tersebut, Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian telah “berpindahtangan” dari satu penguasa ke penguasa lainnya sebanyak kurang lebih 14 (empat belas) kali. Para penguasa yang pernah menduduki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian ini adalah, para penguasa dari: “Kerajaan Babilonia (586 SM – 539 SM); Kerajaan Persia (539 SM – 332 SM); Kerajaan Macedonia (332 SM – 305 SM); Dinasti Ptolomeus (305 SM – 198 SM); Dinasti Seleukus (198 SM – 141 SM); Kerajaan Romawi (141 SM – 395 M); Kerajaan Bizantium (395 M – 638 M); Kekhalifahan Arab (638 M – 1099 M); Negara-negara Tentara Salib (1099 M – 1187 M); Daulah Ayyubiyah dari Mesir dan Suriah (1187 M – 1260 M); Kesultanan Mameluk dari Mesir (1260 M – 1516 M); Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan/atau Kekaisaran Turki Ottoman (1516 M – 1917 M); dan Kerajaan Inggris (1920 M – 1948 M) dalam bentuk: “Wilayah Mandad atas Palestina”.
Catatan: Setelah keluar dari Tanah Mesir dan dalam perjalanan ke Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian melewati padang gurun yang selama 40 (empat puluh) tahun itu, TUHAN sendiri telah menghukum Bangsa Israel sebagai akibat dari sebab dosa mereka terhadap TUHAN. Terdapat berbagai macam dosa yang dilakukan oleh Bangsa Israel kepada TUHAN, dan terdapat berbagai macam hukuman yang ditimpakan oleh TUHAN kepada Bangsa Israel. Salah satu hukuman itu, adalah: “Matinya 603.550 (enam ratus tiga ribu lima ratus lima puluh) orang Bangsa Israel di padang gurun” (Bilangan, 14: 1 – 38). Setelah memasuki dan merebut serta menduduki Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian, Bangsa Israel kembali berbuat dosa kepada TUHAN – terutama dosa penyembahan berhala (Baal & Asytoret) – dan TUHAN menghukum Bangsa Israel dengan membiarkan mereka dikalahkan oleh bangsa-bangsa asli di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian yang masih ada dan yang masih hidup disekeliling mereka. Perihal ini adalah seperti FIRMAN TUHAN kepada Bangsa Israel: “Tetapi jika kamu tidak menghalau penduduk negeri itu (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis) dari depanmu, maka orang-orang yang kamu tinggalkan hidup dari mereka akan menjadi seperti selumbar dimatamu dan seperti duri yang menusuk lambungmu, dan mereka akan menyesatkan kamu di negeri yang kamu diami itu (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis). Maka akan AKU lakukan kepadamu seperti yang AKU rancangkan melakukan kepada mereka” (Bilangan, 33: 55 – 56). Setelah Bangsa Israel secara berangsur-angsur dapat menduduki seluruh Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian dengan mengalahkan sisa-sisa bangsa asli Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian, mereka kembali berbuat dosa kepada TUHAN dengan menyembah berhala (Baal & Asyera). TUHAN lalu menghukum Bangsa Israel dengan menyerahkan mereka ke dalam tangan bangsa-bangsa asing yang datang dari jauh, dari ujung bumi, dari tanah utara, dan yang tidak dikenal oleh mereka atau oleh nenek moyang mereka, dan yang bahasanya juga tidak dikenal oleh mereka, dan yang ucapannya tidak dimengerti oleh mereka pula (Asyur, Babel, Persia, Macedonia, Romawi, dan lain-lain). Perihal ini, adalah sebagaimana FIRMAN TUHAN: “Sesungguhnya, AKU akan mendatangkan suatu bangsa yang dari jauh … dari ujung bumi … dari tanah utara … suatu bangsa yang tidak engkau kenal bahasanya, dan yang tidak engkau mengerti apa yang dikatakannya … AKU akan menyerakkan mereka (Bangsa Israel – Penulis) ke antara bangsa-bangsa yang tidak dikenal oleh mereka atau oleh nenek moyang mereka” (Yeremia, 5; 6; 9; Yesaya, 5).
Mandat Inggris atas Palestina adalah, wewenang yang diberikan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan/atau League of Nations (LN) kepada Kerajaan Inggris atas wilayah Palestina yang mulai berlaku secara efektif pada hari Sabtu, tanggal 29 Desember 1923. Dimana batas-batas wilayah mandat Inggris atas Palestina adalah, kurang lebih mengikuti batas-batas wilayah Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian seperti yang tertulis dalam Alkitab (Bilangan, 34: 1 – 29) sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, Wilayah mandat Inggris atas Palestina itu sendiri adalah, wilayah: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Sedangkan Palestina dalam konteks ini, hanya mengandung arti sebagai ‘nama’ (nomenklateur) dari suatu wilayah di Timur-Tengah, dan tidak mengandung arti sebagai suatu ‘bangsa’ (Nation) yang ada di Timur-Tengah. Palestina pada kenyataannya adalah suatu wilayah yang di dalamnya terdapat berbagai bangsa, tetapi hanya terdapat 2 (dua) bangsa saja yang secara politik memiliki kekuatan besar dalam persaingan kekuasaan di wilayah mandat Inggris atas Palestina, yaitu: “Bangsa Arab dan Bangsa Israel”. Baik Bangsa Arab maupun Bangsa Israel, sama-sama mengklaim wilayah mandat Inggris atas Palestina sebagai milik kepunyaan mereka masing-masing atas dasar: “Sejarah dan Agama”.
Catatan: Nama Palestina itu sendiri berasal dari kata ‘Filistia’ (Philistia) yang diciptakan oleh para penulis Bangsa Yunani untuk menyebut Negeri-negeri: “Orang Filistin (Philistin)”. Orang Filistin datang dari Pulau-pulau di laut Aegea, kemungkinan besar datang dari Pulau Kreta di Yunani. Orang Filistin kemudian tinggal menetap dan bercampur baur dengan penduduk asli yang dikenal dengan sebutan: “Orang Kanaan”. Pada abad ke – 12 SM, orang Filistin telah menempati sebidang kecil tanah di pantai selatan di wilayah: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Saat ini, wilayah itu adalah antara: “Tel Aviv – Yafo dan Gaza”. Akan tetapi, pada tahun 604 SM, penduduk asli Filistin menghilang dari catatan sejarah dunia segera setelah rakyat dalam wilayah Filistin habis dibinasakan oleh Raja Nebukadnezar II (605 SM – 562 SM) dari Kerajaan Neo-Babilonia (626 SM – 539 SM). Perihal ini adalah sebagaimana yang tertulis dalam Alkitab, Kitab Nabi Amos (814 SM – 740 SM), Pasal 1, ayat (6) – (8): “Beginilah FIRMAN TUHAN: Karena tiga perbuatan jahat Gaza, bahkan empat, AKU tidak akan menarik kembali keputusan-KU: … Aku akan melepas api ke dalam tembok Gaza, sehingga purinya dimakan habis; …, sehingga binasalah sisa-sisa orang Filistin, FIRMAN TUHAN”. Sejak saat itu pula, nama Filistin (Philistin) / Filistia (Philistia) tidak pernah digunakan lagi dalam catatan sejarah dunia. Meskipun demikian, Kaisar Romawi, Publius Aelius Hadrianus (76 – 138), kemudian menghidupkan kembali penggunaan nama Filistin (Philistin) / Filistia (Philistia) dengan sebutan: “Palestina”. Kaisar Hadrianus mengganti nama ‘Yudea’ (Israel) dengan nama Palestina pada tahun 135 – 8 (delapan) abad dan/atau 800 (delapan ratus) tahun sejak nama Filistin (Philistin) / Filistia (Philistia) sudah tidak pernah disebutkan lagi dalam catatan sejarah dunia. Pada tahun 1976, E. Mary Smallwood, dalam tulisan dibawah judul, The Jews Under Roman Rule, menulis, bahwa: “Perubahan itu (Yudea / Israel menjadi Palestina – Penulis) sebagai bagian dari upaya Romawi untuk meminimalisir identitas Yahudi dari wilayah tersebut (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian – Penulis)”. Penggantian nama Yudea / Israel dengan nama Palestina adalah suatu bentuk pelecehan yang sengaja dilakukan oleh Kaisar Hadrianus terhadap Bangsa Israel. Nama Palestina itu sendiri diambil dari nama suatu bangsa yang secara kesejarahan adalah musuh bebuyutan Bangsa Israel, yaitu: “Philistin (Filistin) / Philistia (Filistia)”. Tujuan Hadrianus mengganti nama Yudea / Israel dengan nama Palestina adalah untuk menghapus memori tentang Bangsa Israel supaya hilang lenyap dari ingatan umat manusia di dunia. Nama Palestina ini – dan bukannya nama Israel – yang digunakan oleh LBB/LN dalam mandatnya kepada Inggris atas wilayah: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”.
Sebelum wilayah mandat Inggris atas Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) berakhir pada hari Sabtu, tanggal 15 Mei 1948, terjadi Perang dunia kedua yang berlangsung dari tahun 1939 sampai/dengan tahun 1945. Dalam peristiwa ini, sebanyak 6.000.000 (enam juta) orang Bangsa Yahudi telah tewas terbunuh (Peristiwa ini disebut juga dengan istilah: “Holocaust”). Dimana jumlah tersebut, merupakan 1/10 (satu per sepuluh) dari total korban jiwa manusia di seluruh dunia selama berlangsungnya perang dunia kedua yaitu, sebanyak: “60.000.000 (enam puluh juta) orang”. Peristiwa ini pula yang telah menjadi salah satu dari beberapa sebab lainnya, yang membawa akibat Bangsa Israel melalui David Ben Gurion (1886 – 1973) memproklamasikan berdirinya Negara Israel yang berdaulat dan merdeka pada hari Jum’at, tanggal 14 Mei 1948, di wilayah mandat Inggris atas Palestina, yaitu: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Akan tetapi, sejak saat itu pula (hari Jum’at, tanggal 14 Mei 1948) telah terjadi peperangan antara Bangsa Arab melawan Bangsa Israel untuk memperebutkan kuasa atas kendali politik terhadap: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Beberapa diantara perang Arab-Israel itu, adalah: “Perang Kemerdekaan Israel (1948); Perang 6 (Enam) Hari dan/atau Perang (bulan) Juni (1967); dan Perang Yom Kipur (1973)”.
Catatan: Pendirian Negara Israel pada hari Jum’at, tanggal 14 Mei 1948, adalah pembentukan kembali Kerajaan Israel yang terakhir kali didirikan (132 – 135) oleh: “Simon bar Kokhba”. Pada tahun 135, Kerajaan ini di hancurkan oleh Kaisar Romawi: “Publius Aelius Hadrianus (76 – 138)”. Hadrianus membunuh sebanyak 580.000 (lima ratus delapan puluh ribu) orang Bangsa Israel; meluluhlantakkan 50 (lima puluh) kota berbenteng; dan membumihanguskan 985 (sembilan ratus delapan puluh lima) negeri. Bangsa Israel bahkan dilarang untuk memasuki kota Yerusalem, kecuali Bangsa Israel yang beragama Kristen. Hadrianus lalu mengganti nama Yerusalem dengan nama: “Aelia Capitolina”, dan mengganti nama ‘Yudea, Galilea, dan Samaria’ (Israel) dengan nama: “Syria Palestina” (dari titik inilah (136) nama Palestina digunakan hingga saat ini (2024) dan nanti di masa depan (!?)). Peristiwa ini merupakan salah satu sebab utama yang membawa akibat mayoritas Bangsa Israel tersebar ke seluruh penjuru dunia, sementara minoritas Bangsa Israel tetap tinggal di Galilea, Golan, Lembah Bet-Shean dan tepi timur, barat, dan selatan Yudea di: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Bangsa Israel yang beragama Kristen menarik dukungan mereka terhadap pendirian Kerajaan Israel, ketika Rabbi Akiva mengurapi Simon bar Kokhba, menjadi: “Mesias”. Perihal ini dapat dikatakan demikian, karena Bangsa Israel yang beragama Kristen telah memiliki seorang Mesias, yaitu: “YESUS”. YESUS itu sendiri adalah seorang Bangsa Israel yang oleh mayoritas Bangsa Israel lainnya justeru ditolak sebagai Mesias, karena YESUS dengan secara terus terang menyatakan, bahwa: “Kerajaan-NYA bukan di bumi, tetapi di Surga”. Dan lebih daripada itu, karena YESUS menyatakan bahwa diri-NYA, adalah: “TUHAN”. Karena pernyataan YESUS yang terakhir inilah, maka mayoritas Bangsa Israel itu lalu membunuh YESUS (33). Setelah kematian YESUS, para pengikut YESUS justeru bertambah banyak, bahkan sampai ke seluruh penjuru dunia. Salah seorang pengikut YESUS itu, adalah: “Paulus”. Paulus ini sendiri, merupakan murid paling pandai dari Ahli Taurat yang sangat dihormati oleh Bangsa Israel, dan yang adalah seorang Yahudi dari golongan Farisi dalam Mahkamah Agama, bernama: “Gamaliel”. Sedangkan Simon bar Kokhbah justeru di-upayakan untuk dilupakan setelah kematiannya, bahkan para sejarawan dan para Rabbi Bangsa Israel menjuluki Simon bar Kokhbah, sebagai: “Simon bar Koziba (arti: anak si pendusta / anak si iblis (setan))”. Dalam hubungan ini, genablah kata-kata guru dari (Rasul) Paulus yakni, Gamaliel: “ … berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari TUHAN, kamu tidak dapat melenyapkan … ” (Kisah, 5: 34 – 39).
Peristiwa perang antara Bangsa Arab melawan Bangsa Israel ini, masih terus berlangsung hingga saat ini, saat dimana tulisan ini ditulis dan diterbitkan, dan mungkin juga akan terus berlangsung disaat-saat yang akan datang (!?) sampai/dengan salah satu dari kedua belah pihak yang berperang – apakah itu Bangsa Arab ataukah itu Bangsa Israel – memenangkan peperangan atas: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina)”. Di tengah peperangan yang sedang berlangsung antara Bangsa Israel melawan Bangsa Arab, pada hari Selasa, tanggal 15 November 1988, seorang Bangsa Arab bernama Yasser Arafat (1929 – 2004) memproklamasikan berdirinya suatu “Negara Baru” yang berdaulat dan merdeka di wilayah bekas mandat Inggris atas Palestina, tetapi yang wilayah dari “negara baru” ini hanya meliputi wilayah ‘Jalur Gaza’ (Gaza Strip) dan wilayah ‘Tepi Barat’ (West Bank) dari keseluruhan wilayah: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Negara baru itu, adalah: “PALESTINA”. Pada hari Senin, tanggal 17 Desember 2012, nama Palestina secara resmi diterima dan digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan/atau the United Nations (UN). Bahkan PBB/UN tetap menggunakan sebutan Palestina untuk merujuk pada wilayah geografis yang oleh Bangsa Israel disebut, sebagai: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”.
