titastory, Halmahera Timur – Air Kali Kukuba di Buli Asal, Halmahera Timur, kini tak lagi jernih. Warna cokelat pekat mengalir pelan di antara akar bakau yang merentang seperti jaring raksasa. Aroma lumpur bercampur logam tercium tajam, menyelimuti udara panas siang itu. Di tepian, perahu-perahu nelayan yang dulu tertambat rapi tampak kosong; sebagian teronggok miring, sebagian lainnya sudah tak pernah turun ke laut.
Bagi warga Buli Asal, kali ini bukan sekadar aliran air. Dulu, inilah urat nadi yang menghubungkan kampung dengan laut, tempat nelayan menambatkan perahu sebelum berlayar ke perairan Teluk Buli. Kini, aliran itu dialiri sedimen tambang PT Feni Haltim—material lumpur ore nikel yang turun dari bukit galian, perlahan menutup dasar sungai dan mematikan kehidupan di dalamnya.

Kondisi ini terpantau pada Rabu, 13 Agustus 2025. Air yang dulunya jernih kini berubah keruh pekat, memantulkan warna lumpur. Warga setempat mengatakan, perubahan warna terjadi sejak aliran sungai dialiri material ore nikel dari wilayah tambang di hulu.
“Kali ini dulu sumber air dan jalur utama perahu nelayan. Sekarang, sedimennya semakin tebal,” kata M.S. Marsaoly, pegiat sosial dan lingkungan asal Buli, dalam sebuah pernyataannya di media sosial, Rabu, 13 Agustus 2025.
Ia menilai pencemaran ini sebagai bagian dari dampak masifnya ekspansi tambang nikel di pesisir Teluk Buli, termasuk pembangunan pabrik baterai yang kini berdiri di Tanjung Buli. “Transisi energi yang digembar-gemborkan hanyalah kepentingan bisnis global. Kami di Halmahera justru jadi korban,” ujarnya.

Menurut Marsaoly, selain Kali Kukuba, sungai Wayafli yang bermuara di kawasan Buli Asal juga mengalami nasib serupa. Sedimen tambang mengalir bebas tanpa ada langkah mitigasi berarti dari perusahaan maupun pemerintah daerah.
Hingga berita ini diterbitkan, PT Feni Haltim belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan pencemaran tersebut.
Penulis: Jurnalis Warga