titastory, Wetar – Gelombang penolakan terhadap aktivitas pertambangan kembali bergema dari Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya. Warga mendesak penutupan operasi PT Batutua Kharisma Permai (BKP) dan PT Batutua Tembaga Raya yang sejak 1980-an mengeksploitasi kekayaan tembaga di pulau kecil itu.
Seruan itu menguat pasca kecelakaan di Dermaga Kali Kuning pada 26 Agustus 2025. Sebuah tongkang pengangkut ore milik PT BKP patah dan tenggelam, menenggelamkan sekitar 10 ribu ton tanah ore ke perairan Wetar. Peristiwa itu menyalakan kekhawatiran akan ancaman pencemaran logam berat, oli, dan bahan kimia yang bisa menghantam ekosistem laut dan sumber penghidupan nelayan.

Di media sosial, warga ramai-ramai menyuarakan penolakan. Hendrik Mabala, warga setempat, menulis di akun Facebook-nya: “Mau usir dong (mereka) keluar dari tambang dan tutup tambang atau mau jadi penonton di atas yang kita punya?”
Menurut Hendrik, sikap kritis warga adalah satu-satunya cara mempertahankan pulau kecil itu dari kerusakan.
“Optimisme menjaga Wetar adalah perjuangan baik yang harus dilakukan,” ujarnya.
Ketimpangan dan Krisis Ekologis
Warga menilai kecelakaan tongkang itu bukan insiden biasa. Mereka menyebut adanya kelalaian prosedur operasional serta lemahnya pengawasan pemerintah. “Masyarakat lagi-lagi yang menanggung akibat. Pemerintah dan perusahaan saling lempar tanggung jawab,” kata salah satu tokoh pemuda Wetar yang enggan disebut namanya.
Kritik serupa datang dari kalangan akademisi. Sadrak L. Wutres, dalam tulisannya Jejak Panjang Pertambangan di Pulau Wetar-Lirang: dari Emas ke Tembaga; dari Janji Sejahtera ke Krisis Ekologis, menyebutkan pola ekstraksi tanpa transformasi jelas terlihat.
“Perusahaan berhasil memasok hasil tambang ke pasar global, namun nilai tambah dan diversifikasi ekonomi daerah nyaris tidak berkembang,” ujar Sadrak. Menurutnya, skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tak lebih dari upaya meredam kritik.
Ia menegaskan, kasus tongkang patah membuka masalah lebih besar: absennya mekanisme akuntabilitas di industri ekstraktif di pulau-pulau kecil. “Masyarakat kecil yang akhirnya menanggung risiko ekologis terus-menerus,” katanya.
Pulau yang Dikorbankan
Bagi warga Wetar, pertambangan yang digadang-gadang sebagai pintu kemakmuran justru menghadirkan jurang ketimpangan. Sejak eksploitasi emas di era 1980-an hingga tambang tembaga hari ini, yang tersisa hanyalah kerusakan ekologis.
“Jika pola ini terus berlanjut, Wetar bukan akan dikenang sebagai pulau penghasil tembaga dan emas, melainkan sebagai pulau yang dikorbankan demi logika kapitalisme ekstraktif,” kata Sadrak.
Suara lantang warga kini menuntut satu hal: tambang harus ditutup.