KEPADA YANG TERHORMAT,
MS. FEMKE HALSEMA, DAN MR. MARK RUTTE
TITASTORY.ID– Pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2021, setahun yang lalu, Walikota Amsterdam, Femke Halsema, secara resmi telah meminta maaf atas keterlibatan kota Amsterdam dalam perdagangan budak global pada zaman kolonialisme dimasa lalu. Permintaan maaf Halsema ini, sekaligus telah menjadikan Amsterdam sebagai kota pertama di Belanda yang menyampaikan permintaan maaf mengenai perbudakan. Dalam pidatonya, Halsema menyatakan, penelitian menunjukkan, bahwa: “Dari akhir abad ke-16 hingga abad ke-19, keterlibatan Amsterdam secara langsung, di seluruh dunia, dalam skala besar, beragam dan berlarut-larut”. Termasuk di Indonesia.
Secara prinsip, permintaan maaf Halsema atas perbudakan adalah suatu perbuatan yang amat sangat baik dan mulia. Tetapi permintaan maaf Halsema itu kemudian menjadi suatu masalah, ketika Halsema meminta maaf kepada Indonesia atas perbudakan. Sebab pada akhir abad ke-16 hingga abad ke-19, Indonesia tidak ada dalam wilayah ‘India-Timur dan/atau India-Belanda’ (dari Aceh di barat sampai Papua di timur, dan dari Miangas di utara sampai Rote di selatan).
Jika Indonesia tidak ada dalam wilayah India-Timur/India-Belanda pada akhir abad-16 hingga abad ke-19, maka permintaan maaf Halsema kepada Indonesia atas perbudakan adalah suatu kesalahan fatal dalam sejarah. Sebab permintaan maaf Halsema tersebut tidak disampaikan kepada siapa sebenarnya yang menjadi korban perbudakan, tetapi sebaliknya permintaan maaf Halsema itu justeru disampaikan kepada siapa yang bukan merupakan korban perbudakan. Dan oleh sebab itu pula, permintaan maaf Halsema lalu kehilangan nilai kebaikan dan kemuliaannya.
Jika Indonesia tidak ada pada akhir abad ke-16 hingga abad ke-19, maka Indonesia bukan merupakan korban perbudakan dalam wilayah India-Timur/India-Belanda. Pada akhir abad ke-16 hingga abad ke-19 yang menjadi korban perbudakan adalah 300 bangsa yang ada dalam wilayah India-Timur/India-Belanda. Dan dari ke-300 bangsa yang ada dalam wilayah India-Timur/India-Belanda pada akhir abad ke 16 hingga abad ke-19, tidak ada satupun bangsa yang bernama Indonesia.
Ke-300 bangsa inilah yang dalam kenyataannya benar-benar telah mengalami luka, sakit dan derita sebagai akibat dari sebab peristiwa perbudakan yang terjadi pada akhir abad ke-16 hingga abad ke-19 dalam wilayah India-Timur/India-Belanda. Beberapa dari ke-300 bangsa itu adalah, Aceh, Batak, Minang, Sunda, Dayak, Madura, Bugis, Makasar, Buton, Minahasa, Flores, Mandar, Bali, Alifuru (Maluku), dan Papua. Kepada ke-300 bangsa inilah, Halsema seharusnya meminta maaf. Dan bukan sebaliknya, Halsema malah justeru meminta maaf kepada Indonesia.
“Tubuh antropologis” dari ke-300 bangsa dalam wilayah India-Timur/India-Belanda inilah yang merasakan pedih-perihnya perbudakan pada akhir abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu “tubuh antropologis” dari bangsa Aceh, Batak, Nias, Minang, Rejang, Mandar, Mentawai, Melayu, Jambi, Lampung, Palembang, Sunda, Betawi, Madura, Dayak, Bone, Bugis, Makasar, Goa, Tallo, Buton, Toraja, Minahasa, Sumbawa, Flores, Sasak, Bali, Alifuru (Maluku), Papua, dan lain-lain.
Indonesia tidak memiliki “tubuh antropologis”. Indonesia hanya memiliki “tubuh politis”. “Tubuh politis” Indonesia itu sendiri pun belum selesai terbentuk secara tuntas. “tubuh politis” Indonesia masih dalam proses menjadi dari potensi ke aktus. “Tubuh politis” Indonesia bahkan dilahirkan secara “prematur” dengan “cacat bawaan” yang memiliki kecenderungan untuk dibiarkan menjadi “cacat permanen”.
Ketika menyampaikan permintaan maaf tentang perbudakan pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2021, Halsema seharusnya tidak mengganti “tubuh antropologis” ke-300 bangsa sebagaimana tersebut di atas dengan “tubuh politis” Indonesia. Sebab “tubuh antropologis” dan “tubuh politis” adalah 2 (dua) entitas berbeda yang lahir dari 2 (dua) konsep pemikiran yang berbeda pula secara substansial. Dan oleh sebab itu pula, “tubuh antropologis” dan “tubuh politik” tidak dapat dipertukarkan atau dipersamakan apalagi dipersatukan. Dengan demikian, Halsema telah membuat suatu kesalahan fatal dalam sejarah melalui permintaan maaf atas perbudakan kepada Indonesia pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2021. Sebab permintaan maaf Halsema kepada Indonesia atas perbudakan, adalah suatu permintaan maaf tanpa ‘alas hak’ (title) yang sah.
