titastory, Halmahera – Di tengah ambisi global untuk mempercepat transisi energi hijau, kepentingan besar terhadap nikel, bahan utama baterai kendaraan listrik, menciptakan ancaman nyata bagi suku asli Pulau Halmahera O’Hongana Manyawa, Maluku Utara. Sebuah laporan terbaru dari Survival Internationalmengungkapkan bahwa eksploitasi tambang nikel di wilayah adat mereka dapat memicu kehancuran lingkungan, menyebarkan penyakit mematikan, hingga mengancam keberlangsungan hidup suku ini.
Setidaknya 19 perusahaan tambang, termasuk raksasa tambang Perancis Eramet, beroperasi di wilayah adat suku ini. Gabungan konsesi mereka mencakup 40% tanah adat O’Hongana Manyawa. Aktivitas tambang yang masif disebut melanggar hukum internasional terkait hak masyarakat adat, serta meningkatkan risiko genosida melalui deforestasi, polusi, dan potensi kontak paksa dengan suku yang mengasingkan diri.
Penambangan nikel di Halmahera menjadi tulang punggung proyek nasional Indonesia untuk memenuhi permintaan global terhadap bahan baku kendaraan listrik. Namun, bagi sekitar 500 anggota suku O’Hongana Manyawa yang memilih hidup dalam pengasingan sukarela, tambang-tambang ini berarti kehancuran.
Hutan Halmahera adalah tempat tinggal, sumber makanan, dan budaya suku ini. Deforestasi besar-besaran untuk membuka jalan bagi tambang nikel menghancurkan habitat mereka, sementara polusi mencemari sumber air dan tanah. Lebih buruk lagi, kontak dengan pekerja tambang dapat membawa penyakit mematikan, seperti influenza, yang tak mampu ditahan oleh sistem kekebalan tubuh mereka.
“Tambang nikel ini bukan hanya perampasan tanah, tetapi juga ancaman eksistensial bagi suku terisolasi,” tulis Survival International dalam laporannya.
Pelanggaran Hukum Internasional
Menurut hukum internasional, masyarakat adat memiliki hak kolektif atas tanah mereka dan hak untuk memberikan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA). Namun, anggota suku O’Hongana Manyawa, baik yang telah terkontak maupun yang masih mengisolasi diri, tidak pernah memberikan persetujuan untuk operasi tambang.
PBB telah menegaskan bahwa masyarakat adat yang mengasingkan diri tidak dapat memberikan PADIATAPA. Keputusan mereka untuk tetap terisolasi harus dipandang sebagai penolakan terhadap segala bentuk aktivitas di tanah adat mereka.
Namun, laporan bocor menunjukkan bahwa Eramet merencanakan kontak paksa dan relokasi suku O’Hongana Manyawa, yang merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan dapat mempercepat kehancuran mereka.
Survival International telah melobi perusahaan multinasional untuk menarik dukungan dari tambang di wilayah ini. BASF, perusahaan kimia asal Jerman, menarik diri dari kerja sama senilai miliaran dolar dengan Eramet, menyebut masalah keberlanjutan sebagai alasannya.
Tesla dan Ford, dua raksasa kendaraan listrik, juga menyoroti dampak negatif tambang nikel di Halmahera. Tesla bahkan sedang mempertimbangkan penerapan zona larangan tambang (no-mining zone) untuk melindungi suku terisolasi. Namun, perusahaan lain seperti Volkswagen dan Stellantis masih menjalin kerja sama dengan Eramet, meningkatkan risiko keberlanjutan konflik ini.
Survival International menyerukan pemerintah Indonesia untuk segera: Menghentikan semua aktivitas tambang di wilayah adat O’Hongana Manyawa; Menetapkan zona larangan tambang untuk melindungi suku terisolasi; Mengakui dan mendemarkasi wilayah adat O’Hongana Manyawa secara formal, serta mencegah segala bentuk kontak atau relokasi paksa terhadap suku ini.
Perusahaan tambang, seperti Eramet, didesak untuk menghormati hak masyarakat adat dan menghentikan operasi di wilayah tanpa PADIATAPA. Sementara itu, perusahaan kendaraan listrik diminta memastikan rantai pasok mereka bebas dari bahan baku yang diambil dari wilayah adat suku terisolasi.
Krisis di Tengah Ambisi Hijau
Ironisnya, perburuan nikel untuk kendaraan listrik yang digadang sebagai solusi lingkungan global justru menciptakan bencana kemanusiaan bagi suku O’Hongana Manyawa. Kebutuhan dunia untuk bahan baku baterai tidak boleh mengorbankan keberlangsungan hidup suku-suku adat yang menjadi penjaga terakhir ekosistem hutan.
