titastory.id,- Tulisan saya lima tahun yang lalu ini, sengaja saya angkat lagi untuk melawan lupa kita atau sikap pura-pura lupa bahwa kita sudah lupa dengan kekuatan pangan lokal yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah Provinsi Maluku. Padahal Pangan lokal merupakan salah satu benteng pertahanan kita dalam menghadapi masa sulit seperti ini.
Bahkan jika pemerintah menerapkan kebijakan Karantina Skala Besar-besaran bagi bangsa ini akibat wabah Corona, Maluku tidak perlu risau dan kalang kabut. Karena kita sudah memiliki KETAHANAN INTERNAL yaitu kemampuan pangan lokal sehingga kita bebas dari ketergantungan terhadap produksi pangan beras yang sebagian besar diproduksi di luar Maluku.Dengan demikian maka melalui Covid-19 maka ini adalah MOMENTUM STRATEGIS UNTUK MALUKU KEMBALI KEPADA PANGAN LOKAL yang sudah menjadi makanan Nenek Moyang Bangsa Maluku turun temurun.
Seperti kita ketahu bahwa tanggal 6 Mei 2015 presiden Joko Widodo, melakukan penanaman perdana padi di Kabupaten Buru. Hal ini tentunya dmaksudkan untuk meciptakan kemampuan daerah (Maluku) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras di Maluku. Selama ini diyakini bahwa pola konsumsi masyarakat Maluku sudah bergeser dari pangan lokal kepada konsumsi beras.
Hal ini disebabkan banyak factor antara lain disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup, perubahan sosial budaya, perkembangan ekonomi dalam kehidupan masyarakat, di samping itu kebiasaan masyarakat terhadap makan di luar, gencarnya promosi dan tersedianya makanan asing di berbagai kota besar juga sebagai salah satu faktor mengapa masyarakat lebih menyukai makanan asing dari pada makanan kita sendiri.
Disisi lain jika kita melihat data BPS menunjukan bahwa Provinsi Maluku berpenduduk sebanyak 1.531.402 jiwa (hasil sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 oleh BPS) dengan angka konsumsi beras per kapita sebesar 80 kg/tahun.
Melihat data ini, secara cepat dapat dihitung bahwa kebutuhan beras di Maluku sekitar 122.512 ton/tahun. Namun yang cukup mengkhawatirkan bahwa kebutuhan beras tersebut 60%-nya harus didatangkan dari luar karena produksi beras di Maluku hanya mampu memenuhi 40% saja dari total kebutuhan beras .
Suatu ironi memang, sebab bila melihat sejarah masa lampau sesungguhnya makanan pokok Maluku bukanlah beras. Terdapat bahan pangan lokal yang sudah sejak lama dikonsumsi bahkan telah menjadi bagian dari filosofi hidup orang Maluku yaitu sagu serta pangan lokal lainnya seperti kasbi (ubi kayu), patatas, dan sebagainya meskipun saat ini posisi bahan pangan lokal tersebut masih dipandang inferior.
Selain itu Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Ambon mengadakan survei sederhana pada triwulan I-2012 kepada 190 responden rumah tangga untuk melihat pola konsumsi pangan lokal di masyarakat khususnya di Ambon.
Survei membuktikan bahwa beras memang merupakan bahan pokok utama di Ambon sebanyak 89% responden menyatakan bahwa mereka mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok. Hanya 11% saja yang mengkonsumsi pangan lokal sebagai makanan pokok. Berdasarkan data-data tersebut secara logis pemerintah memiliki alasan yang kuat dan rasional untuk melakukan swasembada pangan di Maluku melalui swasembada beras.
Dengan demikian kita melihat bahwa sudah terjadi pergeseran yang sangat signifikan atas pola konsumsi masyarakat. Selain factor-faktor penyebab yang saya kemukakan di atas namun hasil survey Bank Indonesia Perwakilan Maluku juga menunjukan ada beberapa alasan kuat mengapa masyarakat memilih beras sebagai makan pokok yaitu faktor kemudahan untuk memperoleh bahan makanan pokok merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan responden dengan proporsi 45%. Artinya masyarakat cenderung memilihi bahan makanan pokok yang mudah didapat di pasar atau lingkungan sekitar dan factor kedua adalah faktor rasa bahan makanan pokok itu sendiri dengan nilai 34%. Sedangkan faktor harga dan faktor kemudahan pengolahan masing-masing mendapatkan nilai 11% dan 10%. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan Sagu sebagai makanan pokok tradisional orang Maluku.