Catatan: Masuk dan keluarnya Bangsa Israel dari dan ke Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian adalah tergantung pada kesetiaan mereka terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh dan di-antara mereka dengan TUHAN. Dimana jika setiapkali mereka ingkar terhadap perjanjian tersebut, maka TUHAN akan membuang mereka kedalam penindasan ‘Bangsa-bangsa asing’ (Asyur, Babel, Persia, Macedonia, Romawi, dan lain-lain), tetapi jika setiapkali mereka taat kepada perjanjian dimaksud, maka TUHAN akan menuntun mereka kembali ke: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. TUHAN menghukum Bangsa Israel, tetapi TUHAN juga menyelamatkan mereka, bahkan TUHAN menghukum ‘Bangsa-bangsa asing’ (Asyur, Babel, Persia, Macedonia, Romawi, dan lain-lain) yang digunakan oleh TUHAN sendiri sebagai alat untuk menghukum Bangsa Israel. Salah satu janji penyelamatan TUHAN kepada Bangsa Israel adalah, datangnya seorang: “PENYELAMAT (MESIAS)”. Secara implisit, janji TUHAN tentang MESIAS telah di-FIRMAN-kan oleh TUHAN sendiri kepada Abraham, Ishak, Yakub, dan Musa, dan juga kepada Nabi-nabi TUHAN yang datang kemudian. Nabi-nabi TUHAN itu – Yesaya, Yeremia, Yeheszkiel, Daniel, Hosea, Amos, Mikha, Zakharia, Samuel – menubuatkan tentang seorang MESIAS, tetapi juga: “tidak secara eksplisit”. Dalam sejarah perjalanan Bangsa Israel, terdapat beberapa orang yang telah mengaku dirinya dan/atau yang telah diurapi, sebagai: “MESIAS”. YESUS dari Nazaret adalah salah seorang Bangsa Israel yang dinyatakan oleh sebagian kecil Bangsa Israel, sebagai: “MESIAS”. Akan tetapi, sebagian besar Bangsa Israel justeru menolak YESUS sebagai: “MESIAS”. Mayoritas Bangsa Israel ini, lalu membunuh YESUS pada tahun 33 M, dengan cara dipaku pada balok kayu dan kemudian digantung pada tiang yang berbentuk: “SALIB”. Mayoritas Bangsa Israel tersebut, bahkan berseru: “Biarlah darah-NYA ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!”(Matius, 27: 25). Sejarah kemudian mencatat bahwa, 1.100.000 (Satu juta seratus ribu) orang Bangsa Israel tewas dalam Perang Israel-Romawi pertama (66 – 73). Dalam peristiwa perang Israel-Romawi kedua (132 – 135), Bangsa Israel tercerai berai keseluruh bagian dunia sebagai akibat dari sebab terjadinya pembantaian Bangsa Israel oleh Bangsa Romawi yang oleh para sejarawan disebut, sebagai: “Genocide”. Akan tetapi, kemudian muncul di dunia, gerakan: “anti-Semit / anti-Yahudi / anti-Israel”. Gerakan ini, mencapai puncaknya pada saat terjadinya Perang Dunia Kedua (1939 – 1945), dimana sebanyak 6.000.000 (enam juta) orang Bangsa Israel tewas dibunuh (Peristiwa ini, disebut juga dengan istilah: “Holocaust”).
Namun demikian, meskipun Negara Palestina hanya mengakui ‘Jalur Gaza’ (Gaza Strip) dan wilayah ‘Tepi Barat’ (West Bank) sebagai bagian dari wilayah negara Palestina, tetapi sebagaimana Bangsa Israel mengklaim ‘Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian’ (yang oleh Bangsa Arab disebut sebagai: “Tanah Palestina”) adalah milik Bangsa Israel, maka demikian pula dengan Bangsa Arab yang sudah pasti juga akan mengklaim ‘Tanah Palestina’ (yang oleh Bangsa Israel disebut sebagai: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”) adalah milik Bangsa Arab. Perebutan Tanah Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) antara Bangsa Israel dengan Bangsa Arab tersebut telah diusahakan untuk diselesaikan masalahnya oleh PBB/UN melalui pembentukan suatu Komite khusus PBB untuk Palestina (the UN Special Committe on Palestine (UNSCOP)) pada hari Kamis, tanggal 15 Mei 1947, dimana UNSCOP berhasil menyelesaikan pekerjaannya pada hari Rabu, tanggal 3 September 1947. Hasil kerja UNSCOP ini kemudian dipelajari oleh suatu Panitia Ad-Hocmengenai masalah Palestina yang dibentuk oleh UNGA pada hari Selasa, tanggal 23 September 1947. Usulan Panitia Ad-Hoc itu diterima oleh UNGA pada hari Sabtu, tanggal 29 November 1947, dalam bentuk Resolusi, nomor: A/RES/181 (II), tentang “Pembentukan Negara Arab dan Negara Yahudi”.
Pada hari Minggu, tanggal 30 Nopember 1947, Bangsa Israel menerima dengan suara bulat Resolusi, nomor: A/RES/181 (II) sebagaimana tersebut di atas, tetapi Bangsa Arab sebaliknya dengan suara bulat menolak Resolusi, nomor: A/RES/181 (II) sebagaimana tersebut di atas. Konflik antara Bangsa Arab melawan Bangsa Israel di wilayah mandat Inggris atas Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) pun terjadi. Peristiwa konflik ini terus terjadi hingga Bangsa Israel memproklamasikan berdirinya suatu Negara Israel yang berdaulat dan merdeka pada hari Jum’at, tanggal 14 Mei 1948, sehari sebelum wilayah mandat Inggris atas Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) diserahkan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Inggris kepada PBB/UN pada hari Sabtu, tanggal 15 Mei 1948. Akan tetapi, pada hari Sabtu, tanggal 15 Mei 1948 ini pula, terjadi perang antara Negara-negara Arab melawan Negara Israel untuk pertamakalinya di bekas wilayah mandat Inggris atas Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) yang berlangsung dari hari Sabtu, tanggal 15 Mei 1948 hingga hari Rabu, tanggal 20 Juli 1949. Bangsa Israel menyebut perang ini, sebagai: “Perang Kemerdekaan / Perang Pembebasan”. Sedangkan Bangsa Arab menyebut perang ini, sebagai: “Bencana / Nakba (the Catastrophe)”. Sementara secara umum, perang ini disebut, sebagai: “Perang (bulan) Mei dan/atau Perang (tahun) 1948 dan/atau Perang Arab-Israel Pertama.
Dalam Perang sebagaimana tersebut di atas, Negara Israel yang hanya berkekuatan 29.677 (dua puluh sembilan ribu enam ratus tujuh puluh tujuh) orang tentara, diserang oleh 4 (empat) Negara Arab dengan kekuatan 63.500 (enam puluh tiga ribu lima ratus) orang tentara. Ke-empat Negara Arab itu, adalah: “Mesir, Irak, Suriah, dan Yordania”. Sekalipun demikian, perang tersebut berakhir dengan dikuasainya 70% (tujuh puluh persen) Tanah Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) oleh Israel, sementara 30% (tiga puluh persen) Tanah Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) dikuasai oleh Negara-negara Arab, yaitu: “Jerusalem Timur (east Jerusalem) dan Tepi Barat (West Bank) dikuasai oleh Yordania, sedangkan ‘Jalur Gaza’ (Gaza Strip) dikuasai oleh Mesir”. Pada hari Senin, tanggal 5 Juni 1967 sampai/dengan hari Sabtu, tanggal 10 Juni 1967, kembali terjadi peperangan antara Negara-negara Arab melawan Negara Israel, dimana Negara Israel yang hanya berkekuatan 264.000 (dua ratus enam puluh empat ribu) orang tentara, diserang oleh 5 (lima) Negara Arab dengan kekuatan 465.000 (empat ratus enam puluh lima ribu) orang tentara. Ke-empat Negara Arab itu, adalah: “Mesir, Irak, Suriah, Yordania, dan Lebanon”. Perang ini, terkenal dengan sebutan: “Perang 6 (enam) hari dan/atau Perang (bulan) Juni dan/atau Perang tahun 1967 dan/atau Perang Arab-Israel ketiga”.
Sekalipun demikian, perang sebagaimana tersebut di atas, berakhir dengan dikuasainya hampir 100% (seratus persen) Tanah Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) oleh Israel, termasuk di dalamnya: “Tepi Barat (West Bank) dan Jerusalem Timur (east Jerusalem) dari Yordania, Jalur Gaza (Gaza Strip) dan Semenanjung Sinai (Sinai Peninsula) dari Mesir, dan Dataran Tinggi Golan (Golan Heights) dari Suriah”. Akan tetapi, 6 (enam) bulan kemudian, tepatnya pada hari Rabu, tanggal 22 Nopember 1967 – berdasarkan Bab VI Piagam PBB mengenai Penyelesaian Pertikaian Secara Damai – Dewan Keamanan PBB (UN Security Council (UNSC)) merespons “hasil akhir” dari peristiwa perang Arab-Israel yang terjadi untuk ketiga kalinya itu, dengan suara bulat menerima Resolusi, nomor: 242 (S/RES/242) tentang “Tidak dapat diterimanya perolehan wilayah melalui perang”. Dimana konsekwensi logis dari Resolusi 242 tersebut, adalah: “Israel harus menarik mundur pasukan bersenjatanya dari wilayah yang diduduki dalam konflik Arab-Israel yang ketiga ini”. Berdasarkan Resolusi 242 dimaksud, Israel lalu menarik mundur pasukan bersenjatanya dari: “Tepi Barat (West Bank) dan Jalur Gaza (Gaza Strip)”. Bangsa Arab menyebut perang Arab-Israel yang ketiga ini, sebagai: “Musibah Kemunduran (An-Naksah))”.
Sekalipun Israel telah mematuhi resolusi, nomor: 242, sebagaimana tersebut di atas, tetapi pada hari Sabtu, tanggal 6 Oktober 1973 sampai/dengan hari Kamis, tanggal 25 Oktober 1973, kembali terjadi peperangan antara Negara-negara Arab melawan Negara Israel, dimana Negara Israel yang hanya berkekuatan 415.000 (empat ratus lima belas ribu) orang tentara, diserang oleh 2 (dua) Negara Arab yang dibantu oleh 10 (sepuluh) negara lainnya dengan total kekuatan mencapai 1.067.500 (satu juta enam puluh tujuh ribu lima ratus) orang tentara. Keduabelas negara itu, adalah: “Mesir, Suriah, Arab Saudi, Aljazair, Yordania, Irak, Libya, Kuwait, Tunisia, Maroko, Kuba, dan Korea Utara”. Namun demikian, perang tersebut berakhir dengan dikuasainya lebih dari 2/3 (dua per tiga) wilayah gurun Sinai oleh Israel, dan wilayah Bashan di dataran tinggi Golan yang hanya berjarak 32 Km / 20 mil dari ibukota Negara Suriah: “Damaskus”. Ditengah pertempuran yang belum berakhir, pada hari Senin, tanggal 22 Oktober 1973, UNSC menerbitkan resolusi, nomor: 338 (S/RES/338), yang disahkan pada pertemuan Dewan Keamanan ke-1747 (seribu tujuh ratus empat puluh tujuh). Resolusi, nomor: 338 ini, menyerukan gencatan senjata dan pelaksanaan resolusi 242. Perang ini, terkenal dengan sebutan: “Perang Yom Kipur dan/atau Perang Ramadan dan/atau Perang (bulan) Oktober dan/atau Perang Tahun 1973 dan/atau Perang Arab-Israel ke-empat”.
Berdasarkan Resolusi UNSC, nomor: 242 (S/RES/242) yang diterbitkan pada hari Rabu, tanggal 22 Nopember 1967, sebagai respons dari UNSC atas terjadinya peristiwa Perang Arab-Israel Ketiga, dan berdasarkan Resolusi UNSC, nomor: 338 (S/RES/338) yang diterbitkan pada hari Senin, tanggal 22 Oktober 1973, sebagai respons dari UNSC atas terjadinya peristiwa Perang Arab-Israel Ke-empat, telah dicapai kesepakatan antara Negara Palestina dengan Negara Israel sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Oslo Pertama yang ditandatangani di Washington D. C., Amerika Serikat, pada hari Senin, tanggal 13 September 1993, dan kemudian kesepakatan seperti yang tercantum dalam ‘Perjanjian Oslo Kedua’ (Perjanjian Taba) yang ditandatangani di Kota Taba, Mesir, pada hari Kamis, tanggal 28 September 1995. Dimana, Baik Perjanjian Oslo Pertama maupun Perjanjian Oslo Kedua adalah, beberapa dari banyak hasil proses perdamaian yang telah dicapai dengan tujuan untuk dapat mencapai perjanjian damai ‘permanen’ (abadi) antara Negara Israel dengan Negara Palestina di atas: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina)”.
Catatan: Peperangan yang berlangsung secara silih berganti dan terus menerus antara Bangsa Arab melawan Bangsa Israel hingga saat ini dan nanti di masa depan (!?) untuk memperebutkan klaim ‘sepihak’ (Unilateral) dari masing-masing pihak atas Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina) adalah akibat dari sebab keluarnya mayoritas Bangsa Israel dari Tanah Perjanjian pada tahun 136, dan masuknya mayoritas Bangsa Arab ke Tanah Palestina dalam 1.000 (seribu) tahun dan/atau dalam 1 (satu) milenium terakhir (700 – 1948). Dimana Populasi Bangsa Arab berkembang pesat di Tanah Palestina, sementara Populasi Bangsa Israel berkembang pesat di luar Tanah Perjanjian. Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya populasi Bangsa Israel di seluruh dunia, meningkat pula tekanan terhadap Bangsa Israel. Penindasan terhadap Bangsa Israel oleh bangsa-bangsa lain di dunia, sebenarnya telah terjadi sejak TUHAN menyerahkan mereka kedalam tangan bangsa-bangsa: “Asyur, Babel, Persia, Macedonia, Romawi, dan lain-lain”. Akibat dari sebab Penindasan dan/atau tekanan yang berat dan bertubi-tubi ini, munculah kerinduan untuk kembali ke: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina)”. Kerinduan ini, kemudian menjelma menjadi suatu bentuk gerakan (politik), bernama: “Zionisme (Bahasa Ibrani: Tsiyonut)”. Gerakan ini, bertujuan untuk: “mendirikan satu Negara Yahudi untuk satu Bangsa Yahudi di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina)”. Dalam tenggat waktu kurang lebih hanya 50 (lima puluh) tahun saja – sejak Kongres Zionis Pertama di kota Basel, Swiss, pada bulan Agustus tahun 1897 – satu Negara Yahudi di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina) telah berhasil didirikan untuk satu Bangsa Yahudi pada hari Jum’at, tanggal 14 Mei 1948, dengan nama: “ISRAEL”. Nama gerakan Zionisme ini sendiri diambil dari nama Zion (Tziyyon) yang terdapat dalam Alkitab Ibrani maupun Alkitab Kristen yang menunjuk pada tempat TUHAN bersemayam, yaitu: “di bukit Sion, di Kota Yerusalem, di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina)”. Dengan kembalinya Bangsa Israel ke Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina), maka genablah FIRMAN TUHAN: “Sesungguhnya, waktunya akan datang, bahwa tidak dikatakan orang lagi: Demi TUHAN yang hidup yang menuntun orang Israel keluar dari tanah Mesir!, melainkan: Demi TUHAN yang hidup yang menuntun orang Israel keluar dari tanah utara (Benua Eropa – Penulis) dan dari segala negeri ke mana IA telah mencerai-beraikan mereka (Seluruh dunia – Penulis)! Sebab AKU akan membawa mereka pulang ke tanah yang telah AKU berikan kepada nenek moyang mereka (Tanah Perjanjian – Penulis)” (Yeremia, 16, 14 – 15).
