TITASTORY.ID, – Masyarakat Hoana (Desa) Minamin, Kecamatan Wasilei Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara kembali melakukan penolakan terhadap aktifitas pertambangan PT Mega Haltim Mineral (MHM), di kawasan hutan adat mereka.
Penolakan ini merupakan upaya masyarakat Hoana Minamin untuk menjaga kelesatarian hutan adat yang telah dititipkan oleh para leluhur mereka.
Bentuk penolakan warga ini terjadi lantaran pihak perusahan tidak menghargai dan mengabaikan masyarakat yang mendiami Desa Manamin.
Yulis Madam, warga Desa Minamin, kepada titastory.id mengatakan kehadiran perusahaan di Kawasan Desa Manamin merupakan upaya untuk melakukan ekplorasi tambang nikel. Ironisnya kehadiran pihak perusahan tidak mendapat persetujuan dari pemilik ulayat yang sudah tentu adalah masyarakat adat.
Dia mengatakan, masyarakat pemilik ulayat sempat beradu mulut dengan sejumlah karyawan yang sedang melakukan observasi dalam perencanaan untuk melakukan penambangan biji nikel. Bahkan katanya saat memasang jerat, Ia sempat dilerai.
“Saya sempat bertanya apa dasar dan alasan sehingga bisa melakukan aktifitas observasi dan survei sekaligus pengambilan sampel,” ungkap Yulis.
Yulis bersama ratusan masyarakat Minamin pernah melakukan aksi untuk menolak segala aktivitas tambang nickel yang dalam perencanaan menambang biji nickel di kawasan Hoana Minamin, oktober 2022 lalu.
Bahkan pada selasa 19 januari 2023, Ia mengatakan tim survei melakukan pengambilan sampel tanah di wilayah Hoana Minamin. Saat itu mereka berpapasan saat Ia pulang memasang dedeso (jerat). Di situ, mereka melakukan negosiasi dan sempat berdialog. Ia kemudian mendesak pihak perusahan dengan sejumlah pertanyaan.
“Siapa yang menyuruh untuk masuk di Kawasan Hutan, ini wilayah adat Hoana Minamin, apakah ada izin dari pemerintah desa atau ada musyawarah masyarakat dengan pihak perusahan,” tanya Yulis.
Setelah peristiwa itu, Yulis pun kembali menuju kediaman kepala desa dan menyampaikan perihal tersebut.
“Jawaban yang didapat dari Kepala Desa Minamin, Hendrik Notan adalah bahwa tidak ada izin,” katanya.
Diketahui bahwa PT MHM yang bergerak dalam bidang pertambangan nikel ini sudah tiga kali berkeinginan memasuki hutan di wilayah Hoana Minamin. Upaya itu sudah dilakukan sejak tahun 2019 hingga tahun 2023.
Tidak hanya itu, dalam prosesnya tidak ada penjelasan atau sosialisasi dari pihak perusahan yang menurut warga setempat adalah sidang AMDAL.
Terhadap hal itu, masyarakat menegaskan menolak aktifitas perusahan karena langkah yang diambil tidak sesuai prosedur atau mekanisme.
“Kami memastikan pihak perusahan sudah mengambil langkah yang tidak sesuai prisedur, sehingga patut untuk dihentikan,” tegas Yulis.
Tak hanya itu, para pemuda dan tokoh masyarakat Desa Minamin pun berbondong-bondong menuju ke salah satu rumah yang dikontrak pihak perusahan. Di sana mereka melakukan protes.
Roy Doongor, pemuda Desa Minamin mengatakan pertemuan yang dilakukan antara masyarakat dengan perwakilan perusahan pada tanggal 23 Januari 2023, terungkap kehadiran perusahan tersebut melalui izin salah satu warga. Oknum warga tersebut, kata Roy, memberikan jaminan dari kepada perusahaan. Penjelasan itu pun sontak membuat mereka kaget.
“Kita berikan peringatan kepada perwakilan perusahaan MHM bahwa warga Hoana Minamin tidak lagi percaya terhadap oknum yang disebutkan,” cetusnya. Mereka, kata Roy, menduga ada praktik mafia tanah yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dengan menjadi penghubung dengan pihak perusahaan. Sementara pemilik ulayat bahkan masyarakat adat Minamin bahkan tidak serta merta dilibatkan.
Atas kejadian itu, masyarakat pun meminta agar pihak perusahan untuk melakukan pertemuan dengan aparatur Desa maupun masyarakat Desa Minamin. Selain itu masyarakat juga meminta agar perusahaan tidak lagi meminta izin melalui orang lain.
Sejumlah poin tuntutan yang diutarakan masyarakat kepada pihak perusahaan MHM, salah satunya mereka mendesak agar perusahaan segera mengangkat kaki dari petuanan Desa mereka. Jika tuntutan dari masyarakat ini tidak diindahkan dan diabaikan maka mereka mengancam akan melakukan aksi besar-besaran.