“Krisis ini adalah ujian bagi kita semua: pemerintah, perusahaan, dan konsumen. Apakah ambisi hijau akan terus mengorbankan masyarakat yang paling rentan?” pungkas laporan tersebut.
Dengan semakin meningkatnya tekanan internasional, perhatian kini tertuju pada langkah konkret yang akan diambil oleh pemerintah Indonesia dan komunitas global untuk melindungi suku O’Hongana Manyawa dari ancaman kepunahan.
Sebelumnya, Tesla Keluarkan Laporan Perlunya Pembentukan Zona Bebas Tambang Terhadap Suku Asli. Menurut laporan Survival Internatonal, perusahaan mobil listrik Tesla mengumumkan bahwa mereka akan menjajaki perlunya untuk pembentukan zona bebas tambang nikel untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan penduduk asli, khususnya untuk tanah suku terisolasi. Ini setelah kekhawatiran ancaman keberlangsungan hidup suku terisolasi (yang belum banyak tersentuh) di Halmahera, Indonesia. Pasalnya, operasi penambangan nikel terlalu jauh menembus hutan masyarakat Hongana Manyawa hingga ditakutkan adanya pembasmian suku terisolasi [uncontacted] ini.
Pengumuman ini diyakini sebagai pertama kalinya sebuah perusahaan besar menyoroti pembentukan zona bebas tambang di wilayah penduduk asli setempat.
Tesla juga mengharapkan para pemasoknya untuk memastikan agar masyarakat adat dapat menggunakan hak mereka untuk memberikan Persetujuan Bebas Didahulukan dan Diinformasikan (PADIATAPA) kepada setiap proyek industri di wilayah mereka – pesyaratan yang mustahil dapat dipenuhi bagi suku terisolasi yang belum banyak tersentuh.
“Hak Masyarakat Adat. [Tesla telah] Terlibat dengan LSM, pemerintah, dan pemasok untuk menjajaki perlunya pembentukan zona bebas tambang untuk melindungi hak masyarakat adat dan hak asasi manusia, khususnya masyarakat yang terisolasi [uncontacted], selain keterlibatan pemasok untuk memperkuat komitmen kami terhadap melindungi hak Masyarakat Adat untuk memberikan atau tidak memberikan Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (PADIATAPA),” Demikian pernyataan yang tertulis dalam laporan Tesla tentang Nikel: Mengurangi Dampak Lingkungan dan Sosial di Indonesia. (Halaman 121 https://www.tesla.com/ns_videos/2023-tesla-impact-report.pdf)
Hal ini diungkapkan melalui Laporan Dampak 2024 Tesla dan dapat mendampak besar pada kegiatan Weda Bay Nickel (WBN), perusahaan tambang yang memiliki pertambangan nikel terbesar di dunia tepatnya berada di Halmahera. Kegiatan WBN sejak lama dikritik karena tumpang tindih dengan tempat tinggal suku Hongana Manyawa tanpa persetujuan mereka. Rencananya, Eramet (yang mengelola sebagian WBN) bermitra dengan perusahaan kimia Jerman, BASF, dalam proyek ‘Sonic Bay’ untuk membangun kompleks tambang nikel, salah satu komponen utama pembuatan baterai kendaraan listrik.
“Ini adalah pesan langsung dari dalam hutan, tolong hentikan perusakan hutan yang menjadi rumah kami, kami bergantung pada hutan,” ucap salah seorang suku Hongana Manyawa yang masih ada keluarga belum tersentuh di pedalaman hutan, pada saat bicara dengan Survival. Pesan ini diharapkan disampaikan kepada perusahaan kendaraan listrik dan orang-orang yang membeli kendaraan listrik.
Lebih dari 20,000 orang dari seluruh dunia mengirim email aksi kepada CEO Tesla, Elon Musk, Eramet, dan BASF. Mereka mendesak para perusahaan untuk menentang penambangan nikel dan kobalt di tanah suku Hongana Manyawa dan menyerukan zona bebas tambang.
“Pahamilah pengumuman ini sebagai peringatan bagi pemerintah Indonesia dan perusahaan seperti WBN. Sudah lama, Survival mengklaim bahwa proyek-proyek tambangan, peternakan, dan pengeboran minyak dan gas di atas tanah suku terisolasi bukan hanya pelanggaran hak-hak masyakarat adat, tapi juga bencana buatan manusia yang membawa penyakit, kematian dan bahkan genosida. Saat ini kesadaran dan kepedulian masyarakat semakin meningkat, perusahaan-perusahaan dan pemerintah Indonesia tidak dapat terus mengabaikan masalah ini – ini juga telah dinyatakan oleh Pasubio dan Tesla”, ucap Direktor Survival International, Caroline Pearce dalam rilisnya yang diterima Mongabay, berjudul: Tesla highlights rights of uncontacted tribes in report – a “wake-up call” for businesses and governments (survivalinternational.org).
