titastory, Intan Jaya – Dentuman senjata menggantikan suara lonceng sekolah di Intan Jaya. Ratusan warga, termasuk puluhan anak-anak, kini harus hidup dalam ketakutan dan pengungsian akibat konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan TNI.
Data terbaru menunjukkan, sekitar 150 perempuan, 90 kepala keluarga, dan 70 anak usia 0–15 tahun terpaksa meninggalkan rumah. Sebagian masih bertahan di hutan, sisanya menumpuk di Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah. Kondisi mereka memprihatinkan: kekurangan obat-obatan, makanan, hingga akses pendidikan.
“Kondisi terkini warga pengungsi sangat susah mendapatkan obat-obatan. Ini kebutuhan mendesak yang belum terpenuhi,” ujar seorang relawan kemanusiaan dalam siaran pers yang diterima titastory.id, Sabtu (23/8/2025).
Generasi yang Terampas
Seorang aktivis Papua, Maikel Kudiai, menuliskan keresahannya di media sosial. Baginya, konflik bersenjata tak hanya merenggut nyawa, tapi juga masa depan generasi Papua.
“Mereka seharusnya bangun pagi, mengenakan seragam merah-putih, lalu pergi ke sekolah. Bukan bersembunyi karena suara senapan yang membelah sunyi,” tulisnya.
Maikel menyebut, sehari saja anak tidak sekolah, orang tua sudah khawatir akan tertinggal pelajaran. Kini, ribuan anak di Intan Jaya kehilangan hak belajarnya berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.
“Kita sering ribut soal pendidikan kontekstual. Tapi kita lupa anak-anak pengungsi, yang sama sekali tak tersentuh ruang kelas,” ujarnya.
Luka yang Menumpuk
Anak-anak di pengungsian bukan hanya kehilangan pendidikan, tapi juga menanggung trauma mendalam. Luka batin itu bercampur dengan pelajaran yang tertinggal, tahun demi tahun.
Sementara itu, pemerintah pusat kerap bicara soal pendidikan gratis dan melahirkan orang Papua hebat. Di lapangan, ribuan anak Papua justru tersingkir dari sekolah karena konflik.
“Negara bicara kemajuan, tapi tidak punya hati bagi mereka yang harus belajar di tengah peluru,” tulis Maikel.
Para pengungsi juga menghadapi beban ganda: selain kekurangan pangan, mereka harus membayar biaya pindah sekolah jika ingin anak-anak tetap bersekolah di wilayah pengungsian.
“Banyak dari mereka tinggal di rumah orang. Untuk memindahkan anak ke sekolah baru pun butuh biaya, dan itu memberatkan,” kata Maikel.

Bendera Sebagai Tameng
Potret tragis lainnya muncul saat warga mengungsi ke hutan. Para perempuan dan anak-anak membawa bendera merah-putih, bukan untuk merayakan 17 Agustus, tetapi agar tidak ditembak aparat.
“Ini bukan perayaan kemerdekaan. Ini cara mereka bertahan hidup. Membawa bendera supaya tidak dianggap musuh,” ungkap Maikel.
Ia menegaskan, hanya desakan keras dari berbagai pihak yang mampu mengubah situasi ini.
“Kita perlu suara-suara lantang untuk menekan situasi ini. Kalau tidak, generasi Papua akan terus tumbuh dalam bayang-bayang konflik dan kehilangan segalanya,” pungkasnya.
Penulis: Johan Djamanmona