Dari hasil survey menunjukan bahwa Sagu sebagai bahan pangan lokal yang masih sering dikonsumsi saat ini dengan 47% responden yang memilihnya. Sedangkan kasbi (ubi kayu) berada di urutan kedua dengan perolehan nilai 41%, kemudian patatas (Ubi Jalar) di urutan ketiga dengan 10%. Bagaimana dengan Jagung.? Saya sangat yakin kalau survey ini dilakukan di wilayah MTB dan MBD maka jagung dan Ubikayu yang akan berada pada posisi pertama dan kedua setelah beras.
Diversifikasi Pangan
Diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memperoleh keragaman zat gizi sekaligus melepas ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu ketidakstabilan jika pasokan terganggu dan sebaliknya jika masyarakat menyukai pangan alternative maka ketidakstabilan akan dapat dijaga.
Ada beberapa contoh diversifikasi pangan yang bisa dilakukan di Maluku oleh pemerintah daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) antara lain Sagu.
Sagu
Sagu adalah merupakan pangan pokok sebagian besar rumah tangga masyarakat Maluku sejak dahulu selain umbi-umbian dan jagung. Sagu dengan kandungan karbohidrat yang tinggi kurang lebih 82 – 84 %, proteinnya dipenuhi dengan ikan, sayuran dan daging serta lemaknya dipenuhi dengan kelapa dan kacang tanah.
Potensi sagu sangat tinggi yaitu awal abad 20 kurang lebih 100.00 ha dan saat ini masih tersedia 58.000 ha. Dengan luasan areal tersedia saat ini, potensi masak tebang (MT) 40 pohon/ha/tahun dan produksi pati kering per pohon 200 kg maka produktivitas pati sagu di Maluku per tahun adalah 464.000 ton pati kering.
Dengan perhitungan konsumsi beras per kapita/tahun di Maluku sebesar 85 kg, dan dengan nilai konversi sagu ke beras adalah 1,74 maka jumlah ini setara dengan 147,9 kg pati sagu kering (Prof. Dr. Ir. J.E. Louhenapessy).
Selain manfaat dan kandungan gizi yang ada pada tepung sagu, maka daun sagu, biasanya digunakan sebagai atap rumah ataupun pembuatan kemasan bagi pati sagu yang masih basah; Pelepah sagu, digunakan sebagai dinding rumah dengan cara dibelah; Akar sagu, dibeberapa tempat digunakan sebagai obat; kulit pembungkus batang, digunakan sebagai kayu bakar ketika empulurnya sudah dilepaskan; Sisa/ empulur sagu, biasanya digunakan sebagai pencampur makanan ternak dan ulat sagu/ sabeta merupakan ulat yang biasanya ada dalam batang sagu yang sudah mulai membusuk, dikonsumsi karena nilai proteinnya yang tinggi, rasanya renyah dan lezat.
Jagung
Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu kalori, dan protein.
Dengan mengkonsumsi aneka macam produk olahan jagung, berarti telah melaksanakan program diversifikasi pangan non beras. Pengolahan jagung menjadi berbagai macam produk olahan, akan dapat meningkatkan nilai ekonomi dan nilai guna jagung sebagai bahan pangan non beras, disamping dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Teknik pengolahannya dapat berasal dari jagung yang masih segar maupun yang telah kering ataupun dibuat jagung. Adapun produknya diantaranya : emping jagung, aneka cake, talam, dan lain sebagainya
Hasil Laut
Dalam rangka pembangunan masyarakat Maluku yang sehat, kuat dan cerdas, pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi tubuh adalah mutlak. Ikan merupakan bahan pangan hewani yang kaya protein dan rendah lemak, sehingga sangat baik untuk pemenuhan gizi.
Selain hal tersebut Maluku adalah daerah yang sebagian besar lautan sehingga kaya akan ikan. Selama ini masih banyak orang Maluku yang menjadikan ikan sebagai lauk-pauk selingan. Sebagian lain menganggap ikan kurang baik bagi kesehatan, sebab dapat menimbulkan alergi, gatal-gatal serta cacingan. Pendapat keliru tersebut wajar jika berpengaruh pula pada budaya masyarakat yang cenderung kurang menganggap penting mengkonsumsi ikan.