“Situasi ini sangat mencolok dan mendesak untuk suku terisolasi Hongana Manyawa: mereka tidak pernah, dan tidak mampu, memberikan Persetujuan Bebas Didahulukan dan Diinformasikan untuk perusakan hutan mereka. Jika perusahaan tambang bersikeras menghancurkan tanah mereka, bisa juga memusnahkan suku Hongana Manyawa. Tidak ada perusahaan yang dapat mengambil mineral dari tanah suku terisolasi Hongana Manyawa tanpa mengambil risiko terlibat dalam pemusnahan suku ini. Pemerintah Indonesia harus membentuk zona bebas tambang persis untuk mencegah bencana sebelum terlalu terlambat,” katanya lagi.
Dari data Survival, diperkirakan jumlah penduduk Hongana Manyawa sekitar 3,000 orang. Ada 300 hingga 500 penduduknya serta belum tersentuh.
“Nyawa mereka kian terancam ulah pertambangan nikel dan penyakit-penyakit umum karena mereka memiliki kekurangan kekebalan tubuh terhadap penyakit-penyakit tersebut”
Ancaman tersebut membuat Survival mendesak semua perusahaan kendaraan listrik, seperti Ford, Volkswagen dan BYD, untuk tidak mengambil bahan apa pun dari wilayah suku terisolasi.
“Kami juga mendesak kepada Tesla untuk menetapkan hal ini sebagai kebijakan perusahaan,” kata Caroline Pearce.
Dalam beberapa tahun terakhir, menurut Caroline, pemerintah Indonesia berusaha mendorongkan Tesla untuk berinvestasi di market nikel Indonesia. Pengumuman ini dari Tesla pasti akan mengejutkan industri nikel Indonesia.
Inisiatif Untuk Jaminan Pertambangan yang Bertanggung Jawab (IRMA) merupakan standar yang Eramet, BASF dan Tesla mengklaim sudah dihormatkan. IRMA menyatakan dengan jelas bahwa “IRMA tidak akan mengesahkan tambang yang mengancam hak-hak masyarakat adat, termasuk suku terisolasi secara sukarela [uncontacted]”.
Tesla tidak secara khusus menyebutkan WBN dalam daftar pemasok mereka atau di dalam laporan dampak mereka. Namun, tambangan WBN bertujuan untuk memproduksi bahan untuk bikin mobil listrik.
Kebaradaan O Hongana Manyawa
Dalam beberapa dekade, kehidupan komunitas asli pulau Halmahera O Hongana Manyawa ini terancam akibat ekploitasi secara massif pertambangan nikel.
Kasus Hairani, perempuan Tobelo Dalam (O Hongana Manyawa) yang kini tersingkir dari rumahnya di hutan Tofu, Halmahera Timur menjadi catatan buruk perlindungan Negara Indonesia terhadap masyarakat asli yang masih nomaden.
Hairani merupakan perempuan Tobelo Dalam yang saat ini mengungsi di rumah warga Desa Saolat. Kondisinya sempat memburuk setelah ditemukan warga kelaparan di hutan Tofublewen. Kondisi tersebut akibat tanaman yang dikomsumsi suku ini telah berubah menjadi bak Kawasan tambang.
“To ngohi, ahi datomo, madutu nohi tailako, ma kiaka, nako to ngohi ua ahi datomo? Ho ga dina ahi tau mangi. Tohi gonoa ya pake ahi datomo, ho na oko na hetongo, ho ga ami raki ahi ayo tofotofo mato uha ko nia pake. Mohi behehongo yang artinya tempat dan hutan yang saat ini mereka diami, mereka adalah pemiliknya. Dimana, disana ada bekas rumah dan tanaman”
“Saya punya, saya pemiliknya. Coba Perhatikan saja kalau bukan saya yang tanam, sedangkan di sana ada bekas tempat rumah saya. Saya tidak izinkan mereka mengambilnya, Meme dalam nyanyiannya bilang seperti itu,” kata Leani Supukie, warga Desa Saolat yang menjelaskan arti nyanyian Maratana.
Maratana sempat mengisahkan kondisi hutan komunitasnya dalam beberapa pepatah tua O Hongana Manyawa. Maratana juga sampai saat ini dirawat oleh Leani. Leani adalah Perempuan adat di Desa Saolat, Kecamatan Wasile Selatan, Halmahera Timur. Ia dianggap berjasa oleh Maratana karena berbaik hati memberikan tempat tinggal baginya. Selain kebutuhan pakai dan makan, Maratana juga dirawat layaknya orang tua mereka. Karena faktor usia, kondisi tubuh perempuan 80 tahunan ini juga sering sakit-sakitan. Nama Maratana sendiri menurut Leani adalah nama asalnya dari hutan yang artinya tanah merah. Namun Ia kerap disapa Meme Hairani oleh masyarakat Tobelo Dalam yang tinggal di pesisir Halmahera.