“Kami meminta untuk pihak perusahan untuk menghargai masyarakat adat, jika hal itu tidak dilakukan maka sudah pasti akan ada aksi besar besaran,” tutupnya.
Sebelumnya, aksi penolakan aktivitas pertambangan nikel juga dilakukan oleh ratusan masyarakat adat Suku Togutil Habeba, Hoana Wangaeke Minamin Saolat dengan melakukan aksi pemalangan aktivitas pertambangan PT Weda Bay Nikel dan PT IWIP di kawasan Hutan adat Moleo Ma Bohuku (Tofu), Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku.
Aksi blokade dilakukan oleh masyarakat adat keturunan suku Togutil Habeba yang berada di dua Desa yakni Desa Saolat dan Desa Minamin sejak senin (26/9/2022) lalu.
Aksi ini dimulai dengan ritual adat oleh tetua adat dari kedua desa di pesimpangan jalan pertambangan PT WBN dan PT IWIP, Tofu.
Aksi pemalangan ini dilakukan dengan ritual atauprosesi adat “Bugo”. Ritual Bugo ini merupakan puncak dari aksi ritual adat masyarakat adat dari kedua Desa. Meski demikian mereka mengancam akan terus menduduki ruas jalan perusahaan ini sampai adanya jawaban pasti dari dari Perusahaan maupun Pemerintah Daerah terhadap tuntutan mereka.
Ketua adat Desa Minamin, Paulus Papua usai menggelar ritual adat Bugo menyampaikan tujuan melakukan upacara ritual adat ini untuk mempertahankan tanah adat dari leluhur mereka juga untuk mengembalikan kedaulatan untuk pengelolaan hutan adat ini.
“Selama ini tanpa sepengetahuan kami koorporasi pertambangan sudah mengambil alih kerja sama dengan birokrasi, tanpa izin bahkan tidak melibatkan proses tahapan ini dengan masyarakat adat, sehingga kami datang ke tempat ini untuk melakukan ritual adat,” ujarnya.
Dia menjelaskan keberadaan suku mereka yang tanahnya dan hutannya sudah dirampas oleh koorporasi pertambangan nikel yang beroperasi di hutan adat mereka.
“Wilayah tanah ulayat Para-para dan Minamin telah dirampas oleh PT Weda Bay Nikel dan PT IWIP, dan kehadiran kami di tengah hutan ini di tengah tanah ini yang sudah dilakukan ini adalah untuk memblokade seluruh aktivitas operasi pertambangan yaitu pembukaan jalan dan pengeboran dan eskplorasi,” tegasnya.
Yustinus Papuling, Ketua Adat Desa Saolat (Para-para) mengatakan sebagai masyarakat adat komunitas Hoana Wangaike Minamen Saolat, mereka sudah cukup berusaha agar tuntutan mereka didengar oleh Pemerintah Daerah bahkan semua pihak terkait, di tingkat daerah Kabupaten hingga tingkat Provinsi itu sudah disampaikan namun selalu diabaikan.
“Lewat kesempatan ini saya memohon kepada petinggi Negara yaitu bapak Presiden Joko Widodo untuk bisa memperhatikan nasib, bisa memperhatikan kehidupan dari masyarakat adat yang mendiami Halmahera terutama Halmahera Timur. Karena seperti yang terlihat, yang saat ini diduduki adalah tanah ulayat dari masyarakat adat Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat ini itu sudah diambil alih oleh koorporasi pertambangan yang diizinkan oleh birokrasi yang ada di wilayah ini,” pintanya.
Lanjut Yustinus, harapan terbesar masyarakat adat Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat terletak di Pundak bapak Jokowi. Untuk itu Jokowi selaku Presiden Republik Indonesia bisa mendengar dan bisa mengambil suatu keputusan yang berpihak dan menguntungkan bagi masyarakat adat.
“Kami berharap wilayah yang kami duduki dan blokade ini merupakan wilayah hutan adat suku Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat dan suku Togutil yang berada di dalam hutan. Saat ini lokasi ini sudah dikeluarkan izin untuk operasi pertambangan. Kami mohon selamatkanlah suku nomaden ini,” harapnya.
Untuk diketahui, Hari ini (sabtu-red) merupakan hari kelima dari aksi pemalangan dan boikot aktivitas pekerjaan jalan raya tambang dan juga aktivitas eksplorasi dari dua perusahaan tambang nikel PT IWIP dan PT WBN di Halmahera Timur, Maluku Utara.
“Kami akan duduki lokasi ini sampai adanya kepastian dari kedua perusahaan PT WBN dan PT IWIP, soal penyerobotan tanah ulayat leluhur kami,” tegas Nove.
Dalam aksinya masyarakat adat melayangkan beberapa tuntutan kepada kedua perusahaan ini. Mereka melarang aktivitas pembuatan jalan maupu aktivitas pertambangan di wilayah adat mereka.
Aksi ini, masyarakat juga memberikan sanksi adat/denda adat kepada kedua perusahaan karena telah menyerobot lahan dan merampas ruang hidup masyarakat kedua desa maupun masayarakat suku togutil atau tobelo dalam.