Kasbi (Ubikayu/Singkong)
Keberadaan singkong yang melimpah dan harga yang murah di pedesaan dapat ditingkatkan menjadi bahan makanan yang bernilai tinggi. Melalui pengeringan sederhana misalnya dengan diparut kasar, dicuci dikeringkan dan kemudian digiling yang selanjutnya dapat dibuat beraneka macam produk makanan basah maupun kering.
Dengan perajangan dan penggorengan yang tepat dapat dihasilkan kripik atau chips singkong dan dapat diberi dengan berbagai macam rasa sehingga lebih mempunyai harga jual yang tinggi.
Pengolahan yang mudah dipraktekkan adalah dengan membuat makanan melalui singkong yang diparut ataupun melalui perebusan dan penghalusan lebih dahulu. Singkong sebagai salah satu jenis bahan makanan sumber karbohidrat yang dapat tumbuh subur di Indonesia dan relatif murah harganya.
Guna menunjang kebijakan pemerintah bidang pangan yaitu untuk meningkatkan upaya penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan guna mengurangi ketergantungan beras sebagai makanan pokok,
Labu Kuning
Ditinjau dari aspek gizi, labu kuning memiliki kandungan gizi yang cukup baik, disamping kadar karbohidrat yang tinggi juga kaya akan provitamin A yang merupakan keistimewaan buah labu kuning yang berguna bagi kesehatan kita.
Akhir-aklhir ini diketahui bahwa labu kuning mempunyai peranan dalam mencegah penyakit degeneratif seperti diabetis mellitus, asteroklerosis, jantung koroner, tekanan darah tinggi dan bahkan dapat mencegah terjadinya penyakit kanker.
Selama ini kita mengenal labu kuning sebatas untuk digunakan sebagai sayur, kolah dan sebagainya. Sebagai aneka kudapan yang lain masih belum banyak diketahui. Melalui pengukusan lebih dahulu dapat dibuat aneka macam kudapan seperti: puding, kue lapis, cake, pie, nogosari dan sebagainya.
Waspada Terhadap Invasi Beras Atas Sagu
Semua manfaat dari sagu yang istimewa itu pelan-pelan mulai tergantikan oleh beras. Masyarakat yang mengkonsumsi sagu diidentikan oleh pemerintah sebagai warga miskin karena konsumsi beras dijadikan salah satu dasar guna pengklasifikasian strata sosial masyarakat. Padahal kita tahu bersama, bahwa Maluku memiliki berbagai pangan lokal yang harusnya dikembangkan bukan diganti perannya oleh beras.
Stigma negatif tentang sagu pelan-pelan mulai MERACUNI PIKIRAN masyarakat Maluku yang biasa mengkonsumsi sagu. Perlahan-lahan sagu mulai ditinggalkan dan mereka beralih kepada beras. Yang lebih parahnya lagi, pemerintah melakukan program swasembada pangan sebagai label guna menginvasi pangan lokal dengan beras. Jadi sebenarnya swasembada pangan itu tak pernah ada, yang ada yaitu swasembada beras yang SEHARUSNYA swasembada SAGU dan pangan lokal lainnya.
Ketika beras semakin mudah didapat, masyarakat yang dulunya mengkonsumsi sagu beralih total ke nasi sebagai makanan pokok mereka, padahal kearifan pangan lokal yang diturunkan oleh leluhur di Maluku yaitu sagu bukan beras.
Invasi besar-besaran terhadap sagu semakin parah ditambah dengan pemberian bantuan beras kepada masyarakat dalam program Raskin ( Beras Miskin ). Jadi sebenarnya apakah MALUKU ini miskin?. Menurut saya Maluku dibilang miskin VERSI PEMERINTAH, karena kriteria yang digunakan adalah ukuran dari BPS yang cocok hanya di Pulau Jawa. apakah kita yang punya hutan sagu yang luas, sungai yang besar dan berbagai kekayaan alam yang lain dihargai dengan RasKin pemberian dari pemerintah sehingga cap masyarakat miskin tetap tertempel kepada kita, padahal pangan lokal kita berlimpah.
Ketika peran sagu perlahan mulai tergantikan dalam pola konsumsi masyarakat, muncul lagi masalah baru yaitu hutan sagu mulai dialihfungsikan menjadi sawah untuk daerah transmigran.