Pada awalnya, Bangsa Arab mengklaim seluruh wilayah Tanah Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) sebagai milik Bangsa Arab dan berusaha keras untuk mendirikan suatu Negara Arab di seluruh wilayah bekas mandat Inggris atas Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) serta berupaya keras juga untuk menghapus Israel dari dalam peta dunia. Namun demikian, setelah Negara Palestina didirikan pada hari Selasa, tanggal 15 Nopember 1988, berdasarkan resolusi UNGA, nomor: A/RES/181 (II) yang diterbitkan pada hari Sabtu, tanggal 29 Nopember 1947, dimana melalui perjanjian Oslo pertama yang di-adopsi pada hari Senin, tanggal 13 September 1993, Palestina justeru mengakui Israel sebagai suatu negara yang berdaulat dan merdeka di atas: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina) – dengan pengecualian pada: Jalur Gaza (Gaza Strip) dan Tepi Barat (West Bank)”. Akan tetapi, pertanyaan yang amat sangat penting, prinsipil, esensial, fundamental, dan substansial, dalam konteks ini, adalah: “Apakah Bangsa Arab dengan lapang dada dapat melepaskan klaim mereka atas ‘Tanah Palestina’ (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) secara sukarela (?)”.
Jawabannya – sudah amat sangat pasti – adalah: “Tidak!”. Sebab sampai dengan saat tulisan ini diterbitkan, peperangan masih terus berlangsung antara Palestina melawan Israel. Dan seperti biasanya, Palestina didukung dan dibantu oleh Negara-negara Arab, semisal: “Iran”. Salah satu akibat dari sebab perang tersebut adalah, Mahkamah Internasional (ICJ/CIJ) menolak klaim Israel terhadap wilayah bekas mandat Inggris atas Palestina berdasarkan sejarah (agama), yang wilayah bekas mandat Inggris atas Palestina dimaksud – berdasarkan sejarah (agama) pula – oleh Bangsa Israel disebut sebagai: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian”. Putusan Mahkamah Internasional (ICJ/CIJ) tersebut, dalam “batas-batas” tertentu, adalah:“Kemenangan Humanisme atas Theoisme”. Jika ditelaah dari keseluruhan penjelasan dalam uraian pembahasan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat disebutkan dengan kata lain bahwa, sekalipun salah satu dari para pihak yang bertikai dapat keluar sebagai pemenang – apakah itu Bangsa Israel atau apakah itu Bangsa Arab – atas Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina), tetapi perdamaian tetap akan sulit tercapai di kawasan Timur-Tengah. Secara umum, yang dapat di-upayakan dan/atau di-usahakan oleh umat manusia di dunia ini dalam kasus konflik Arab – Israel tersebut, hanyalah upaya/usaha untuk meredakan ketegangan, di: “Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina)”.
Tanah Artificial
Tidak seperti wilayah bekas mandat Inggris atas Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) sebagaimana tersebut di atas, yaitu suatu wilayah yang memiliki ‘sejarah-keagamaan’ (religious-history) panjang selama kurang lebih 4.000 (empat ribu) tahun dan/atau 4 (empat) milenium – terhitung sejak TUHAN untuk pertama kalinya memanggil Abraham keluar dari tanah kelahirannya di Ur-Kasdim pada tahun 2042 SM sampai/dengan saat tulisan ini diterbitkan (2024) – dan yang di-amini dan/atau di-imani kebenarannya oleh kurang lebih 15.800.000 (lima belas juta delapan ratus ribu) orang Bangsa Israel di seluruh dunia, dan oleh kurang lebih 2.630.000.000 (dua milyard enam ratus tiga puluh juta) umat Kristen (Protestan dan/atau Katolik) di seluruh dunia, maka wilayah ‘Hindia-Timur’ (Oost-Indie) hanyalah merupakan, suatu: “Wilayah Artifisial (Artificial Region)”.
Wilayah artifisial (Artificial Region) adalah, wilayah yang secara harafiah digambarkan pada suatu peta oleh suatu kekuasaan eksternal. Pada banyak kasus, kelompok etnik yang dominan mengambil peran sebagai elite lokal, dengan melayani kepentingan-kepentingan kekuasaan eksternal dimaksud. Dimana perilaku politik dari kelompok etnik yang dominan ini merupakan suatu cerminan perhatian mereka terhadap masalah-masalah seperti keamanan, otonomi, dan kesejahteraan dari kelompok etnik mereka yang dominan itu sendiri, ketimbang masalah-masalah dari berbagai kelompok etnik resisif lainnya dalam wilayah tersebut sebagai suatu keseluruhan (Cottam, Martha L., et.al (2012) Pengantar Psikologi Politik. Jakarta: Rajawali Pers, h. 328).
Dan tidak juga seperti wilayah bekas mandat Inggris atas Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) sebagaimana tersebut di atas, yang batas-batas wilayahnya adalah mengikuti batas-batas wilayah Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina) seperti yang telah ditetapkan oleh TUHAN melalui Musa selama kurang lebih 3.000 (tiga ribu) tahun dan/atau 3 (tiga) milenium lalu – terhitung sejak TUHAN untuk pertama kalinya mengutus Musa membawa Bangsa Israel keluar dari tanah Mesir pada tahun 1397 SM sampai/dengan saat tulisan ini diterbitkan (2024) – maka dalam konteks wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), Negara Kerajaan Belanda yang adalah Kekuasaan ‘eksternal’ (Belanda tidak berasal dari wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), tetapi berasal dari suatu bagian wilayah di kawasan benua Eropa) baru dalam rentang waktu 142 (seratus empat puluh dua) tahun lamanya, terhitung sejak tahun 1800 sampai/dengan tahun 1942, membuat gambar pada peta Hindia-Timur (Oost-Indie) dengan menarik garis-garis artifisial sebagai garis-garis perbatasan dalam membentuk suatu wilayah artifisial, bernama: “Hindia-Belanda (Nederland-Indie)”.
Pada kasus Hindia-Timur (Oost-Indie) sebagaimana tersebut di atas, kelompok etnis Jawa yang adalah kelompok etnis dominan di wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), yang mengambil peran sebagai elite lokal di wilayah: “Hindia-Belanda (Nederland-Indie)”. Kelompok etnis Jawa merupakan 40,22% (empat puluh koma dua dua persen) dari total persentase kelompok etnis di wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) yang berjumlah kurang lebih sebanyak: “300 (tiga ratus) kelompok etnik (ethnic group)” (Tanya, Theodorus Yoseph Parera, Samuel F. Lena, dan Bernard L. (2015) Pancasila Bingkai Hukum Indonesia. Yogyakarta, Genta Publishing, h. 66). Jika ditelaah dari sudut pandang Sosiologis, maka kata etnis itu sendiri secara etimologis berasal dari kata dalam bahsa Yunani, yaitu: “Etnos”. Dimana kata etnos itu sendiri merujuk pada pengertian ‘bangsa’ (nation) atau ‘orang / rakyat’ (people).
Jika ditelaah dari sudut pandang Antropologis, maka adalah Ioan Myrddin Lewis – seorang Proffesor Emeritus Antropologi pada London School of Economics – yang mengemukakan bahwa, tidak perlu membedakan antara Bangsa, Etnis maupun Suku sebab perbedaannya hanya dalam ukuran bukan dalam komposisi struktural atau fungsinya. Dan jika ditelaah dari sudut pandang ‘penjelasan sejarah pembentukan’ (travaux peroparatoires) Pasal 1, ayat (1), bagian I, ‘International Covenant on Civil and Political Rights’ (ICCPR) tahun 1966 yang mulai berlaku pada tahun 1976, dan yang telah juga diratifikasi oleh pemerintah ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI) melalui Undang-Undang NKRI, nomor: 12 tahun 2005 tentang ICCPR, maka istilah ‘orang / rakyat’ (people) digunakan dalam cakupan makna yang paling luas dan meliputi ‘etnis’ (ethnic) dan ‘bangsa’ (nation) (Kasim, Ifdhal (2001) Hak Sipil Dan Politik Esai-Esai Pilihan. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), h. 365).
Jika ditelaah, baik dari sudut pandang Sosiologis, Antropologis maupun Hukum Internasional sebagaimana tersebut di atas, maka dapat disebutkan dengan kata lain bahwa, dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) terdapat sebanyak kurang lebih: “300 (tiga ratus) bangsa / etnis”. Beberapa diantara ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis yang hidup dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) itu menurut William Marsden adalah bangsa / etnis Melayu, Rejang, Batak, Aceh, Lampung, Minangkabau, Nias, dan Mentawai di Sumatera; atau menurut Antropolog Augustus Henry Keane, F. J. P. Sachse, dan Odo Deodatus Tauern adalah bangsa / etnis Alifuru / Alfur / Alfuros / Alfures / Alfuren / Horaforas di Kepulauan Maluku yang berarti sebagai “Manusia Awal” (Sejarah Daerah Maluku yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan melalui Proyek Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah periode tahun 1976 / 1977) https://books.google.co.id.
Catatan: Bangsa Alifuru di kepulauan Maluku yang oleh para antropolog digolongkan kedalam Ras ‘Melanesia’ (Kepulauan Hitam (Black island)), adalah sekelompok manusia yang pertamakali tiba / sampai di wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) secara bergelombang pada kurang lebih 50.000 (lima puluh ribu) sampai/dengan 30.000 (tiga puluh ribu) tahun silam dalam gelombang migrasi pertama keluar dari Afrika pada 60.000 (enam puluh ribu) tahun lampau. Selanjutnya, sekelompok manusia lain yang oleh para antropolog digolongkan sebagai Ras Negroit – yang dikenal sebagai Bangsa Vedda – tiba pula di wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) dalam gelombang migrasi kedua keluar dari Afrika pada kurang lebih 6.000 (enam ribu) tahun lalu. Sementara itu, Gelombang migrasi pertama Ras Mongoloid datang dari arah barat yaitu, dari daratan Benua Asia terutama dari dataran ‘Yunnan’ (Cina bagian selatan) – yang oleh Sarasin bersaudara disebut sebagai ‘Melayu Tua’ (Proto-Malay) – dan tiba di wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) pada tahun 3.000 (tiga ribu) SM, sedangkan gelombang migrasi kedua Ras Mongoloid datang dari arah utara yaitu, dari pulau ‘Taiwan / Formosa’ (Cina bagian timur) – yang oleh Sarasin bersaudara disebut sebagai ‘Melayu Muda’ (Deutro-Malay) – dan tiba di wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) pada tahun 300 (tiga ratus) SM, dan terakhir pada masa awal perdagangan dan pelayaran dalam gelombang migrasi oleh Ras-ras dan/atau Bangsa-bangsa lain dari seluruh dunia ke Hindia-Timur (Oost-Indie) seperti, Bangsa: “India, China, Arab, Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan lain sebagainya” (Vlekke, Bernard Hubertus Maria (2010) Nusantara Sejarah Indonesia, Jakarta: Gramedia, h. 9-10). keberadaan / eksistensi (existence) Ras Melanesia di Hindia-Timur (Oost-Indie) selalu dibantah bahkan ditolak oleh pemerintah NKRI (sejak pemerintahan Sukarno hingga pemerintahan Megawati Sukarnoputeri). Baru pada tahun 2013, dalam masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah NKRI untuk pertama kalinya secara resmi mengakui ‘keberadaan / eksistensi’ (existence) Ras Melanesia di Hindia-Timur (Oost-Indie). Pada tahun 2015, dalam masa pemerintahan Joko Widodo, ditandatangani: “Deklarasi Persaudaraan Melanesia-Indonesia”. Moment ini, dengan sendirinya telah mengakhiri “68 (enam puluh delapan) tahun (1945-2013)” penyangkalan dan/atau pengingkaran pemerintah NKRI terhadap “keberadaan / eksistensi (existence)” Ras Melanesia dalam NKRI. Dengan demikian, dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, sejak tahun 2013, telah terdapat 2 (dua) bangsa dalam NKRI, yaitu: “Mereka-mereka yang menyebut dirinya sebagai Bangsa Indonesia, dan orang-orang Ras / Bangsa Melanesia”.
Ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) sebagaimana tersebut di atas, kemudian mendirikan 300 (tiga ratus) Negara dalam bentuk Kerajaan yang masing-masing Negara dan/atau Kerajaan adalah sama dan sederajad antara satu dengan lainnya sebagai Negara-negara / Kerajaan-kerajaan merdeka dan berdaulat yang tersebar di seantero wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie). Dalam Sidang Kedua ‘Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan’ (BPUPK) dan/atau ‘Panitia Persiapan Kemerdekaan’ (PPK) pada Rapat Besar hari Selasa, tanggal 10 Juli 1945, bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung ‘Departemen Luar Negeri’ (DEPLU) NKRI) Prof. Mr. Dr. Muhammad Yamin, sendiri telah menyatakan, bahwa: “Pada waktu ini banyaknya kerajaan daerah di tanah Indonesia adalah kira-kira 300 buah” (Sekretariat Negara – Negara Kesatuan Republik Indonesia (SETNEG-NKRI) (1998) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Team Penyunting: Dr. Saafroedin Bahar dan Dra. Nannie Hudawati. Penasehat ahli: Prof. Dr. Taufik Abdullah; Dr. Abdurrachman Surjomihardjo; Poedjo Moeljono, SH.; Drs. Djoko Utomo, MA.; Kolonel Drs. Saleh Djamhari; Dr. Anhar Gonggong; Dr. Sri Soekesi AdiwimartaJakarta: Widya Komputer Indonesia, h. 133).
Demikian pula dengan Koesno Sosrodihardjo alias Sukarno alias Bung Karno yang juga mengakui ‘keberadaan dan/atau eksistensi’ (existence) dari Kerajaan-kerajaan di wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) sebagaimana dapat ditemukan dalam tulisan Sukarno sendiri pada majalah Suluh Indonesia Muda di Bataviapada tahun 1932, dibawah judul, Swadeshi dan Massa-Aksi di Indonesia (Swadeshi dan Imperialisme). Bahkan Yamin dan Sukarno sendiripun sama-sama membenarkan bahwa, banyak dari ke – 300 (tiga ratus) Kerajaan itu terdapat di: “Kepulauan Maluku” (Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I, Cetakan pertama, Yayasan Bung Karno & Penerbit PT. Media Pressindo, Jogjakarta, 2014, h. 155). Kerajaan-kerajaan dalam wilayah Kepulauan Maluku ini, disebut oleh para saudagar / para pedagang Arab dengan istilah: “Negeri Raja-raja (Jazirat al Mulk / Jazirah tuil Jabal Mulku)”.