Maratana kata Leani saat ini diungsikan karena rumah tempat Ia bersama komunitas tinggal telah tergusur akibat aktivitas pertambangan nikel. Kawasan itu bernama Tofublewen atau Maleo Ma bohuku. Secara garis turunan komunitas mereka sudah ada dan menguasai wilayah itu. Tak hanya kerabatnya yang berpindah, Turaji suaminya juga ikut menyingkir dari tempat itu. Dia sendiri harus terpaksa tinggal karena kondisi kondisinya yang melemah. Ditambah tanaman yang berada di situ telah tergusur, membuat Martana sempat kelaparan.
“Dia jelaskan, mereka (perusahaan-red) sudah sentuh hutannya. Wilayahnya itu karena sudah tercemar. Obat-obat yang di situ kalau sudah disentuh maka tidak lagi bisa diambil, karena itu pamali. Dia biasa menggunakan akar-akar pohon untuk menjadi obat, namun sekarang tidak bisa lagi dipakai karena telah dirusaki dan menjadi pantangan untuk masuk di situ karena sudah tercemar karena orang luar sudah menginjakan kaki di situ,” kata Leani.
Maratana yang sakit saat itu tidak bisa berjalan, karena selain sakit namun dengan kondisi usianya yang semakin renta sehingga fisiknya tidak mampu lagi meninggalkan tempat tersebut. Maratana kata Leani, ditemukan oleh beberapa warga dan juga fotografer ketika berkunjung ke lokasinya. Di sana, ia ditemukan terbaring lemas karena sakit. Dengan kondisi tersebut, ia sempat diminta untuk dibawa berobat. Namun, perempuan Tobelo Dalam ini sempat menolak. Meskipun ditawarkan untuk dibawa berobat, Martana menolak hal tersebut. Ia tampak gigih dalam menahan rasa sakit dan enggan mengundurkan diri dari tempat tersebut. Mungkin ia menganggap bahwa kondisinya sudah tidak ada harapan lagi.
Proses penyembuhan Maratana memakan waktu yang cukup panjang. Namun, dengan bantuan dan perhatian dari warga sekitar, Maratana tembus melaluinya. Dia mulai menunjukkan sedikit perbaikan dalam kondisi kesehatannya. Perlahan-lahan, Martana kembali mampu bergerak dan beraktivitas meski masih dalam batas yang terbatas.
“Ada beberapa warga yang saat itu ingin berkunjung dan mengabadikan gambar. Saat itu mereka melihat kondisinya yang lemah karena lapar. Saat itu dia sangat kurus, karena tak ada lagi makanan di sekitarnya. Mereka yang hidupnya berpindah-pindah dan makan dari alam. Dia kelaparan karena hasil buruan di sekitarnya telah habis karena maraknya aktivitas pertambangan,” kata Leani.
Saat itulah, menurut Leani, Maratana sendiri meminta keluar dari hutan, karena tempat yang Ia tinggal tak nyaman karena sudah dimasuki orang asing dan telah rusak karena aktivitas pertambangan sehingga makanan serta air yang biasa dikomsumsi tidak sulit didapat oleh komunitas mereka.
Saat ini Maratana dan komunitasnya harus tersingkir dari hutan mereka, akibat ekspansi sejumlah pertambangan nikel. Saat ini kawasan hutan mereka juga telah dijual oleh warga desa di pesisir di Weda Halmahera Tengah, maupun di Wasile Selatan, Halmahera Timur. Modus perampasan tanah oleh kelompok masyarakat dengan mengkavling tanah adat dan hutan.
Komunitas O Hongana Manyawa kini tersingkir dari hutan mereka akibat kavlingan dengan harga Rp.1500 yang mengatasnamakan kelompok tertentu sehingga wilayah itu ditandai menjadi Kawasan hutan produksi konservasi (HPK). Sehingga, ada dua cara untuk mendapatkan pengelolaan hutan yakni dengan menurunkan status hutan dari hutan lindung dan juga melakukan kavlingan melalui warga.
Eko Cahyono, Peneliti Senior Sajogyo Institut dalam penelitiannya di Halmahera Tengah dan Timur menyebut, dalam kasus tambang nikel di Maluku Utara, khususnya di Haltim dan Halteng, persoalan korupsi nikel scara substantif berpotensi pada praktik etnogesnosida, khususnya bagi komunitas Suku Tobelo Dalam.