Hutan sagu dibabat dan digantikan dengan puluhan bahkan ratusan petak-petak sawah. Pemerintah dengan bangganya mengklaim bahwa telah berhasil swasembada pangan. Jadi apakah pangan itu cuma beras ? bagaimana dengan pangan-pangan lokal yang selama ini dikonsumsi oleh masyarakat ? Bukan saja alih fungsi HUTAN SAGU ke PERSAWAHAN tapi juga dibeberapa tempat HUTAN SAGU mulai dikonversi sebagai PERKEBUNAN KELAPA SAWIT ataupun dibabat habis untuk KONSESI PERTAMBANGAN, ini adalah Ekonomi Politik dan Politik Ekonomi yang salah dan sangat merugikan Maluku dalam jangka panjang. Sungguh ironis kondisi hutan sagu saat ini, padahal kalau mau dilihat hutan sagu merupakan buffer zone dan juga penyedia air pada musim kemarau.
Inilah yang sementara dihadapi, pergantian pola konsumsi dari sagu ke beras, stigma negatif terhadap pangan lokal khususnya sagu, hutan sagu menjadi daerah persawahan milik transmigran, hutan sagu menjadi area perkebunan sawit dan pertambangan dan lain sebagainya.
Invasi besar-besaran beras terhadap pangan lokal seperti sagu dilakukan atas prakarsa pemerintah. Realita yang sementara terjadi di Maluku sehingga masyarakat MALUKU HARUS BANGUN DARI TIDUR PANJANG, dan WASPADA TERHADAP ANCAMAN INVASI BERAS ATAS SAGU. Ayo, kembali kepada kearifan pangan lokal kita. Sagu, ubi-ubian, jagung, dan berbagai pangan lokal lainnya merupakan titipan leluhur kepada kita untuk di konsumsi bukan dilecehkan dan ditinggalkan. Ayo kembali konsumsi pangan lokal kita.
Perlu Perda Dan Pergub Untuk Gerakan Kembali Kepada Sagu Dan Pangan Lokal
Menyadari bahwa sagu dan pangan lokal lain yang memiliki banyak manfaat dan juga mengandung nutrisi yang sangat besar jika dibandingkan dengan Beras maka menurut saya pemerintah Provinsi harus memiliki kemauan politik yang kuat untuk mengembangkan sagu sebagai bagian terpenting dalam kebijakan pangan dan politik pangan di Maluku.
Perlu adanya suatu Gerakan komprehensif yang dimotori oleh pemerintah untuk kembali kepada pangan lokal yaitu Sagu, Jagung dan Umbi-umbian yang ada dan berlimpah di Maluku. Politik pangan yang diambil pemerintah harus memiliki paying hukum yang kuat berupa peraturan daerah (PERDA) dan peraturan Gubernur (PERGUB). Hal ini sangat penting karena data survey di lapangan juga menunjukan korelasi yang sangat signifikan yaitu hasil survey Bank Indonesia Kantor Perwakilan Maluku tahun 2010 yaitu sebanyak 95% responden berpendapat bahwa sesungguhnya orang dapat beralih ke pangan lokal pada saat berada dalam kondisi kekurangan pasokan beras. Hanya 5% saja dari total responden yang menyatakan bahwa konsumsi beras tidak bisa dialihkan ke pangan lokal.
Berdasarkan hal tersebut maka Pemerintah Provinsi Maluku perlu mencanangkan gerakan kembali ke pangan lokal. Karena hasil survey menunjukan Gerakan ini didukung oleh 77% persen responden disertai beberapa alasan yang dikemukakan antara lain bahwa gerakan ini sebagai tindakan preventif (antisipasi) bila pasokan beras berkurang ataupun juga dalam rangka menjaga makanan asli daerah.
Bahwa sesungguhnya pangan lokal masih memiliki potensi menjadi pilihan utama masyarakat. Langkah nyata dari Pemerintah Maluku untuk mencanangkan gerakan kembali ke pangan lokal perlu diwujudkan dalam aksi nyata dengan memberikan perhatian lebih kepada peningkatan produksi dalam jangka panjang serta promosi pangan lokal untuk lebih sering dikonsumsi oleh masyarakat.
Penulis adalah Akademisi dan Pemerhati Pembangunan
Discussion about this post