Catatan: Bangsa Alifuru di Kepulauan Maluku yang mendirikan cukup banyak kerajaan dalam Kepulauan Maluku – oleh karena itulah, maka Bangsa Arab menyebut Kepulauan Maluku sebagai, Negeri Raja-raja dan/atau wilayah dengan banyak Kerajaan (Jazirat al Mulk / Jazirah tuil Jabal Mulku) – telah melakukan hubungan dagang dengan Bangsa-bangsa lain, seperti: “India, Cina, dan Arab”. Bangsa India, Cina, dan Arab, adalah Bangsa-bangsa yang berperan besar sebagai para “pedagang perantara”, yang membeli ‘rempah-rempah’ (exotic spices) dari Kepulauan Maluku dan menjualnya ke Benua: “Asia, Afrika, dan Eropa”. Perihal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya beberapa buah ‘cengkih’ (cloves) dalam peti jenazah Fir’aun / Far’ao di Kerajaan Mesir pada tahun 2.600 SM. Bukti lainnya adalah, Solomon / Salomo / Sulaiman (970 SM – 931 SM) – Raja ke-empat dari Kerajaan Israel / Yehuda – menerima rempah-rempah dalam jumlah yang amat sangat banyak dari Ratu Kerajaan Shyeba. Perihal ini adalah, seperti yang tertulis pada Alkitab Ibrani maupun Alkitab Kristen dalam kitab Raja-raja, Pasal 10, ayat (2) dan ayat (10): “Ia (Ratu Negeri Shyeba – Penulis) datang ke Yerusalem dengan pasukan pengiring yang sangat besar, dengan unta-unta yang membawa rempah-rempah …; Tidak pernah datang lagi begitu banyak rempah-rempah seperti yang diberikan oleh Ratu Negeri Shyeba kepada Raja Salomo itu” (dalam terjemahan yang lain disebutkan, bahwa: “Sesungguhnya Raja Salomo tidak pernah lagi menerima rempah-rempah sebanyak yang dihadiahkan Ratu Negeri Shyeba itu”). Negeri Shyeba itu sendiri, pada saat ini kemungkinan besar, adalah: “Eritrea atau Ethiopia atau Yaman”. Selama ribuan tahun, rempah-rempah yang adalah hasil kekayaan alam di Kepulauan Maluku telah diperdagangkan keluar dari Kepulauan Maluku oleh Kerajaan-kerajaan dalam Kepulauan Maluku. Peradaban umat manusia turut bertumbuh dan berkembang disepanjang: “Jalur Rempah”. Jalur rempah telah menjadi pembuka jalan bagi Enrique Maluku (Bangsa Alifuru) untuk menjadi orang pertama yang megelilingi dunia melalui laut pada hari Selasa, tanggal 8 Nopember 1521. Bahkan Jalur rempah yang telah membagi dunia menjadi dunia timur dan dunia barat berdasarkan perjanjian:“Tordesillas dan Zaragoza”. Tetapi yang sekaligus juga, telah mempertemukan Dunia (peradaban) Barat dan Dunia (peradaban) Timur menjadi satu pula, ketika Fransisco Serrao (Portugis) tiba di wilayah Maluku untuk pertamakalinya pada tahun 1512, dan Antonio de Abreu (Portugis) untuk pertamakali menginjakkan kakinya di tanah Maluku pada tahun 1512 itu juga.
Dr. Daoed Joesoef (1926-2018) (Mantan ‘Menteri Pendidikan dan Kebudayaan’ (MENDIKBUD) NKRI (Rabu, 29 Maret 1978 – Sabtu, 19 Maret 1983) dalam Kabinet Pembangunan III pada era pemerintahan Presiden kedua NKRI, Jenderal Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat: “Suharto”) menyatakan bahwa ke – 300 (tiga ratus) Bangsa / Kerajaan tersebut “bukanlah kelompok-kelompok liar” karena mereka: “Rata-rata punya bahasa sendiri, berseni budaya relatif mapan, serta mengenal pemerintahan yang ditopang oleh seperangkat aturan hidup bersama yang dipatuhi, yang oleh Proffesor Cornelis van Vollenhoven disebut sebagai ‘hukum adat’ (adat-recht)” (Joesoef, Daud (2011) Dasar Pembentukan Bangsa. Dalam Monarki Yogya” Inkonstitusional?. Jakarta: Kompas, h. 178). Terhadap perihal ini, Elsbeth Locher-Scholten menulis pada halaman 34 dalam bukunya dibawah judul, Sumatran Sultanate and Colonial Sate: Jambi and the rice of Dutch Imperialism, 1830-1907, yang di terjemahkan oleh Beverly Jackson Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell University, Amerika Serikat, pada tahun 2004, bahwa: “Yang ada bukanlah satu bendera, melainkan banyak bendera” (Elson, Robert Edward (2009) The Idea of Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi, h. 1).
Bahkan tidak juga seperti Bangsa Israel yang telah menetap di Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina) sejak 4.000 (empat ribu) tahun dan/atau 4 (empat) milenium yang lalu atau Bangsa Arab yang telah datang ke Tanah Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) sejak 1.000 (seribu) tahun dan/atau 1 (satu) milenium yang lalu sebagaimana tersebut di atas, maka dari antara ke – 300 (tiga ratus) Bangsa / Kerajaan dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) seperti tersebut di atas, tidak ada dan/atau tidak terdapat satupun rakyat (people) / bangsa (nation) / etnis (ethnic) / kerajaan (kingdom) dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) yang bernama: “Indonesia”. Perihal ini adalah sebagaimana yang ditulis dengan amat sangat baik sekali oleh Elson (2009: 1): “Sebelum abad kedua puluh, Indonesia belum ada, dan karena itu orang Indonesia pun belum ada. Di Kepulauan yang membentang antara Benua Asia dan Australia ini, dulu terdapat banyak ‘Negara’ (Kerajaan – Penulis) besar dan kecil … “. Nama Indonesia itu sendiri, baru diciptakan pada tahun 1850 oleh seorang Navigator berkebangsaan Inggris, bernama: “George Samuel Windsor Earl”.
- S. W. Earl menciptakan istilah Indonesia dengan cara menggabungkan 2 (dua) kata dari Bahasa Latin dan/atau Yunani, yaitu kata “Indu” yang artinya adalah “India”, dan kata “Nesians” yang artinya adalah “Kepulauan”, sehingga menjadi suatu kata majemuk, yaitu: “Indunesians”. Indunesians ini sendiri, secara harafiah berarti sebagai: “Kepulauan India”. G. S. W. Earl sendiri tidak pernah bermaksud menciptakan kata Indunesians untuk menunjukkan tentang adanya suatu Bangsa dan/atau Kerajaan di Hindia-Timur (Oost-Indie) yang bernama Indonesia, tetapi kata Indunesians itu semata-mata diciptakan oleh G. S. W. Earl hanya dengan tujuan untuk memberi ‘nama’ (nomenklateur) kepada: “Rangkaian pulau-pulau yang terhampar di atas permukaan samudera India bagian timur (Oost-Indie – Penulis)” (Latif, Yudi (2011) Negara Paripurna. Jakarta: Kompas Gramedia, h. 312).
Dalam hubungan dengan perihal sebagaimana tersebut di atas, Proff. Salim Haji Said, Ph.D., salah seorang pendiri majalah Tempo, Guru Besar pada ‘Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pertahanan’ (FISIPOL-UNHAN), dan mantan Duta Besar NKRI untuk Republik Ceko, dalam suatu wawancara dengan Akbar Faisal pada hari Senin, tanggal 24 Januari 2022 di channel youtube ‘Akbar Faisal Uncensored’ (AFU) menyatakan, bahwa: “Indonesia adalah bangsa buatan … Indonesia belum selesai terbentuk” (https://youtu.be/eVa_zo-o0SQ). Yudi Latif, seorang Deputi Rektor Universitas Paramadhina, dan Direktur Eksekutif ‘Lembaga Reformasi’ (Reform Institute), turut membenarkan pernyataan Salim Haji Said tersebut, bahwa: “Indonesia masih tetap suatu proyek yang belum tuntas”. Terhadap perihal ini, Dr. Daoed Joesoef dalam halaman 171 dari bukunya dibawah judul, Studi Strategi Logika Ketahanan Dan Pembangunan Nasional, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2014 oleh penerbit Kompas menyatakan, bahwa: “Bangsa Indonesia bukan satu ‘fakta’ (Kenyataan – Penulis)”. Bahkan pada halaman sebelumnya dari buku tersebut, Daoed Joesoef (2014: 165) dengan secara tegas menyatakan, bahwa: “Indonesia, baik dalam artian ‘Bangsa’ (Nation) maupun ‘Negara’ (State), apalagi ‘Negara-Bangsa’ (Nation-State), bukanlah suatu fakta”.
Jika Indonesia bukanlah suatu “kenyataan dan/atau fakta (fact)” sebagaimana yang di-ungkapkan oleh Daoed Joesoef seperti tersebut di atas, maka Indonesia dapat dipastikan hanyalah suatu “mimpi (hallucination)” belaka sebagaimana apa yang dinyatakan oleh Dr. Tristam Pascal Moelliono, seorang dosen Ilmu Politik Internasional pada ‘Universitas Parahyangan’ (UNPAR) di Bandung, Jawa Barat; atau Indonesia dapat dipastikan hanyalah suatu “khayalan / imajinasi (Imagination)” belaka seperti apa yang dinyatakan oleh Benedict Richard O’Gorman Anderson alias Ben Anderson (1936-2015) (Proffesor emeritus bidang studi Antropologi dan Sosiologi dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, dalam buku berjudul: “Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism”).
Catatan: Dalam hubungan dengan isi dari teks proklamasi kemerdekaan ‘Negara Republik Indonesia’ (NRI) sebagaimana yang dinyatakan pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, oleh Sukarno/Hatta, bahwa: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggaran dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. … Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05 … atas/nama … bangsa Indonesia … Soekarno/Hatta“, pertanyaan yang amat sangat penting, kritis, esensial, fundamental, dan substansialnya, adalah: “Jika tidak ada bangsa yang bernama Indonesia secara antropologis / sosiologis / objektif maupun secara psikologis / politis / subjektif, dan Indonesia masih hanya sebatas suatu khayalan / imajinasi (Imagination), suatu mimpi (hallucination) yang belum terwujud bahkan suatu proyek yang belum tuntas, suatu entitas yang belum selesai dan/atau belum final, suatu entitas Yang Masih Menjadi (becoming), maka bangsa Indonesia manakan yang dimaksud oleh Sukarno dalam isi dari teks proklamasi kemerdekaan NRI yang dibuat oleh Sukarno itu ???, dan Bangsa Indonesia manakah yang di-atas/nama-kan oleh Sukarno/Hatta pada saat proklamasi kemerdekaan NRI itu dinyatakan pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945 ???”.
Ketika Sukarno (1901 – 1970), seorang Jawa yang merupakan bangsa / etnis dominan di Hindia-Timur (Oost-India) mendirikan NRI pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno mengklaim wilayah artifisial ciptaan Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas Hindia-Timur (Oost-Indie) sebagaimana tersebut di atas sebagai, wilayah: “Negara Republik Indonesia (NRI)”. Akan tetapi, ketika Sukarno mengklaim wilayah artifisial ciptaan Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas Hindia-Timur (Oost-Indie) tersebut sebagai wilayah NRI, maka dengan seketika itu pula Bangsa-bangsa / Kerajaan-kerajaan yang masih merdeka dan berdaulat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-India) dengan secara otomatis dan dengan secara serta merta serta dengan secara sendirinya menjadi kehilangan kemerdekaan dan kedaulatan mereka (Resink, Gertrudes Johannes (2012) Bukan 350 Tahun Dijajah. Jakarta: Komunitas Bambu, h. 317). Terhadap perihal ini, ada benarnya juga, jika Dr. Peter Brian Ramsay Carey menyebut NEGARA REPUBLIK INDONESIA (NRI), sebagai: “NEGARA NEOKOLONIALISME” (Adam, Asvi Warman (2005) Sukarno Dalam Perjalanan Sejarah Bangsa. Dalam Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Yayasan Bung Karno, h. xviii).
Catatan: Pada tahun 1800, Pemerintah Negara Kerajaan Belanda mengambil alih “aset-aset” suatu Perusahaan Belanda di wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) yang didirikan pada hari Rabu, tanggal 20 Maret 1602, dan dibubarkan pada hari Selasa, tanggal 31 Desember 1799, bernama: “Persatuan Perusahaan Hindia Timur’ (Vereenigde Oostindische Compacnie (VOC))”. Salah satu aset dimaksud, adalah: “Tanah”. Pemerintah Negara Kerajaan Belanda “mengklaim” bahwa tanah yang dimaksud sebagai aset VOC itu terbentang: “Dari Sabang di Barat, sampai Merauke di Timur, dan dari Miangas di Utara sampai Rote di Selatan”. Pemerintah Negara Kerajaan Belanda kemudian menarik garis-garis batas atas klaim tersebut yang disebut, sebagai: “Garis-garis Artifisial”. Garis-garis Artifisial inilah yang telah menjadikan wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), sebagai: “Wilayah Artifisial”. Wilayah Artifisial ini sebenarnya adalah wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) yang dibuat oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda di atas: “peta (kaart / map)”. Sebab pada kenyataannya, dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) masih terdapat Bangsa-bangsa / Kerajaan-kerajaan yang merdeka dan berdaulat (Resink, Gertrudes Johannes (2012) Bukan 350 Tahun Dijajah. Jakarta: Komunitas Bambu, h. 317). “wilayah artifisial” sebagaimana tersebut di atas, pada hari Jum’at, tanggal 17 agustus 1945, diklaim secara ‘sepihak’ (unilateral) tanpa ‘alas hak’ (title) yang sah oleh Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka, sebagai: “bangsa Indonesia”. Garis-garis Artifisial itu telah mengorbankan 300 (tiga ratus) bangsa / kerajaan yang ada dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) dibawah kekuasaan mereka-mereka yang menamakan dirinya, sebagai: “bangsa Indonesia”. Salah satu bangsa yang menjadi korban dari garis-garis artifisial itu, adalah: “Bangsa Alifuru di Kepulauan Maluku”. Martha L. Cottam, et.al, menulis dalam halaman 327 dari buku dibawah judul, Pengantar Psikologi Politik, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2012 oleh Rajawali Pers, bahwa: “Ada Negara-negara artifisial, dalam arti bahwa negara-negara ini secara harafiah digambarkan pada suatu peta oleh suatu ‘kekuasaan eksternal’ (penjajah / kolonial – Penulis) pada banyak kasus, kelompok etnik yang dominan di negara-negara jajahan ini mengambil peran sebagai elite lokal, dengan melayani kepentingan kekuasaan kolonial tersebut. Perilaku politik mereka merupakan suatu cerminan perhatian mereka terhadap masalah-masalah … kelompok etnik mereka, ketimbang masalah-masalah negara tersebut sebagai suatu keseluruhan”. Di Hindia-Timur (Oost-Indie), kelompok etnik yang dominan itu adalah, kelompok etnik / bangsa: “JAWA”.