Menurutnya, etnogesnosida merupakan fenomena yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok etnis atau suku bangsa tertentu. Etnogesnosida merujuk pada upaya untuk menghancurkan kelompok etnis atau suku bangsa dalam segala aspek kehidupan mereka, termasuk secara fisik, budaya, atau sosial. Kasus yang terjadi pada komunitas Orang Tobelo Dalam (O Hongana Manyawa) saat hutan rumah mereka dikepung puluhan perusahaan tambang nikel, ini tentu sangat memprihatinkan.
Perusahaan-perusahaan tambang tersebut kata Eko diduga merusak hutan yang menjadi rumah mereka. Penambangan nikel yang tidak berkelanjutan dapat menimbulkan dampak negatif pada kehidupan masyarakat Tobelo, terutama dalam hal ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dalam aspek ekonomi, komunitas orang Tobelo mungkin mengalami kesulitan dalam mempertahankan mata pencaharian mereka. Penambangan nikel yang tidak berkelanjutan dapat menghancurkan lahan pertanian, mengurangi sumber daya alam yang digunakan dalam kegiatan nelayan, dan merusak kawasan hutan yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Seperti yang dialami oleh Marthana, Perempuan yang berasal dari komunitas tobelo dalam yang tersingkir dari hutan mereka.
Temuan penelitian ini hendak menguaraikan kisah nenek Hariani yang kelaparan di hutan, dan ditingal sendirian oleh komunitasnya. Kisahnya seperti menegaskan proses eksklusi dan ancaman kepunahan suku asli Tobelo Dalam yang kian masif terjadi karena hutan tempat tinggal mereka semakin rusak akibat aktivitas tambang, dan akhirnya diselamatkan warga. Sekarang hidup tergantung Maratana hidup dari belas kasih warga.
Viral terekam video pekerja tambang
Tiga kasus contoh belakangan ini terjadi yakni dua orang suku pedalaman menghalau buldoser di dekat tambang nikel agar tidak masuk ke wilayah mereka. Mereka sangat terganggu karena hutan sebagai rumah dan mencari makan dirusak sehingga mereka marah dan mencoba melindungi tempat mereka tinggal. Kedua, sebuah video suku pedalaman O Hongana Manyawa di Wilayah Halmahera Maluku Utara beredar viral di media sosial. Video tersebut terlihat dua orang suku pedalaman ketika bertemu dengan sejumlah warga di tepi sungai Ake Sangaji, Halmahera Timur.
Video berdurasi 6 menit 50 detik ini menunjukan terlihat kedua orang suku telanjang dan hanya menggunakan Habeba atau cawat, pakaian yang berasal dari kulit kayu. Selain itu, senjata tajam berupa panah yang biasa dipakai mereka berburu juga terlihat. Nampak juga sejumlah anjing milik mereka.
Video amatir yang diunggah ke media sosial ini terlihat salah satu dari O Hongana Manyawa Tengah berbincang menggunakan Bahasa ibu mereka, yakni Bahasa Tobelo Dalam. Meski begitu para warga pesisir yang diketahui berasal dari pesisir Desa Maba ini tidak bisa berkomunikasi dengan O Hongana Manyawa.
Dan yang tebaru pada Kamis (23/5/2024), Camp milik pekerja PT Weda Bay Nikel, tiba-tiba ramai setelah didatangi tiga orang suku Togutil (O Hongana Manyawa).
Tiga orang suku asli pulau Halmahera ini tiba-tiba menyambangi kawasan pekerja, yang berada di belakang Desa Waijoy, Kecamatan Wasile Selatan, Halmahera Timur, Provinsi Maluku.
Dari video yang beredar di media sosial, tampak dua orang pria dan seorang perempuan suku Tobelo Dalam ini mendatangi camp. Kawasan ini dari video sudah tak ditumbuhi lagi pepohonan alias gundul karena telah digusur mejadi arela pertambangan dan juga camp para pekerja.
Kedatangan tiga orang suku Asli di hutan Halmahera ini mengundang perhatian para pekerja tambang yang menempati camp perusahaan.
Terlihat seorang pria berkostum pekerja memberanikan diri untuk menghampiri mereka. Pria yang bekerja sebagai pekerja IWIP ini sempat membujuk ketiga orang Togutil ini untuk masuk ke camp perusahaan.
Setelah berhasil dibujuk, para komunitas di hutan Halmahera ini akhirnya masuk ke dalam camp pekerja ditutun oleh seorang pekerja yang fasih berbahasa tobelo dalam. Para pekerja tambang pun menyambut baik ketiga orang suku pedalaman hutan Halmahera itu dan diajak masuk ke sebuah bangunan.