Kesalahan fatal dalam sejarah yang dilakukan oleh Halsema pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2021, semoga tidak diulang lagi oleh Mark Rutte (Perdana Menteri Belanda) yang telah membuat rencana untuk – pada pertengahan bulan desember tahun 2022 ini – meminta maaf atas sejarah Belanda sebagai negara yang melakukan perbudakan di negara-negara jajahan pada masa silam. Salah satu negara dimana Rutte akan meminta maaf atas perbudakan di masa lampau adalah Indonesia. Dalam hubungan dengan rencana permintaan maaf Rutte kepada Indonesia, Rutte harus mempertimbangkan pepatah ini: “Sebodoh-bodohnya semua keledai, seekor pun keledai tidak akan pernah terantuk pada batu yang sama untuk kedua kalinya”.
Semoga Rutte tidak sampai menjadi orang kedua yang melakukan kesalahan fatal dalam sejarah. Setelah sebelumnya, Halsema melakukan kesalahan fatal dalam sejarah pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2021. Sebab bukankah pada hari kamis, tanggal 1 Juli 2021 tersebut, Rutte sendiri menyatakan tidak setuju dengan permintaan maaf atas perbudakan yang dinyatakan oleh Halsema (?). Dan bukankah pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2021 itu juga, Rutte adalah orang yang menolak dengan keras dan tegas rencana seruan Negara Kerajaan Belanda untuk meminta maaf mengenai perbudakan secara resmi (?). Mengapa pada saat ini, Rutte justeru melakukan tindakan sebaliknya, yaitu dengan menjadi orang terdepan yang akan meminta maaf tentang perbudakan atas/nama Rakyat dan Negara Kerajaan Belanda?
Permintaan maaf Halsema – dan mungkin nantinya juga permintaan maaf Rutte – seharusnya tidak hanya sekedar menjadi tradisi politik yang bersifat pragmatis dan seremonial dalam sejarah modern Belanda, tetapi permintaan maaf itu haruslah dinyatakan secara jujur dan dengan cara yang benar untuk dapat memenuhi rasa keadilan kepada setiap individu yang dalam kenyataannya adalah korban sesungguhnya dari suatu ‘perbuatan jahat’ (perbudakan).
Sekalipun pemerintah Negara Kerajaan Belanda telah mengalokasikan “dana kesadaran perbudakan” sejumlah E. 200.000.000 dan/atau sebanyak Rp. 3.000.000.000.000 (kurs: E. 1 = Rp. 15.000), tetapi “dana” tersebut akan kehilangan nilai, makna dan manfaat/kegunaannya, jika permintaan maaf Rutte disampaikan kepada Indonesia dan tidak disampaikan kepada ke-300 bangsa yang dalam kenyataannya adalah korban sesungguhnya dari peristiwa perbudakan yang terjadi di wilayah India-Timur/India-Belanda pada akhir abad ke-16 hingga abad ke-19.
Rakyat dan Pemerintah Negara Kerajaan Belanda jangan sampai menjadi seperti Imam-imam kepala dan Tua-tua orang Yahudi yang membunuh Yesus dari Nazareth (Yesus Kristus) lalu membayar 30 keping perak kepada Yudas dari Kerioth (Yudas Iskarioth) atas pembunuhan Yesus Kristus tersebut. Ingatlah bahwa, jika sampai rakyat dan pemerintah Negara Kerajaan Belanda menjadi seperti Imam-imam kepala dan Tua-tua orang Yahudi, maka uang sejumlah E. 200.000.000 dan/atau sebanyak Rp. 3.000.000.000.000 itu, akan menjadi “uang darah”.
Yudas Iskarioth yang merasa bersalah karena telah menerima 30 keping perak tersebut, kemudian memberikan kembali 30 keping perak itu kepada Imam-imam kepala dan Tua-tua orang Yahudi. Sebaliknya, jika uang sebanyak E. 200.000.000 tersebut diberikan oleh rakyat dan pemerintah Negara Kerajaan Belanda kepada Indonesia, maka Indonesia tidak akan pernah memberikan kembali uang itu kepada rakyat dan pemerintah Negara Kerajaan Belanda, sekalipun uang senilai E. 200.000.000 itu secara jelas dan nyata adalah hak dari ke-300 bangsa yang ada dalam wilayah India-Timur/India-Belanda, dan yang dalam kenyataannya adalah korban sesungguhnya dari peristiwa perbudakan yang terjadi pada akhir abad ke-16 hingga abad ke-19, dan bukan hak Indonesia.
Penulis merupakan Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon
Discussion about this post