Dalam hubungan dengan pendapat P. B. R. Carey sebagaimana tersebut di atas, Howard Dick, et.al, mengemukakan, bahwa: “Formasi Bangsa Indonesia melibatkan bukan reinkorporasi Jawa ke dalam Kepulauan ‘Nusantara’ (Hindia-Timur (Oost-Indie) – Penulis) melainkan justeru ‘aneksasi’ (pencaplokan (annexation) / penaklukkan (conquest / subjugation) – Penulis) pulau-pulau lain ke dalam Jawa” (Budiman, Hikmat (2019) Ke Timur Haluan Menuju. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, h. 43). Dalam hubungan dengan perihal ini semua, Teuku Mohammad Hassan di Tiro M.S., M.A., LL.D., Ph.d.(1925-2010) – Kepala Negara ‘Nangroe Acheh Darussalam’ (NAD) – menyatakan, bahwa: “Indonesia adalah sekedar kelanjutan Hindia-Belanda seutuhnya secara politik, ekonomi, dan yuridis” (Missbach, Antje(2012) Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh. Yogyakarta: Ombak, Sinopsis). Dalam hubungan dengan semua perihal ini pula, DR. Willem Karel Tehupeiory (1883-1946) – Pendiri ‘Moluks Politiek Verbond’ (MPV) – memberikan suatu peringatan yang amat sangat keras, bahwa: “Bagi saya, kekuasaan Belanda adalah lebih baik dari kekuasaan feodal Jawa” (de Fretes, Johannes Dirk (2007) Kebenaran Melebihi Persahabatan. Jakarta: Harman Pitalex dan Kubuku, h. 44).
Klaim Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia terhadap wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) sebagaimana tersebut di atas, adalah amat sangat jauh berbeda dengan klaim Bangsa Israel atas Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina) atau klaim Bangsa Arab atas Tanah Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian). Klaim Bangsa Israel atas Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina) dan klaim Bangsa Arab atas Tanah Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) adalah suatu klaim atas dasar antropologis / sosiologis / objektif maupun atas dasar psikologis / politis / subjektif sehingga memiliki ‘alas hak’ (title) yang sah. Bahkan lebih daripada itu, klaim Bangsa Israel atas Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian (Tanah Palestina) maupun klaim Bangsa Arab atas Tanah Palestina (Tanah Kanaan / Tanah Perjanjian) adalah suatu klaim atas dasar ‘sejarah-keagamaan’ (religious-history) yang di-imani dan di-amini kebenarannya oleh kurang lebih 15.800.000 (lima belas juta delapan ratus ribu) Bangsa Israel di seluruh dunia, dan oleh kurang lebih sebanyak 2.630.000.000 (dua milyard enam ratus tiga puluh juta) umat Kristen (Protestan / Katolik) di seluruh dunia, serta oleh kurang lebih sejumlah 2.200.000.000 (dua milyard dua ratus juta) umat Islam di seluruh dunia.
Sementara itu, klaim Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia terhadap wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) tidak memiliki ‘alas hak’ (title) yang sah. Sebab, baik bangsa Israel maupun bangsa Arab adalah bangsa-bangsa dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif dan dalam pengertian psikologis / politis / subjektif, sedangkan Indonesia itu sendiri bukanlah suatu bangsa dalam pengertian apapun juga, baik dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif maupun dalam pengertian psikologis / politis / subjektif. Perihal ini adalah, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Proff. Salim Haji Said, Ph.D., dan yang dalam paradigma berpikir tertentu telah merupakan suatu ‘Kalimat Kunci’ (Key sentence): “Indonesia adalah bangsa buatan … Indonesia belum selesai terbentuk”(https://youtu.be/eVa_zo-o0SQ).
Pada kenyataannya (in-fact), dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) terdapat 300 (tiga ratus) bangsa / etnis yang berdaulat dan merdeka, dimana ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis ini adalah bangsa / etnis dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif maupun dalam pengertian psikologis / politis / subjektif yang kedudukannya sama persis dengan kedudukan bangsa Arab maupun bangsa Israel yaitu sebagai sesama bangsa / etnis dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif maupun dalam pengertian psikologis / politis / subjektif. Salah satu dari ke-300 (tiga ratus) bangsa / etnis ini adalah: “bangsa / etnis Jawa”. Persoalan mulai muncul dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) ketika bangsa / etnis Jawa mengambil peran sebagai elite lokal dengan mengklaim wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) dengan cara memproklamasikan secara ‘sepihak’ (unilateral) pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, suatu negara baru yang diberi nama: “Indonesia”. Banyak masalah yang kemudian timbul dari pembentukan negara baru yang bernama “Indonesia” ini, salah satu masalah dimaksud adalah, klaim Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia, terhadap: “wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie)”.
Klaim Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia terhadap wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) sebagaimana tersebut di atas, adalah seperti yang dikemukakan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) (Dokuritsu Junbi Cosakai) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) (Dokuritsu Junbi Inkai) yang bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung ‘Departemen Luar Negeri’ (DEPLU) NKRI) dan yang berlangsung dari hari Senin, tanggal 28 Mei 1945 sampai/dengan hari Rabu, tanggal 22 Agustus 1945. Klaim Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia terhadap wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) itu adalah, dari: “Sabang di barat sampai Merauke di timur, dan dari Miangas di utara sampai Rote di selatan”. Bahkan lebih daripada itu, klaim Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia ini juga menuntut, wilayah: “jajahan Inggris di Kalimantan Utara (Sabah & Serawak) dan di semenanjung Malaka (Singapura & Malaysia); jajahan Portugis di Timor Timur (Timor Leste); dan Papua (Berbeda dengan Ir. Sukarno dan Mr. Muhammad Yamin, Drs. Mohammad Hatta menyatakan, bahwa: “Saya mengakui bahwa bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka” (SETNEG-NKRI,1998: 170).
Catatan: BPUPK hanya dibentuk oleh Penguasa Militer Pemerintah Fasis Negara Kekaisaran Jepang di: “Pulau Sumatera & Pulau Jawa”. BPUPK tidak pernah dibentuk oleh Penguasa Militer Pemerintah Fasis Negara Kekaisaran Jepang di: “Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara Barat (NTB) & Nusa Tenggara Timur (NTT)), Kepulauan Maluku, dan Papua” (Sekretariat Negara – Negara Kesatuan Republik Indonesia (SETNEG-NKRI) (1998) Risalah Sidang BPUPKI / PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Jakarta: Widya Komputer Indonesia, h. Xxvii). Dengan demikian, secara yuridis-formal dan/atau secara legal-formal, tidak ada anggota BPUPK yang secara representatif mewakili rakyat Maluku, karena BPUPK tidak pernah dibentuk di Maluku. Sekalipun Mr. Johannes Latuharhary adalah orang yang berasal dari Maluku, namun keanggotaan Mr. J. Latuharhary dalam BPUPK adalah tidak mewakili rakyat Maluku secara representatif sama sekali, karena J. Latuharhary dipilih oleh Sukarno sendiri dan tidak dipilih oleh rakyat Maluku. Perihal ini adalah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Sukarno dalam halaman 239 dari buku yang ditulis oleh Cindy Adams dibawah judul, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2011 oleh Yayasan Bung Karno, bahwa: “Tokoh-tokoh terkemuka dari seluruh kepulauan – aku yang memilihnya dan kemudian disetujui oleh Jepang – menghadiri sidang dengan masing-masing sebelumnya membuat rencana, aturan dan usul-usul berisi tetek-bengek yang menyiksa”. Perihal ini juga adalah sebagaimana ternyata dalam halaman xxvii dari buku dibawah judul, Risalah Sidang BPUPKI / PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1998 oleh Sekretariat Negara – Negara Kesatuan Republik Indonesia (SETNEG-NKRI),bahwa: “Oleh karena BPUPK hanya dibentuk di pulau Jawa dan Sumatera, yaitu wilayah Angkatan Darat Jepang, sedangkan daerah-daerah Hindia-Belanda Bagian Timur berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang, maka secara formal tidak ada anggota BPUPK yang mewakili daerah-daerah tersebut. Walaupun Mr. A. A. Maramis dan Mr. J. Latuharhary berasal dari daerah Hindia-Belanda Bagian Timur, namun keanggotaan mereka dalam BPUPK adalah sebagai orang Indonesia Terkemuka di Jawa, dan bukan mewakili daerah asalnya”. Dengan demikian, bukan merupakan suatu perihal yang mengherankan, jika pada saat itu banyak orang menyebut NEGARA REPUBLIK INDONESIA (NRI), sebagai: “REPUBLIK SUKARNO dan/atau NEGARA BONEKA JEPANG” (de Fretes, Johannes Dirk (2007)Kebenaran Melebihi Persahabatan. Jakarta: Harman Pitalex dan Kubuku, h. 84).
Klaim Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia terhadap wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) melalui proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia (NRI) pada hari jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, secara ‘sepihak’ (unilateral) tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Negara Kerajaan Belanda (NKB) sebagai ‘negara induk’ (moderland / mother country) telah merupakan suatu tindakan yang melanggar ketentuan hukum Internasional tentang ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ (the right of self-determination) dari ‘rakyat’ (people / nation / ethnic) dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), dimana ‘plebisit’ (plebiscite) sebagai cara pelaksanaan dan/atau mekanisme implementasi dari hak untuk menentukan nasib sendiri itu adalah ‘wewenang’ (hak yang diberikan oleh hukum) dari Negara Kerajaan Belanda (NKB) sebagai ‘Negara Induk’ (moderland / mother country) untuk melaksanakan plebisit dimaksud. Perihal ini adalah sesuai dengan keputusan Majelis LBB/LN pada hari Sabtu, tanggal 16 April 1921, dalam ‘perkara kepulauan Aaland’ (the case concerning Aaland Island) antara Swedia melawan Finlandia pada tahun 1917, (Suraputra, D. Sidik(2006) Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan Karangan). Jakarta: Diadit Media, 196).
Catatan: Negara Kerajaan Belanda (NKB) disebut juga sebagai ‘Negara Induk’ (moderland / mother country) atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) adalah berdasarkan Perjanjian Potsdam, hari Rabu, tanggal 1 Agustus 1945, yang diterima dan diberlakukan oleh Jepang pada hari Jum’at, tanggal 10 Agustus 1945, dimana dalam salah satu klausula dari Perjanjian Postdam tersebut disebutkan, bahwa: “Wilayah yang diduduki musuh (occupied area) harus dikembalikan kepada penguasa semula”. Dalam konteks ini, Jepang telah menerima kewajiban berdasarkan hukum internasional (Perjanjian Postdam) untuk mengembalikan wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) kepada penguasa semula sebelum Jepang ‘menduduki wilayah’ (occupied area) Hindia-Timur (Oost-Indie) pada tahun 1942, yaitu: “Negara Kerajaan Belanda” (Hutagalung, Batara Richard (2018) Indonesia Tidak Pernah Dijajah. Yogyakarta: Matapadi Pressindo, h. 59); dan ketentuan Hukum Internasional tentang Status Quo yaitu, suatu prinsip dalam Hukum Internasional yang berarti, sebagai: “Keadaan sebagaimana adanya sebelum terjadi perang (status quo res erant ante bellum); suatu keadaan yang tidak boleh ada perubahan oleh siapapun juga, dan dalam bentuk apapun juga, dan dengan cara bagaimanapun juga”. Prinsip ini diberlakukan oleh Sekutu terhadap Jepang pada hari Kamis, tanggal 16 Agustus 1945, jam 12:00 siang, Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB), sehari setelah Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada Sekutu atas perintah ‘sepihak’ (unilateral) dari Kaisar Jepang, Hirohito, pada hari Rabu, tanggal 15 Agustus 1945. Dengan demikian, dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, pembentukan Negara Republik Indonesia (NRI) oleh Sukarno pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, jam 10:00 pagi (WIBB), telah melanggar ketentuan Hukum Internasional tentang prinsip: “Status Quo”. Dengan diberlakukannya Perjanjian Postdam maupun Prinsip Status Quo sebagaimana tersebut di atas, maka tidak pernah terjadi dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) apa yang dinamakan, sebagai: “Kekosongan Kekuasaan (Vaccum of Power)” (Sjahdeini, Sutan Remy (2021) Sejarah Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana, h. 80). Dengan tidak adanya kekosongan kekuasaan dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) oleh karena diberlakukannya Perjanjian Postdam dan Prinsip Status Quo dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), maka pembentukan NRI oleh Sukarno pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, telah melanggar perjanjian internasional dan prinsip Hukum Internasional, sehingga menjadikan masalah NRI melawan NKB bukanlah sebagai suatu masalah antara 2 (dua) negara, tetapi lebih kepada masalah dalam negeri (internal): “Negara Kerajaan Belanda”.
Plebisit (plebiscite) sebagai mekanisme implementasi ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ (the Right of Self-Determination) dari ‘rakyat’ (people / nation / ethnic) telah menjadi salah satu dari 6 (enam) prinsip dasar hukum internasional, dan salah satu ‘norma dasar hukum internasional umum’ (jus cogens). Oleh karena plebisit sebagai cara pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) berdasarkan hukum internasional tidak dilakukan dalam proses pembentukan ‘Negara Republik Indonesia’ (NRI) pada hari jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dari sebanyak kurang lebih 69 (enam puluh sembilan) orang dalam BPUPK yang dibentuk oleh Penguasa Militer Pemerintah Fasis Negara Kekaisaran Jepang, maka pemerintah Negara Kerajaan Belanda mengambil alih “tanggungjawab (responsibility)” untuk melaksanakan plebisit sebagai mekanisme implementasi hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) berdasarkan pertimbangan bahwa ke-69 (enam puluh sembilan) orang anggota BPUPK dimaksud tidak dipilih oleh rakyat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), tetapi dipilih hanya oleh Sukarno sendiri dan ditetapkan dengan persetujuan Penguasa Militer Pemerintah Fasis Negara Kekaisaran Jepang, sehingga ke-69 (enam puluh sembilan) orang anggota BPUPK tidak dapat dikatakan sebagai wakil representatif yang sah dari rakyat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie).
Sebagai wujud “tanggungjawab (responsibility)” pemerintah Negara Kerajaan Belanda dalam rangka melaksanakan plebisit sebagai mekanisme implementasi hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) berdasarkan Hukum Internasional, maka Pemerintah Negara Kerajaan Belanda berupaya untuk mengakomodir seluruh kepentingan dari ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), termasuk kepentingan: “bangsa / etnis Jawa”. sekalipun bangsa / etnis Jawa itu sendiri, selalu mempunyai “kecurigaan (Prejudice)” terhadap “niat baik (goodwill)” Pemerintah Negara Kerajaan Belanda tersebut, sebagai: “niat jahat (badwill)”. Jika ditelaah dari sudut pandang keputusan BPUPK tentang wilayah Negara Indonesia yang adalah wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) sebagaimana tersebut di atas, maka sesungguhnya Pemerintah Negara Kerajaan Belanda sedang berusaha keras agar bangsa / etnis Jawa jangan sampai menguasai seluruh wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie). Upaya keras Pemerintah Negara Kerajaan Belanda ini dimulai dengan perundingan untuk pertamakalinya di Pulau Jawa, antara wakil-wakil Negara Republik Indonesia (NRI) dan wakil-wakil Negara Kerajaan Belanda (NKB), tetapi perundingan dimaksud mengalami kegagalan total pada bulan November tahun 1945.