Selain itu, terdapat sebuah foto yang memperlihatkan ketiga suku pedalaman hutan Halmahera tersebut dijamu makan oleh para pekerja.
Setelah masuk ke dalam camp, ketiga orang suku Tobelo dalam ini langsung disajikan makanan berupa nasi. Menurut seorang pekerja, ketiga orang ini mengalami kelaparan sehingga mereka terpaksa masuk ke dalam camp milik perusahaan.
Yulia Pihang, Perempuan Adat Desa Saolat dalam menanggapi video yang beradal di media sosial. Dalam pernyataannya Yulia mengatakan penyebutan orang Togutil masuk wilayah camp IWIP adalah kesalahan fatal karena wilayah lokasi tersebut telah ditempati jauh sebelum perusahaan melakukan aktifitas pertambangan nikel. Selain itu, mereka kata Yulia, mengalami kelaparan karena hutan tempat mencari makan dan berburu telah rusak akibat aktivitas tambang nikel. Sehingga kata, Yulia, tidak benar jika, mereka, mendatangi camp pekerja karena mengalami kelaparan.
Tak hanya itu, kehadiran mereka di sana juga karena merasa terganggu, karena sebagian lokasi mereka mencari makan dan berburu telah rusak.
Menurutnya, ribuan tahun yang lalu komunitas Suku Tobelo Dalam telah hidup mendiami bahkan melindungi hutan serta menjadikan hutan sebagai rumah dan tempat menggantungkan hidupnya di belantara hutan halmahera timur dan halmahera tengah.
Kehadiran mereka di sana kata Yulia, sudah memberikan dampak positif yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup ribuan juta jiwa yang mendiami dua wilayah yakni Halmahera Timur dan Halmahera Tengah.
“Manfaat yang di terima dapat saya sebutkan beberapa hal, Pertama, Masyarakat adat yang hidup di pesisir dapat menikmati oksigen yang sehat tanpa ada penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA); Kedua, Air, Tanah obat-obatan bahkan hasil buruan bisa di dapat dengan mudah dari hutan ini bahkan; Ketiga, Tidak ada konflik sosial,konflik kepentingan terkait klaim wilayah dan tanah antar suku dan antar wilayah karena kepentingan korporasi; Keempat, Tidak ada masyarakat yang susah bahan makanan selama hutan itu masih utuh dan banyak lahan yang di manfaatkan untuk berkebun dan masih banyak alasan mendasar lainnya,” tuturnya.
Dalam menggaungkan isu Suku O Hongana Manyawa katanya adalah bertujuan agar pemerintah Indonesia, sehingga tidak harus menutup mata terkait dengan dampak Proyek Strategis Nasional yang melahirkan begitu banyak IUP dan IUPPKH tanpa kontrol terhadap kerja-kerja korporasi di wilayah yang masuk dalam izin konsesi tambang dan perkebunan skala besar.
“Akibat kebijakan Negara bersama dengan korporasi telah menghancurkan, merampas mengeksploitasi ruang hidup semua orang baik Masyarakat Adat yg ada di pesisir pantai dan lebih khusus lagi mereka O Hongana Manyawa (Suku Tobelo yang hidup di hutan) atau Tobelo Dalam,” lanjutnya.
Kejadian yang viral berapa hari berturut-turut kata Yulia bukan hal baru bagi mereka. Yulia juga mengoreksi bahasa yang dilontarkan masyarakat terhadap suku orang O Hongana Manyawa dengan menyebutkan mereka suku asing.
“Sedikit mengoreksi, bukan mereka yang terlihat asing di mata kita tapi kitalah yang terlihat asing di mata mereka makanya ada ketakutan tersendiri di mata mereka sebab sejak dulu hutan itu hanya dihuni oleh parah tetua adat O Hongana Manyawa dan keturunannya makanya ketika ada hal baru yang mereka lihat pasti akan ketakutan dan merasa tidak aman dan terjadi kerusakan di depan mata mereka,” terangnya.
Bagi Yulia, Semua yang terjadi ini kesalahan Negara dan juga perusahaan tambang yang melakukan pengrusakan hutan secara masif tanpa berpikir panjang ada Manusia dan satwa yang dilindungi hidup bergantung pada Hutan Halmahera.
“Kita wajib suarakan bersama sebab memberikan makanan, pakaian dan kebutuhan lain bukan solusi untuk menyelesaikan persoalan hidup yang dialami oleh Basudarah Suku Tobelo Dalam, jika kita benar-benar peduli mari selamatkan hutan bersama-sama dengan mereka ,tanpa harus menawarkan solusi yang tidak memberikan kepastian dan jaminan hidup yang layak oleh mereka,” katanya.