“Memberikan sanksi/denda adat kepada kedua perusahaan pertambangan PT IWIP dan PT WBN karena sudah merampas ruang hidup masuk hutan adat kami tanpa sepengetahuan kami dan telah merubah struktur bentangan hutan bahkan menghilangkan bukti peninggalan leluhur kami,” tutur Juliath Pihang Perempuan adat Desa Saolat.
Selain menuntut sanksi kepada kedua perusahaan tambang, masyarakat kedua Desa menegaskan agar tidak lagi pembayaran tali asih Kavlingan di atas tanah ulayat mereka.
“Selama ini perusahaan telah membayar tali asih kepada desa yang tidak sedikitpun memiliki hak atas tanah ulayat di lokasi yang mereka pakai,”kata Julia.
Mewakili perempuan adat Hoana Para-para (Desa Saolat) Julia juga menyampaikan bahwa di dalam struktur masyarakat adat melekat hak perempuan adat. Karena itu menurutnya ketika tanah adat mereka dieksploitasi, dirampas, dan dirampok habis oleh kepentingan investasi dan juga birokrasi maka bisa dipastikan semua hak dari perempuan adat pun ikut tergusur dari ruang hidup masyarakat adat itu sendiri.
Ia menceritakan perjuangan panjang mereka. Tentunya bukan perjuangan baru, karena telah mulai dari kampanye pertama, awal penggusuran terjadi di Air Mein Akejira.
Saat itu Dia bilang, perampasan ruang hidup dimulai dari pembongkaran hutan oleh PT Weda Bay Nikel (WBN) sebagai pemegang Izin kontrak karya dan dilanjutkan selanjutnya oleh sub kontraktor dan PT IWIP dalam proses pelaksanaan pembongkaran awal di jalan air mein wilayah Ake Jira.
“Sampai saat ini semua kita bisa melihat terkait dengan perampasan ruang hidup oleh PT IWIP dibawah beberapa sub kontraktor yang lainnya sudah sampai pada tahapan eskplorasi dan mulai perisiapan pada tahapan produksi”
Menurutnya, keberpihakan Negara dan pemerintah daerah atas perjuangan masyarakat adat tidak ada. Bahkan hak perempuan adat terhadap tanah adat itu sendiri juga diabaikan.
Secara logika, Dia dan masyarakat adat melihat beberapa contoh kasus yang terjadi, baik itu peristiwa yang terjadi pada tahun 1994 dan peristiwa yang terjadi di wilayah Maluku Utara salah satunya di pulau Obi, letaknya di Kawasi.
Baginya, peran perempuan adat mengalami satu gencatan besar eksploitasi yang dilakukan oleh PT Harita. Tentu sama dengan terjadi di wilayah mereka. Mulai dari konflik yang terjadi akibat masuknya investasi kehidupan masyarakat adat di pesisir khususnya masyarakat suku togutil habeba, di para-para atau wangaike bahkan beberapa desa tetangga lainnya bahkan suku-suku yang ada wilayah Wasilei Selatan mengalami suatu perubahan pola hidup yang cukup tergeser dari nilai-nilai perdaban dan kekeluargaan.
Dia berharap bahwa secara Nasional bahkan Internasional perjuangan-perjuangan ini bisa digaungkan bersama.
Sebagai perempuan adat keturunan suku Togutil Habeba, Juliath melihat masalah hak masyarakat adat tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35 dimana menjelaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Selanjutnya diperkuat dengan UU 1945 pasal 18 B yakni keberadaan masyarakat adat itu wajib dihargai, dilindungi dan dihormati oleh warga negara sepanjang masih ada dan berlaku.
“Nah apa yang terjadi ketika wilayah ini dirampas, dieksploitasi oleh investasi yang masuk bercokol di wilayah ini, secara sepihak kami dianggap tidak ada di tempat ini dan tidak dihargai di tempat ini”
Juliath Pihang kesal karena proses awal perizinan sampai pada tahapan sidang Amdal itu terjadi, sudah ada penolakan besar-besaran oleh masyarakat adat. Namun diabaikan.
“Sebenarnya kalau mau bilang, proses perencanaan awal itu sudah dibangun di wilayah kami, hanya saja penolakan secara -besar-besaran kehadiran PT Weda Bay Nikel dan juga perusahaan-perusahaan lainnya di wilayah ini tapi saja dipaksa untuk bercokol”
Olehnya, Dia bilang, ekspansi yang dioperasikan pertama kali di Halmahera Timur kemudian dialihkan ke wilayah Halmahara Tengah yang saat ini sudah dibangun industri smelter.
“Tanpa kami tahu ekspansinya sudah dibangun di wilayah Halmahera tengah, namun dibangun jalan untuk operasi produksi dan tembus ke wilayah kami,” ujarnya.
Berita ini merupakan Karya Jurnalitik Warga dari Novenia Ambeua & Roy Doongor
Editor: Christ Belseran
Discussion about this post