Catatan: Gagasan membentuk PBB untuk pertamakalinya mulai dibicarakan dalam suatu Konferensi Dewan Antar-Sekutu Pertama di Istana Saint James di London, Inggris, pada hari Kamis, tanggal 12 Juni 1941, oleh dan di-antara 13 (tiga belas) negara yang diakhiri dengan penandatanganan: “Deklarasi London”. Salah satu dari ke-13 (tiga belas) Negara itu, adalah: “Belanda”. Pada hari Kamis, tanggal 14 Agustus 1941, Visi/misi awal yang menjadi prinsip dasar dari pembentukan PBB, diletakkan untuk pertamakalinya dalam: “Piagam Atlantik”. Penyesuaian teritorial harus sesuai dengan keinginan masyarakat yang bersangkutan, dan semua orang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, adalah 2 (dua) dari 8 (delapan) klausula utama Piagam Atlantik. Salah satu dari 10 (sepuluh) negara pertama dalam Konferensi Dewan Antar-Sekutu Kedua di London, Inggris, pada hari Rabu, tanggal 24 September 1941, yang dengan suara bulat telah mengadopsi kepatuhan terhadap prinsip-prinsip umum Piagam Atlantik, adalah: “Belanda”. Pada hari Kamis, tanggal 1 Januari 1942, 26 (dua puluh enam) negara – termasuk Belanda – menyatakan kepatuhan mereka terhadap prinsip-prinsip umum Piagam Atlantik. Pada hari Rabu, tanggal 25 April 1945, 50 (lima puluh) Negara – termasuk Belanda – bertemu di San Fransisco, California, Amerika Serikat, dalam: “Konferensi San Fransisco”. Konferensi ini, kemudian menghasilkan Piagam PBB pada hari Senin, tanggal 25 Juni 1945. Pada saat didirikannya PBB dan/atau pada saat berlakunya Piagam PBB di hari Rabu, tanggal 24 Oktober 1945, salah satu dari 51 (lima puluh satu) Negara anggota PBB itu, adalah: “Belanda”. Jadi, sikap Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia, yang ‘mencurigai’ (prejudise) kembalinya Belanda sebagai kembalinya penjajahan, adalah: “amat sangat tidak berdasar sama sekali”. Sebab kembalinya kekuasaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) itu adalah tidak lagi sebagai penjajah, tetapi lebih sebagai apa yang ditetapkan dalam Piagam PBB khususnya Pasal 73 dan Pasal 74 dari Bab XI tentang Deklarasi mengenai Wilayah-wilayah yang tidak Berpemerintahan Sendiri, yaitu, sebagai: “Penerima Amanat Suci”. Bab XI dari Piagam PBB tersebut, adalah salah satu dari beberapa Bab dalam Piagam PBB yang mengatur tentang proses: “Pengakhiran Penjajahan (dekolonisasi)”. Dalam hubungan dengan dekolonisasi ini, sejarah mencatat bahwa, sejak PBB didirikan pada tahun 1945 hingga saat ini, lebih dari 80 (delapan puluh) negara yang dahulunya merupakan wilayah jajahan telah memperoleh kemerdekaannya, dan lebih dari 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta) orang telah mendapatkan hak untuk menentukan nasib sendiri mereka, kecuali 300 (tiga ratus) bangsa / etnis dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), termasuk didalamnya: “Bangsa / etnis Alifuru dalam wilayah daerah Maluku Selatan”.
Namun demikian, Pemerintah Negara Kerajaan Belanda tidak lalu menjadi putus asa dan hilang harap, sebab pada hari Minggu, tanggal 14 April 1946 sampai/dengan hari Rabu, tanggal 24 April 1946, dilakukan suatu pertemuan di Hoge Veluwe, di Nederland (Belanda), dimana Pemerintah ‘Negara Republik Indonesia’ (NRI) mengusulkan kepada Pemerintah ‘Negara Kerajaan Belanda’ (NKB) agar: “Indonesia (bangsa / etnis Jawa) diberi kedaulatan penuh atas seluruh ‘wilayah artifisial’ (artificial region) yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie)”. Tetapi usul Pemerintah NRI tersebut ditolak mentah-mentah oleh Pemerintah NKB, bahkan Pemerintah NKB tidak memberikan pengakuan terhadap kekuasaan Pemerintah NRI atas Pulau Sumatera (Andalas). Pemerintah NKB hanya mengakui NRI sebagai salah satu Negara Bagian dalam Indonesia yang Federatif. Jika ditelaah dari sudut pandang konteks ini, maka dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa, sejak Sukarno (bangsa / etnis Jawa) memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sebagai suatu negara pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, sejak saat itu pula telah terdapat dan/atau telah ada “niat jahat” dari Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia untuk “menghilangkan dan/atau melenyapkan kedaulatan dan kemerdekaan” dari ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis lainnya yang ada dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), termasuk didalamnya: “Bangsa / etnis Alifuru dalam wilayah daerah Maluku Selatan”.
Dalam rangka menghambat “niat jahat” dari Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia untuk menghilangkan dan/atau melenyapkan kedaulatan dan kemerdekaan dari ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis lainnya yang ada dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), maka pemerintah NKB pada hari Selasa, tanggal 16 Juli 1946 sampai/dengan hari Rabu, 24 Juli 1946, melakukan suatu konferensi di Malino, Sulawesi (Celebes), yang dihadiri oleh utusan dan/atau wakil dari seluruh wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), termasuk pemerintah NRI (bangsa / etnis Jawa). Hasil nyata dari Konferensi Malino ini adalah, proklamasi Indonesia Timur sebagai suatu negara yang berdaulat dan merdeka pada hari Selasa, tanggal 24 Desember 1946, berdasarkan hasil keputusan muktamar di Denpasar, Bali, yang berlangsung dari hari Sabtu, tanggal 7 Desember 1946 sampai/dengan hari Selasa, tanggal 24 Desember 1946. Terdapat 13 (tiga belas) daerah yang tergabung dalam ‘Negara Indonesia Timur’ (NIT) berdasarkan Staatblad 1946-143, yaitu seperti tersebut di bawah ini: “Selawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan Sangihe / Talaud, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor & kepulauan sekitarnya, Maluku Utara, dan Maluku Selatan” (Matulessy, John Thomas Edward (2003) Legitimasi Hukum Dan Dukungan Internasional Bagi Tuntutan Kemerdekaan Dan Kedaulatan Republik Maluku Selatan. Yogyakarta: Skripsi, h. 44-46).
Catatan: Negara Indonesia Timur (NIT) oleh Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai bangsa Indonesia, selalu dinyatakan sebagai: “Negara Boneka Belanda bentukan Letnan Gebernur Jenderal Hindia Belanda: Hubertus Johannes van Mook”. Namun demikian, pernyataan tersebut bukanlah suatu pernyataan yang mengandung kebenaran objektif, tetapi lebih kepada suatu bentuk pernyataan yang mengandung: “kebohongan publik”. Perihal ini dapat dikatakan demikian, karena terdapat banyak sekali pernyataan lain mengenai ‘Negara Indonesia Timur’ (NIT) yang bertolak-belakang dengan pernyataan Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Salah satu pernyataan itu datang dari Julius Tahija (1916-2002): “Pendukung Republik (Indonesia – Penulis) melihatnya (NIT – Penulis) sebagai negara boneka Belanda. Saya sendiri melihatnya sebagai mitra sejajar Republik (Indonesia – Penulis) … Parlemen yang merakyat dan demokratis segera berkembang. Sidang-sidangnya terbuka dan sehat, posisinya kuat, dan pemimpinnya siap mengkritik dan berkonfrontasi dengan Belanda. Pernah terjadi, misalnya, Belanda memblokir uang untuk stasiun radio Indonesia bagian timur, karena mereka menganggap pandangan-pandangan sebagai menteri penerangan (Julius Tahija – Penulis) terlalu radikal. Saya mengumumkan kepada para pendengar bahwa kami ‘tidak sepakat dengan Pemerintah Belanda’ dan menutup stasiun radio tersebut. Tiga hari kemudian, datang pesawat dengan uang kami” (Tahija, Julius (2009) Melintas Cakrawala. Jakarta: Yayasan Tahija, 163 & 164). Pernyataan lainnya, datang dari James Luhulima:“Walaupun Negara Indonesia Timur oleh Republik Indonesia dianggap sebagai boneka bikinan Belanda – dalam hal ini Letnan Gubernur Jenderal van Mook – tetapi dalam kenyataannya Pemerintahan Negara Indonesia Timur berfungsi penuh sebagai Pemerintah Negara Bagian” (Luhulima, James (2022) 17 Agustus 1950, NKRI Terbentuk. Jakarta: Kompas, h. 119).
Setelah Konferensi Malino sebagaimana tersebut di atas, pemerintah Negara Kerajaan Belanda (NKB) masih melakukan berbagai perundingan lagi dengan pemerintah Negara Republik Indonesia (NRI) (bangsa / etnis Jawa) sebagai suatu bentuk usaha keras pemerintah NKB guna terus menghambat “niat jahat” dari Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai bangsa Indonesia untuk menghilangkan dan/atau melenyapkan kedaulatan dan kemerdekaan dari ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis lainnya yang ada dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie). Perundingan-perundingan itu, kemudian menghasilkan beberapa perjanjian sebagai berikut: “Perjanjian Linggardjati (hari Selasa, tanggal 25 Maret 1947); dan Perjanjian Renville (hari Sabtu, tanggal 17 Januari 1948))”. Sebagaimana hasil pertemuan Hoge Veluwe (Rabu, tanggal 24 April 1946) maupun hasil konferensi Malino (Rabu, tanggal 24 Juli 1946) seperti tersebut di atas, maka hasil perjanjian Linggardjati (Selasa, tanggal 25 Maret 1947) maupun hasil Perjanjian Renville (Sabtu, tanggal 17 Januari 1948) – baik pemerintah NKB maupun pemerintah NRI – pada prinsipnya: “Setuju untuk membentuk suatu Negara Federasi dan/atau Negara Serikat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie); dan setuju untuk menerima plebisit (plebiscite) sebagai cara pelaksanaan dan/atau mekanisme implementasi ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ (the Right of Self-Determination) dari rakyat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie)”.
Catatan: Negara Federasi dan/atau Negara Serikat (Federation State) dan bukannya Negara Kesatuan dan/atau Negara Unitarian (Unity State) adalah merupakan suatu pilihan dari Negara Kerajaan Belanda untuk membentuk suatu Negara di wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) dan/atau Hindia-Belanda (Nederland-Indie) sebagaimana janji yang dinyatakan sendiri oleh Kepala Negara dan/atau Mahkota Kerajaan Belanda, yaitu: “Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau (1880 – 1962)”. Ratu Wilhelmina mengikrarkan janjinya itu dalam pidato di London, Inggris, pada hari Senin, tanggal 7 Desember 1942, yang menjadi terkenal dengan sebutan “Pidato London (London Rede)”, 2 (dua) tahun sebelum Perdana Menteri Negara Kekaisaran Jepang, Kuniaki Koiso (1880 – 1950) – pengganti Hideki Todjo (1884 – 1948) – mengucapkan secara resmi janji kemerdekaan kepada rakyat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) dan/atau Hindia-Belanda (Nederland-Indie) pada hari Kamis, tanggal 7 September 1944. Akan tetapi, 27 (dua puluh tujuh) tahun sebelum Ratu Wilhelmina mengucapkan janjinnya itu, telah dilakukan suatu penelitian ilmiah selama kurang lebih 25 (dua puluh lima) tahun, yang dimulai dari gagasan Ir. Ritsema van Eyck pada tahun 1916 sampai/dengan diserahkannya ‘Laporan Reformasi Ketatanegaraan dan Ketatausahaan Negara Hindia-Belanda’ (Verslag ter Hervorming van Staatkundig en Bestuurs Beleid van Nederlands Indie) oleh Dr. Frans Herman Visman, ketua Komisi Visman kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada hari Sabtu, tanggal 6 Desember 1941. Komisi Visman itu sendiri dibentuk pada hari Sabtu, tanggal 14 September 1940, oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Jonkheer Mr. Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer, dengan tugas untuk mempelajari pilihan-pilihan dan/atau opsi-opsi format ketatanegaraan dan ketatausahaan Negara Hindia-Belanda dimasa depan, setelah terjadi perdebatan pada tahun 1916, tahun 1926, dan tahun 1938, antara kubu sistem ‘Negara Kesatuan’ (eenheidsstaat) yang dipimpin oleh Proff. Cornelis Van Vollenhoven (1874 – 1933) dari Universitas Leiden, dan kubu sistem ‘Negara Serikat’ (Bundesstaat) yang dipimpin oleh Proff. Colijn dari Universitas Utrecht. Pilihan / opsi Negara Serikat oleh Komisi Visman didasarkan atas pendapat bahwa, Hindia-Belanda adalah wilayah yang amat sangat beragam (Heterogen / Plural / Bhineka) di satu sisi, tetapi di sisi yang lain tingkat saling ketergantungan bagian-bagian dari wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) ini sangat tinggi. Jadi, ada keberagaman (diversity) di satu sisi, tetapi ada saling membutuhkan di sisi lainnya. 2 (dua) faktor yang cocok sekali untuk dasar-dasar sistem: “Negara Serikat”.
Pemerintah Negara Kerajaan Belanda (NKB) kemudian mengimplementasikan prinsip hukum internasional mengenai ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ (the Right of Self-Determination) dari rakyat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) ketika Pemerintah NKB melaksanakan pembentukan negara bagian – negara bagian dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), sehingga terbentuklah 16 (enam belas) negara bagian dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) termasuk negara bagian Negara Republik Indonesia (NRI) yang telah terbentuk pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945. Pada hari Rabu, tanggal 7 Juli 1948, bertempat di kota Bandung, Jawa Barat, 15 (lima belas) negara bagian – tidak termasuk negara bagian NRI (Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945) – bersepakat untuk membentuk suatu organ dan/atau badan dan/atau lembaga dan/atau institusi yang bernama: “Majelis Permusyawaratan Federal (MPF) (Bijeenkomst voor Federaal Overleg(BFO)”. Setelah MPF/BFO terbentuk, dilaksanakanlah suatu konferensi di kota Den Haag, Belanda, oleh dan di-antara Negara Kerajaan Belanda (NKB), Negara Republik Indonesia (NRI), dan Majelis Permusyawaratan Federal (MPF/BFO) yang berlangsung dari hari Selasa, tanggal 23 Agustus 1949 hingga hari Rabu, tanggal 2 November 1949. Konferensi ini dikenal dengan istilah: “Konferensi Meja Bundar (KMB) (Round Table Conference (RTC) / Rondetafelconferentie (RTC))” (Sjahdeini, Sutan Remy (2021) Sejarah Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana, h. 161).