Jika peduli bagi keberadaan mereka, kata Yulia, maka Ia tegaskan agar cara berpikir tentang keberadaan suku asli ini harus diubah dan tidak disamakan dengan Pemerintah maupun koorporasi, sebab semua progam Pemerintah dan perusahaan untuk membawa mereka keluar dari hutan bukan untuk memberikan kepastian hidup malah sebaliknya.
“Mendukung Negara dalam soal ini sama halnya dengan melegalkan tindakan salah Negara dalam melakukan Pelanggaran HAM berat terhadap suku Tobelo dalam (O Hongana Manyawa),” tutupnya.
Eko Cahyono, Peneliti Senior Sajogyo Institut bilang, Secara yuridis, istilah genosida sering didefinisikan sebagai suatu tindakan dengan maksud dan memiliki tujuan utama untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian dari suatu kelompok bangsa, rasa, etnis, atau agama.
Definisi ini kata Eko, tertuang dalam Konvensi Internasional tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide). Pada tahun 1948, yang kemudian diabsorbsi oleh Statuta ICC, dan juga kemudian dimasukkan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Kejahatan genosida, merupakan kejahatan yang berkaitan dengan pemusnahan etnis (ethnical cleansing). Komite Keenam (Sixth Commitee) dari Majelis Umum PBB menyimpulkan bahwa kejahatan genosida juga mencakup kejahatan terhadap kelompok-kelompok politik (political groups), karena dalam pandangan komite, kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok yang tidak dengan mudah diidentifikasi (non-readily identifiable), termasuk kelompok-kelompok politik yang akan menyebabkan gangguan internasional dalammasalah-masalah politik dalam negeri suatu negara.
Kian Terancam
Syaiful Madjid, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMU), dalam penelitiannya mengklasifikasi Suku Tobelo menjadi dua, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di hutan) dan O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di pesisir). Hal ini, berdasarkan klasifikasi orang Tobelo yang masih tinggal di dalam hutan.
Sedang kata Togutil, katanya, adalah penyebutan orang luar terhadap orang Tobelo yang masih tinggal di dalam hutan. “Sebenarnya, mereka, O’Hongana Manyawa juga tidak menyebut mereka Togutil.” Seiring waktu, penyebutan Togutil pun melekat pada mereka.
Sayangnya, penyebutan kata Togutil berkembang menjadi sebuah stereotip—bermakna konotatif, juga disebut oleh orang Tobelo Luar kepada orang Tobelo Dalam, untuk membedakan diri.
“Tapi, ada kata O’Tau Gutili yang artinya rumah obat/ tempat orang Tobelo melakukan proses pengobatan,” katanya.
Syaiful bilang, dari hasil penelitian itu terlihat, O’ Hongana Manyawa sudah membagi wilayah mereka. Ada hutan produksi, konsumsi, bahkan hutan lindung.
Pembagian itu, katanya, sebelum pemerintah Indonesia memetakan hutan lindung bahkan hutan produksi, seperti taman nasional.
Untuk Halmahera Tengah, ia mengatakan masih kedekatan dengan Halmahera Timur karena mobilisasi komunitas ini bersilang.
“Jadi dari Halmahera tengah bisa ke Halmahera timur begitu juga sebaliknya. Mobilisasi mereka itu tinggi sekali kalau di hutan”
Mantan Dekan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhamadyah Ternate ini menjelaskan dari sisi penempatan batas-batas hutan, klasifikasi hutan bagi O Hongana Manyawa hutan adalah rumah.
“Dalam alam berpikir mereka, hutan adalah rumah”.
Dijelaskan kerangka rumah yang maksud itu tidak sama dengan rumah yang ada dalam pemahaman mereka. O Hongana Manyawa memelihara hutan sama dengan memelihara rumah, karena hutan itulah yang menjadi sumber kehidupan mereka.
“Mereka disitu meramu, mereka di situ berburu, disitu mewariskan keturunan, sehingga hutan itu adalah rumah,” katanya.
Dalam klasifikasi hutan menurut ada dalam komunitas itu baik dalam komunitas Halmahera Timur, baik komunitas Halmahera Utara, maupun komunitas Halmahera Tengah itu sama. Dijelaskan ada tiga bentuk klasifikasi hutan yang mirip dikembangkan Negara. Misalnya hutan Lindung, mereka itu ada hutan lindung, ada juga disebut dengan hutan Industri.
Jadi menurutnya, di dalam klasifikasi orang tobelo dalam terbagi atas tiga bagian yakni Fongana, Hongana, Raima Hamoko.