Dalam acara penutupan KMB/RTC pada hari Rabu, tanggal 2 November 1949, pihak Negara Kerajaan Belanda (NKB) dan pihak Negara Republik Indonesia (NRI) serta pihak MPF/BFO, berhasil mencapai kesepakatan bersama dengan menandatangani persetujuan KMB/RTC yang salah satu dari persetujuan itu adalah bahwa, Pemerintah ‘Negara Kerajaan Belanda’ (NKB) akan menyerahkan kedaulatan atas Hindia-Timur (Oost-Indie) dan/atau Hindia-Belanda (Nederland-Indie) kepada Negara ‘Republik Indonesia Serikat’ (RIS) pada bulan Desember tahun 1949. Pada hari Selasa, tanggal 27 Desember 1949, bertempat di Istana Dam (Paleis op de Dam), Amsterdam, Belanda, dilakukan upacara penyerahan kedaulatan (souvereniteits overdracht) dari Pemerintah ‘Negara Kerajaan Belanda’ (NKB) kepada Pemerintah Negara ‘Republik Indonesia Serikat’ (RIS), berdasarkan hasil keputusan KMB/RTC, pasal 1 tentang ‘Piagam Penyerahan Kedaulatan’ (the Charter of the Transfer of Sovereignty), yaitu, bahwa: “Negara Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat dan dengan tidak dapat dicabut kembali dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat secara tidak bersyarat dan tidak dapat dicabut, dan pengakuan Negara Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat”.
Jika ditelaah dari sudut pandang Pasal 1 keputusan KMB/RTC seperti tersebut di atas, maka adalah sangat jelas dan terang benderang serta tidak dapat dibantah sama sekali, bahwa: “Negara Kerajaan Belanda (NKB) menyerahkan kedaulatan kepada Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan bukan kepada Negara Republik Indonesia (NRI)”. Dimana di dalam Negara RIS terdapat 16 (enam belas) negara bagian, yang salah satu dari ke-16 (enam belas) negara bagian itu, adalah: “Negara Bagian ‘Negara Republik Indonesia’ (NRI) yang diproklamasikan berdirinya pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945”. Namun demikian, perjanjian-perjanjian sebagai hasil dari keputusan KMB/RTC khususnya perjanjian ketiga tentang ‘Langkah-Langkah Transisi’ (Transitional Measures) terutama Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2), yang disusun berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional, telah membuka peluang bagi negara bagian – negara bagian dalam Negara RIS untuk, memilih: “bergabung dengan negara bagian lain yang sudah ada atau membangun suatu hubungan khusus dengan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Kerajaan Belanda (NKB)”. Akan tetapi, keputusan terhadap pilihan-pilihan tersebut harus dilakukan melalui plebisit sebagai mekanisme implementasi prinsip Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri dari rakyat dalam negara bagian – negara bagian Negara ‘Republik Indonesia Serikat’ (RIS).
Catatan: Plebisit merupakan mekanisme implementasi dari Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri. Sementara Hak untuk menentukan nasib sendiri itu sendiri adalah salah satu tujuan utama dari 4 (empat) tujuan utama PBB/UN sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB/UN, Bab I, Pasal 1, ayat (2). Dimana Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri ini kemudian diteguhkan lagi sebagai salah satu prinsip dari 6 (enam) prinsip dasar dalam hukum Internasional seperti yang tercantum dalam paragraf ke-empat dari Resolusi UNGA, nomor: 2625 (XXV), hari Sabtu, tanggal 24 Oktober 1970, tentang Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan-hubungan Bersahabat dan Kerjasama antara Negara-negara sesuai dengan Piagam PBB. Ke-enam prinsip fundamental dalam Hukum Internasional dimaksud, termasuk didalamnya prinsip Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri, juga telah merupakan: “Jus Cogens (Norma Dasar Hukum Internasional Umum (Peremtory Norm of General International Law))”. Dimana, Jus Cogensbukan merupakan Norma Biasa (Ordinary Norm). Selain itu, Jus Cogens merupakan juga Norma Tertinggi (the Highest Norm) dalam Hukum Internasional, dan bukan merupakan suatu Norma yang bersifat mengatur (Jus Dispositivum Norm) yang dapat disimpangi (Derogable) dan/atau dapat dicabut (Alienable), tetapi Jus Cogensadalah suatu norma yang bersifat memaksa (Imperative Norm) yang tidak dapat disimpangi (non-Derogable) bahkan tidak dapat dicabut (Inalienable). Dimana semua Jus Dispositivum Norm selalu harus sesuai dengan Jus Cogens karena jika suatu Jus Dispositivum Norm tidak sesuai dengan Jus Cogens, maka Jus Dispositivum Norm itu akan: “batal demi hukum (Ex Nunc) atau batal secara otomatis (Null and Void)”(Situni, F. A. Whisnu (1989) Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional. Bandung, Mandar Maju, h. 101). Dalam hubungan ini, Proff. Hikahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D., menyatakan bahwa, jika ditelaah dari sudut pandang teori Stufenbau (the higher-lower level approach) dari Hans Kelsen dalam bukunya dibawah judul, Teori Murni tentang Hukum (the Pure Theory of Law), maka Jus Cogens berada pada tingkatan ‘norma tertinggi’ (the Highest Norm), sedangkan prinsip Hukum Internasional mengenai Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri sebagaimana yang terdapat dalam Piagam PBB/UN berada pada tingkatan ‘norma dasar’ (the Basic Norm), dan Perjanjian-perjanjian Internasional seperti Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan-hubungan Bersahabat dan Kerjasama antara Negara-negara sesuai dengan Piagam PBB, berada pada tingkatan ‘Peraturan Pelaksanaan’ (the Lowest act of Application).
Beberapa ketentuan seperti yang tertuang dalam perjanjian ketiga tentang ‘Langkah-Langkah Transisi’ (Transitional Measures) khusunya mengenai plebisit sebagai mekanisme implementasi prinsip Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri dari rakyat dalam negara bagian – negara bagian Negara RIS untuk, memilih: “bergabung dengan negara bagian lain yang sudah ada atau membangun suatu hubungan khusus dengan Negara Republik Indonesia Serikat dan Negara Kerajaan Belanda”, sebagaimana tersebut di atas, kemudian dituangkan juga di dalam Undang-Undang Dasar Negara RIS, khususnya Bab II, Bagian I, Babakan I, Pasal 43 dan Pasal 44, yang dinyatakan sah berlaku sebagai hukum positif melalui Undang-undang, nomor: 11, pada hari Kamis, tanggal 15 Desember 1949. Pasal-pasal ini, kemudian diperkuat lagi dengan Undang-Undang Darurat Negara RIS, nomor: 11, hari Rabu, tanggal 8 Maret 1950, tentang “Tata Cara Susunan Kenegaraan Dari Wilayah Republik Indonesia Serikat”. Akan tetapi, Karen Parker J. D. menyatakan, bahwa: “Undang-undang Darurat Negara RIS, nomor: 11, hari Rabu, tanggal 8 Maret 1950 tentang Tata Cara Susunan Kenegaraan dari Wilayah RIS, menampung berbagai bentuk reformasi politik, termasuk plebisit, akan tetapi untuk dapat menerapkan plebisit itu sendiri ada banyak pengecualiannya, bahkan sebenarnya plebisit itu tidak pernah diadakan” (Parker J. D., Karen (1996)Republik Maluku: The Case for Self-determination. Geneva: HLP/IED, h. 11).
Catatan: Karen Parker, J. D., adalah seorang Direktur pada ‘Proyek Hukum Kemanusiaan’ (Humanitarian Law Project (HLP)) dan/atau Pembangunan Pendidikan Internasional (International Educational Development(IED)), dan merupakan seorang Pengacara Hukum pada ‘Asosiasi Pengacara-pengacara Kemanusiaan’ (Association of Humanitarian Lawyers (AHL)) yang mengkhususkan diri dalam masalah HAM (Human Right’s) dan ‘Hukum Kemanusiaan’ (Humanitarian Law) dimana Karen Parker merupakan Wakil Utama organisasi HLP/IED di PBB, di Jenewa, Austria, dan di New York, Amerika Serikat (AS) (the United States of America (USA)). HLP/IED yang berkantor pusat di 8124 West Third Street, Los Angeles, California 90048, USA, merupakan suatu ‘Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)’ (Non-Governmental Organization (NGO)) yang tidak berorientasi pada sekte manapun (non-sectarian) dan yang telah diberi kepercayaan untuk pengadaan jasa konsultasi kepada badan-badan PBB oleh mantan ‘Sekretaris Jenderal’ (Sekjen) PBB, Dag Hjalmar Agne Carl Hammarskjold (1905-1961).
Sukarno (Proklamator kemerdekaan Negara Republik Indonesia (NRI) dan Presiden pertama NRI) dalam kedudukan dan jabatannya sebagai Presiden Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) kemudian membubarkan satu demi satu dari ke – 16 (enam belas) negara bagian dalam Negara RIS melalui ‘Keputusan Presiden’ (KEPRES) / Dekrit tanpa melalui suatu proses plebisit seperti yang telah ditetapkan dalam Konstitusi Negara RIS. Sukarno (bangsa / etnis Jawa) juga memproklamasikan pembentukkan ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI) pada hari Kamis, tanggal 17 Agustus 1950 – tanpa membubarkan Negara RIS itu sendiri – 9 (sembilan) bulan setelah Hasil Keputusan KMB/RTC dinyatakan sah berlaku sebagai hukum positif melalui Undang-undang, nomor: 10, pada hari Kamis, tanggal 15 Desember 1949 dan/atau 3 (tiga) hari setelah Hasil Keputusan KMB/RTC didaftarkan pada Sekretariat PBB/UN dibawah, nomor: 894, pada hari Senin, tanggal 14 Agustus 1950. Akan tetapi, Hasil Keputusan KMB/RTC ini, kemudian dibatalkan secara ‘sepihak’ (unilateral) oleh Sukarno – tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Negara Kerajaan Belanda (NKB) dan MPF/BFO sebagai pihak yang terafiliasi dalam KMB/RTC – pada hari kamis, tanggal 3 Mei 1956 melalui Undang-Undang NKRI, nomor: 13, tahun 1956, tentang “Pembatalan Hubungan Indonesia-Nederland Berdasarkan Perjanjian dari hasil Konperensi Meja Bundar”. Dalam konteks ini, menjadi terang, jelas, dan benar serta terbukti dengan sendirinya akan “niat jahat” dari Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai bangsa Indonesia dalam menghilangkan dan/atau melenyapkan kedaulatan dan kemerdekaan dari ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), termasuk didalamnya: “Bangsa / etnis Alifuru dalam wilayah daerah Maluku Selatan”.
Catatan: Pembubaran ke–16 (enam belas) negara bagian dalam Negara RIS dan pembentukkan NKRI pada hari Kamis, tanggal 17 Agustus 1950, bukanlah sesuatu yang seharusnya terjadi, tetapi lebih daripada itu lagi adalah sesuatu yang telah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya agar terjadi, bahkan sebelum Negara RIS itu sendiri dibentuk pada hari Selasa, tanggal 27 Desember 1949. Sekalipun dalam pembentukkan Negara RIS tersebut, 226 (dua ratus dua puluh enam) orang anggota ‘Komite Nasional Indonesia Pusat’ (KNIP) setuju, 62 (enam puluh dua) orang anggota KNIP menolak, dan 31 (tiga puluh satu) orang anggota KNIP abstain. Perihal ini adalah sangat berbeda dengan perjanjian-perjanjian yang pernah dibuat sebelumnya oleh dan di-antara Pemerintah NRI dengan Pemerintah NKB. Dimana jumlah anggota KNIP yang menolak dan yang setuju: “hampir berimbang”. Perihal ini adalah seperti yang dinyatakan oleh Daradjadi dalam halaman 165 sampai / dengan halaman 182 dari buku dibawah judul, Mr. Sartono, Pejuang Demokrasi & Bapak Parlemen Indonesia, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2014, oleh penerbit Kompas: “Sejak Perjanjian KMB diratifikasi, Sukarno-Sartono sudah menyusun langkah untuk membubarkan negara-negara federal”. Bahkan, guna memuluskan langkah Sukarno – yang pada saat itu telah dilantik menjadi Presiden Negara RIS pada hari Sabtu, tanggal 17 Desember 1949 – dan Sartono untuk membubarkan negara-negara federal, “Orang-orang Yogyakarta” (wakil-wakil dari negara bagian ‘Negara Republik Indonesia’ (NRI)) telah bersepakat untuk membendung wakil-wakil dari 15 (lima belas) negara bagian lainnya agar pimpinan Parlemen Negara RIS tidak sampai jatuh ke tangan orang-orang yang berasal dari Ke – 15 (lima belas) negara bagian lainnya itu, sehingga Mr. Sartono (bangsa / etnis Jawa) pada akhirnya dapat terpilih menjadi dan/atau sebagai Ketua Parlemen Negara RIS yang pertama. Setelah itu, Sukarno-Sartono dan “Orang-orang Yogyakarta” mengambil jalan untuk membubarkan negara-negara federal melalui gerakan dari daerah, dimana gerakan untuk kembali ke Negara Kesatuan dimulai dari negara bagian Sumatera Selatan. Setelah ke-16 (enam belas) negara bagian dibubarkan oleh Sukarno-Sartono tanpa membubarkan Negara RIS itu sendiri, maka disahkanlah Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjadi: “Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD-NKRI)”. Ironisnya adalah, Ketua Panitia Perancang UUD-NKRI ialah, Proff. Mr. Dr. Soepomo, yang notabene adalah salah satu dari 8 (delapan) orang anggota “Komisi Visman” yang tidak memilih bentuk Negara Kesatuan bagi wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), tetapi yang memilih: “Negara Serikat (Federation State / Bondstaat / Bundesstaat)”.
Meskipun pada hari Kamis, tanggal 22 Januari 1948, Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dalam kedudukan dan jabatannya sebagai Presiden Negara Republik Indonesia (NRI) telah mengakui keberadaan dan/atau eksistensi (existence) Negara Indonesia Timur (NIT) yang diproklamasikan kemerdekaannya pada hari Selasa, tanggal 24 Desember 1946, sebagai suatu negara yang berdaulat, dengan menandatangani suatu dokumen berupa piagam saling mengakui antara NRI dengan NIT, tetapi Sukarno (bangsa / etnis Jawa) kemudian tetap saja membubarkan NIT pada hari Jum’at, tanggal 21 April 1950. Dimana dari 13 (tiga belas) daerah otonom dalam wilayah NIT – sebagaimana yang telah diatur dalam Staatsblad 1938, nomor: 68; dan Staatsblad 1938, nomor: 264; kecuali daerah Papua Barat – 12 (dua belas) daerah otonom dalam wilayah NIT menyatakan bergabung dengan NRI, sedangkan 1 (satu) daerah otonom dalam wilayah NIT menyatakan menolak bergabung dengan NRI, yaitu: “Maluku Selatan” (Cribb, Robert dan Audrey Kahin (2012) Kamus Sejarah Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, h. 454-455). Terhadap penolakan Daerah Maluku selatan ini, yaitu untuk tidak bergabung dengan Negara Republik Indonesia (NRI), Julius Tahija, dalam halaman 192 dari buku dibawah judul, Melintas Cakrawala, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2009 oleh Yayasan Tahija, menyatakan, bahwa: “Orang-orang Maluku sangat berjiwa bebas, dan merekalah yang pertama-tama melawan Soekarno”.
Catatan: Letnan Kolonel Tentara Nasional Indonesia – Aangkatan Darat (Letkol TNI – AD) Julius Tahija adalah bukan orang Belanda pertama dan satu-satunya yang pernah menjadi perwira pembantu ‘Jenderal Simon Hendrik Spoor (1902 – 1949)’ (Kepala Staf Angkatan Perang (KASTAP) Hindia-Belanda) serta penerima tanda kehormatan militer tertinggi dari pemerintah Negara Kerajaan Belanda yaitu, ‘bintang tertinggi untuk seorang militer di Belanda’ (Militaire Willems-Orde) yang sejajar dengan bintang Congressional Medal of Honour dari ‘Amerika Serikat’ (AS) (the United States of America), bintang Victoria Cross dari ‘Kerajaan Inggris’ (United Kingdom) atau ‘Bintang Sakti’ dari NKRI yang hanya diberikan kepada orang-orang paling berani dalam perang. Letkol TNI-AD Julius Tahija adalah juga salah seorang utusan ‘Dewan Maluku Selatan’ (DMS) dalam muktamar di Denpasar, Bali (hari Sabtu, tanggal 7 Desember 1946 sampai / dengan hari Selasa, tanggal 24 Desember 1946) yang menjadi dasar pembentukan ‘Negara Indonesia Timur’ (NIT) pada hari Selasa, tanggal 24 Desember 1946. Julius Tahija kemudian menjadi salah seorang wakil wilayah Daerah Otonom Maluku Selatan dalam Parlemen NIT, dan kemudian juga menjadi anggota Kabinet NIT yang pertama, serta secara berturut-turut menjabat sebagai Menteri Penerangan NIT, Menteri Sosial NIT, Menteri Ekonomi NIT, dan Wakil NIT di Jakarta.
NIT sebenarnya diharapkan menjadi benteng terkuat dari ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) guna membendung “niat jahat” dari Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia untuk menghilangkan dan/atau melenyapkan kemerdekaan dan kedaulatan dari ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) setelah Negara Kerajaan Belanda tidak lagi memiliki kewenangan otoritatif untuk melindungi ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) tersebut, tetapi sejarah kemudian mencatat, bahwa: “NIT gagal”. Kegagalan NIT tersebut tidak menjadi penghalang bagi orang-orang bangsa / etnis Alifuru di Daerah Maluku Selatan untuk mengambil alih peran sebagai benteng terakhir dalam membendung “niat jahat” dari Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia untuk menghilangkan dan/atau melenyapkan kemerdekaan dan kedaulatan dari ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie). Dengan berdiri di atas dasar Pasal 5 ayat (1) dari Peraturan Pembentukan NIT, dan Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri yang telah diberikan oleh TUHAN dan Hukum Internasional, maka bangsa / etnis Alifuru dalam Daerah Maluku Selatan, pada hari Selasa, tanggal 25 April 1950, memproklamasikan suatu negara merdeka dan berdaulat yang bernama: “REPUBLIK MALUKU SELATAN (RMS)”.
Catatan: 2 (dua) bulan setelah RMS diproklamasikan sebagai suatu Negara yang berdaulat dan merdeka, para ahli hukum internasional yang tergabung dalam “Asosiasi Hukum Internasional Cabang Belanda (AHICB) (the Netherlands Association for International Law (NAIL) / de Nederlandse Vereninging voor International Recht (NVIR)) yang dalam sidangnya di Rotterdam, Belanda, pada hari Sabtu, tanggal 24 Juni 1950, menyatakan, bahwa: “Negara RMS telah memiliki hak untuk memproklamasikan kemerdekaannya itu terhadap pendapat siapapun juga”. Pendapat AHICB / NAIL / NVIR ini, kemudian menjadi bahan pertimbangan hukum pada keputusan Pengadilan ‘s-Gravenhage, Republik Maluku Selatan melawan Badan Hukum Nieuw-Guinea, hari Rabu, tanggal 10 Pebruari 1954, Dutch Case Law 1954, nomor: 549, halaman 1040 (Rechbank ‘s-Gravenhage, Republiek Maluku Selatan vs Rechtspersoon Nieuw-Guinea, 10 Februari 1954, Nederlandse Jurisprudentie 1954, no. 549, p. 1040), bahwa: “Melalui bukti-bukti yang diajukan dan juga sesuai dengan perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani, maka terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa RMS adalah suatu negara yang sah, berdaulat, dan merdeka”. Dengan merujuk pada keputusan Pengadilan tersebut, Hendrik Jan Roethof, menyatakan dalam tulisan di bawah judul, An Existing State, yang diterbitkan di Belanda pada tahun 1960 oleh A. W. Sythoff – Leyden, bahwa: “Negara RMS memiliki status hukum yang sangat besar melebihi negara-negara lain yang kedaulatannya telah diakui dan telah diterima sebagai anggota PBB”. Dalam hubungan dengan perihal ini juga, Karen Parker, J. D., menyatakan dalam halaman 7 dari “briefing paper” yang dipresentasikan pada sidang Komisi HAM PBB/UN di Jenewa, Austria, pada bulan Maret tahun 1996, di bawah judul, Republik Maluku: The Case for Self-determination, bahwa: “Perjanjian-perjanjian yang dihasilkan dalam KMB / RTC dan perjanjian-perjanjian bilateral sebelumnya (antara lain: Perjanjian Linggardjati, tanggal 25 Maret 1947, dan Perjanjian Renville, tanggal 17 Januari 1948) secara jelas memberi hak kepada rakyat Maluku untuk menentukan nasibnya sendiri. Meskipun tidak ada suatu pengakuan yang dapat dijadikan pegangan dalam perihal hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Maluku, rakyat Maluku telah memenuhi segala persyaratan dan/atau pengujian Hukum Internasional dalam perihal Hak untuk menentukan nasib sendiri. … Tuntutan rakyat Maluku akan hak untuk menentukan nasib sendiri – sekalipun dengan tidak adanya suatu perjanjian yang khusus – adalah sangat kuat”.
Sekalipun secara hukum, pembentukan Negara RMS sebagaimana tersebut di atas, telah memenuhi seluruh persyaratan dan ketentuan dari hukum ketata-negaraan maupun hukum internasional, tetapi Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia serta dibantu oleh orang-orang bangsa / etnis Alifuru sendiri yang berpihak kepada Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia, melakukan serangan (invasi) dengan kekerasan militer (agresi) dan menduduki (okupasi) serta mencaplok (aneksasi) daerah Maluku Selatan, dimana hampir sebanyak kurang lebih 5.000 (lima ribu) sampai/dengan 8.000 (delapan ribu) orang anak bangsa / etnis Alifuru di Daerah Maluku Selatan tewas dalam membendung “niat jahat” dari Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia untuk menghilangkan dan/atau melenyapkan kemerdekaan dan kedaulatan dari ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), termasuk didalamnya: “Bangsa / etnis Alifuru dalam wilayah daerah Maluku Selatan”(Bartels, Dieter (2017) Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan Di Maluku Tengah. Jakarta: ‘Kepustakaan Populer Gramedia’ (KPG), jilid II tentang Sejarah, h. 686).
Catatan: Perlawanan anak bangsa / etnis Alifuru di daerah Maluku Selatan terhadap serangan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia atas perintah Sukarno (bangsa / etnis Jawa) pada tahun 1950, bukanlah perlawan yang pertamakali dalam sejarah bangsa / etnis Alifuru di daerah Maluku Selatan terhadap bangsa / etnis lainnya yang datang dari luar daerah Maluku Selatan, dengan: “Niat Jahat”. Sejarah dunia – dan bukannya sejarah NKRI – yang telah mencatat bahwa, perlawanan bangsa / etnis Alifuru di daerah Maluku Selatan terhadap bangsa / etnis lainnya yang datang dari luar daerah Maluku Selatan dengan “niat jahat” adalah perlawanan yang untuk pertamakalinya terjadi dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-India) dan yang merupakan suatu peristiwa perlawanan terpanjang dalam sejarah perlawanan terhadap bangsa / etnis lainnya di wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie). Perlawanan ini dimulai untuk pertamakalinya, ketika Orang-orang Negeri Hitu di Jazirah Leihitu, Pulau Ambon, Daerah Maluku Selatan, pada tahun 1539, mengusir Bangsa Portugis keluar dari Jazirah Leihitu, dimana perang perlawanan terus berlangsung di daerah Maluku Selatan sampai/dengan tahun 1656, kurang lebih selama: “100 (seratus) tahun”. Dalam 20 (dua puluh) tahun terakhir perang 100 (seratus) tahun tersebut, munculah Achmad Salehua (1620 – 1689) alias Achmad Sangadji alias Kapitan Yongker yang berhasil menciptakan periode tenang dalam daerah Maluku Selatan selama kurang lebih: “100 (seratus) tahun”. Pada tahun 1817, bangsa / etnis Alifuru dalam daerah Maluku Selatan di bawah pimpinan Thommas Matulessy (1783 – 1817) alias Kapitan Pulo, kembali melakukan perlawanan terhadap bangsa Belanda. Sekalipun perlawanan ini hanya berlangsung selama 8 (delapan) bulan (hari Kamis, tanggal 15 Mei 1817 hingga hari Selasa, tanggal 16 Desember 1817), tetapi perlawanan tersebut merupakan salah satu perlawanan terberat bagi Bangsa Belanda dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie). Perlawanan anak bangsa / etnis Alifuru di daerah Maluku Selatan yang terakhir terhadap bangsa / etnis lainnya yang datang dari luar daerah Maluku Selatan dengan “niat jahat” adalah, perlawanan terhadap serangan mereka-mereka yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia atas perintah Sukarno (bangsa / etnis Jawa) pada tahun 1950. Perlawanan ini dipimpin oleh Mr. Dr. Christiaan Robbert Steven Soumokil (1905 – 1966) yang bergerilya di Pulau Seram hingga tahun 1963, kurang lebih selama: “13 (tiga belas) tahun”. Ada ceritera bahwa: “Bangsa / etnis Alifuru sudah jago berperang sejak masih dalam kandungan”. Tragisnya, selama hampir kurang lebih 500 (lima ratus) tahun, anak bangsa / etnis Alifuru berperang untuk menjadi tuan di rumah mereka sendiri, tetapi mereka selalu: “GAGAL”.
Dalam konteks sebagaimana tersebut di atas, pada satu sisi, secara hukum, masalah / persoalan aneksasi RMS oleh Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia belum selesai sampai/dengan saat tulisan ini diterbitkan dan nanti dimasa depan (!?). Akan tetapi, dalam konteks ini pula, pada sisi yang lain, secara politik, benteng terakhir dalam membendung “niat jahat”dari Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia untuk menghilangkan dan/atau melenyapkan kemerdekaan dan kedaulatan dari ke – 300 (tiga ratus) bangsa / etnis dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie), termasuk didalamnya untuk menghilangkan dan/atau melenyapkan kemerdekaan dan kedaulatan Bangsa / etnis Alifuru dalam wilayah daerah Maluku Selatan: “telah berhasil”. Jika ditelaah dari keseluruhan penjelasan dalam uraian pembahasan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat disebutkan dengan kata lain bahwa, klaim Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai bangsa Indonesia terhadap wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) sejak hari, jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, juga: “telah berhasil”.
Catatan: Masalah hukum antara Negara RMS dan NKRI tidak dapat dikatakan sebagai telah berakhir, mengingat aneksasi NKRI atas Negara RMS adalah suatu pelanggaran terhadap Hukum Internasional. Hukum Kebiasaan Internasional memang tidak melarang tindakan penaklukan (conquest) dan/atau pencaplokan (annexation) sampai / dengan tahun 1928, tetapi dengan ditandatanganinya Pakta Briand-Kellogg oleh 31 (tiga puluh satu) negara di Quai d’Orsay, Paris, Perancis, pada tahun 1928: “penaklukan (conquest) dan/atau pencaplokan (annexation) telah merupakan suatu tindakan yang dilarang dalam hukum internasional convensional”. Perihal ini, ditegaskan kembali dalam Bab I, Pasal 2, ayat (4) Piagam PBB/UN, lalu terakhir kali diperkuat secara eksplisit melalui Resolusi UNSC, nomor: 242 (S/RES/242) yang di-adopsi pada hari Rabu, tanggal 22 Nopember 1967, dan secara implisit melalui Resolusi UNSC, nomor: 338 (S/RES/338) yang di-adopsi pada hari Senin, tanggal 22 Oktober 1973. Dimana perolehan wilayah / teritori (territory) melalui aneksasi tidak dapat diterima sebagai ‘alas hak’ (title) yang baik, oleh karena itu tidak boleh diakui oleh semua negara di dunia, dan pengakuan terhadap aneksasi suatu negara atas negara lain adalah tidak sah, sebab bertentangan dengan ketentuan hukum internasional. Hukum Internasional menerima cara-cara damai sebagai ‘alas hak’ (title) yang baik untuk memperoleh wilayah / teritori (territory), dimana hukum internasional menyediakan prinsip Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri (the Right of Self-Determination) dari rakyat dalam suatu wilayah / teritori (territory) melalui plebisit (plebiscite) sebagai cara pelaksanaan dan/atau mekanisme implementasi (2 (dua) dari 8 (delapan) klausula utama Piagam Atlantik: (1) Penyesuaian teritorial harus sesuai dengan keinginan masyarakat yang bersangkutan, dan (2) semua orang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri). Dalam hubungan dengan konteks persoalan hukum antara Negara RMS dan NKRI, Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia telah melakukan 2 (dua) pelanggaran berat terhadap ketentuan hukum internasional. Pertama, Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan mereka-mereka yang menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia tidak melaksanakan plebisit sebagai cara pelaksanaan dan/atau mekanisme implementasi dari Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri dari rakyat dalam wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) sebagaimana yang telah disepakati dalam berbagai perjanjian dari tahun 1945 hingga tahun 1950. Kedua, Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia telah melakukan tindakan yang dilarang oleh hukum internasional atas kedaulatan dan kemerdekaan wilayah / teritori (territory) Negara RMS, yaitu: “PENCAPLOKAN / ANEKSASI (ANNEXATION)”.
Akan tetapi, jika ditelaah dari sudut pandang keputusan ‘Mahkamah Internasional’ (ICJ/CIJ) yang menolak klaim sejarah Israel terhadap wilayah bekas mandat Inggris atas ‘Palestina’ (Tanah Kanaan dan/atau Tanah Perjanjian) sekalipun klaim sejarah Israel terhadap wilayah bekas mandat Inggris atas ‘Palestina’ (Tanah Kanaan dan/atau Tanah Perjanjian) itu memiliki alas hak (title) yang sah, baik secara antropologis / sosiologis / objektif maupun secara psikologis / politis / subjektif bahkan secara theologis, maka bagaimanakah dengan klaim Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia terhadap sejarah wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) yang sama sekali tidak memiliki alas hak (title) yang sah, baik secara antropologis / sosiologis / objektif maupun secara psikologis / politis / subjektif apalagi secara theologis ???.
Dalam konteks dan kondisi sebagaimana tersebut di atas, pertanyaan yang amat sangat penting, prinsipil, esensial, substansial dan fundamental, adalah: “Apakah mungkin klaim Sukarno (bangsa / etnis Jawa) dan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia terhadap sejarah wilayah artifisial yang diciptakan oleh Pemerintah Negara Kerajaan Belanda atas wilayah Hindia-Timur (Oost-Indie) dapat diterima oleh ‘Mahkamah Internasional’ (ICJ/CIJ) ???”. Jawabannya – sudah amat sangat pasti – adalah: “TIDAK MUNGKIN (MUSTAHIL)”.