“Jadi Fongana itu disitu tempat leluhur mereka. Kalau Hongana disitu tempat tinggal mereka dan tempat mereka meramu, berburu, dan lain-lain. Jadi kalau Fongana adalah hutan lindung. Hongana itu yang disebut dengan hutan kehidupan mewarisi kehidupan turun temurun di sekitar situ. Dan Raima Hamoko sama dengan hutan Industri disitu sumber kehidupan. Dan itu sama dengan Negara membagi hutan ada hutan lindung, hutan industri, hutan konservasi,” ungkapnya.
Suku Tobelo Dalam atau biasa dikenal dengan O Hongana Manyawa, dan sebagian masih di sebut orang Togutil. Komunitas ini masih mendiami hutan Halmahera yang kian terancam. Mereka mendaptkan stigmaburuk dan terancam atas kehadiran tambang-tambang perusahaan. Steroitip sering muncul pada mereka seperti orang jahat, pembunuh, dan banyak cap buruk.
Kata Hongana Manyawa, menurut Syaiful, dilakukan saat Dia melakukan pendampingan maupun riset mandiri yaitu. Karena istilah Hongana Manyawa itulah yang sering Ia pakai. Cristofer Danken, rekannya yang juga meneliti bersamanya memakai istilah “Forest Tobelo”.
“Saya juga pernah riset-riset dengan Christofer Danken. Beberapa kali saya riset di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah bersama dia. Dia menggunakan istilah Forest Tobelo. Tapi kalau saya menggunakan O Hongana Manyawa. Jadi lebih dekat. Jadi membedakan mana orang pantai, mana orang hutan. Makanya saya bilang O Hongana Manyawa. Kalau orang pantai O Bereira Manyawa. Itulah bagian tak lepas dari mereka,” ujarnya.
Seperti orang Sawai kehilangan identitas, dosen Sosiologi ini berharap orang Togutil tidak kehilangan identitas.
“Jangan-jangan sampai itu terjadi. Tapi saya pikir orang sawai tidak kehilangan identitas, tapi perlu ditelusuri lebih mendalam karena bagian dari corak kehidupan salah satunya adalah identitas”
Istilahnya yang digunakan Syaiful adalah satuan hutan. Ia menjelaskan dari segi pembagiannya, Halmahera Timur dan Halmahera Tengah ada 21 satuan hutan. 6 berada di Halmahera Tengah, 1 ada di Kota Tidore, karena Oba masuk kota Tidore, Tayawi.
“Tayawi itu eksodus dari Ake jira. Ada juga dari tanjung lili yang ke Tayawi”
Lanjutnya, 14 satuan lainnya ada di Halmahera Timur. Mulai dari Makahar, Marasikno, Pumlanga, Ruma Tuju, Dodaga, ada 14 satuan hutan di Halmahera Timur.
“Kalau di Halmahera Utara ada 4 satuan hutan. Jadi secara keseluruhan di Halmahera itu ada 25 satuan hutan. Kalau komunitas itu hanya 3 komunitas. Tersebar di 25 satuan hutan di Halmahera,” jelasnya.
Saat ini, menurutnya, meski kooporasi masuk di Halmahera Tengah, namun komunitas O Hongana Manyawamasih mendiami beberapa lokasi di hutan. Dia contohkan komunitas Bokum sampai saat ini masih menempati hutan Ake Jira dan Kao Rahai (sangat indah). Ada Diha di Ake Sangadji. Masih banyak komunitas di hutan mereka. Di belakang Dote ia bilang, masih ada komunitas O Hongana Manayawa.
“Kita tidak bisa pungkiri mereka masih ada. Jangan menutup mata, tidak bisa menutup mata,” ucapnya.
Untuk Investor, Syaiful berharap saat melakukan operasi produksi harus memperhatikan keberadaan mereka.
Kalau mengatakan tanah itu adalah tanah Negara, Syaiful mempertanyakan penempatan komunitas itu berada di mana. “Apakah bukan warga Negara kita. Itu warga Negara kita yang tidak dihitung oleh Negara,” pungkasnya.
Dengan masuknya investasi berskala besar ini, Ia mengatakan sudah pasti mengancam ruang hidup komunitas mereka di hutan. Masuknya Investor untuk melakukan operasi produksi tanpa mempertimbangkan kearifan lokal mereka, terbukti banyak perusahaan di hutan mereka.
Ini sebenarnya, katanya, benturan antara kepentingan Negara dengan masyarakat sipil salah satunya komunitas ini.
“Investor yang masuk tanpa melalui daerah, namun melalui pemerintah pusat contoh kasus seperti perusahaan besar seperti IWIP, Tekindo dan lain-lain mungkin saja izinya tidak melalui daerah, mereka lewat pusat. WBN itu dari pusat, kontrak karyanya jelas. Tapi apa yang didapatkan oleh komunitasnya yang ada di hutan”
“Saya anggap tidak ada manfaat, malah merusak kearifan lokal mereka” (TS-01)
Discussion about this post