titastory.id, jakarta – Konflik sumber daya alam dan kerusakan lingkungan terus terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Desentralisasi tata Kelola sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan sebagai bagian penguatan masyarakat dan pemerintahan di daerah kemudian menjadi factor lain yang turut serta memicu konflik. Belakangan ini sejumlah wilayah di Timur Indonesia, seperti Awyu dan Moi di Papua, Halmahera Tengah, Timur dan Selatan di Maluku Utara, Kepulauan Aru, Pulau Seram dan Buru di Maluku, Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur tengah saat ini masyarakat adatnya dipaksa berhadapan dengan kebijakan Negara. Masyarakat sebagai pemilik ulayat, saat ini berjuang mempertahankan tanahnya dari oligarki yang dibungkus oleh peraturan dan UU yang tidak berpihak kepada masyarakat Adat.
Buntut dari semua itu, terjadi ketimpangan dan ketidakadilan Negara kepada rakyatnya, mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Melanesia, menggeruduk kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kamis (27/6/2024).
Massa aksi yang terdiri dari gabungan mahasiswa Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur ini melakukan orasi di depan gerbang Kantor KLHK.
Terlihat dari spanduk, panflet-panflet, poster menghiasi aksi demontrasi oleh Solidaritas Mahasiswa Melanesia ini. Disitu, ada berbagai tuntutan yang akan disampaikan. Baik kepada Pemerintah Pusat melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Joko Widodo Presiden RI, Elon Musk Ceo Tweeter atau X serta pabrik industry otomotif Tesla, Mahkamah Agung, hingga Pemerintah Norwegia.
“Melanesia Movement. #Save Papua #Save Maluku-Utara #Save NTT”
“Cabut semua izin diatas tanah Moi dan Papua”
“Tanah Leluhur kami bukan untuk dijual”
“Stop Pencurui Sa Pu Tanah Tanah dan Hutan Adat”
“Tanah Malamoi Bukan Tanah Kosong”
Kami bersama Suku Awyu & Moi”
“DPR RI All Eyes on Moi Tribe”
“Save Tor Dauk Kepulauan Aru”
“Tolak investasi perusak Aru”
“Masyarakat Nusa Ina Toka Tambang, Pulau Kami Bukan Untuk Limbah Nikel”
“Elon Musk Will Kill the Inner Tobelo People”
“#Save inner Tobelo people”
“Stop privatisasi hutan NTT”
“Tanah NTT bukan tanah kosong”
Begitulah bunyi sejumlah pernyataan yang tertulis di spanduk dan pamflet milik para demonstran.
Tak hanya tulisan beberapa foto seperti Jokowi dan Elon Musk tertulis ““Elon Musk You Are Rich, But We Suffer” dan Ellon Musk Killing Alifuru O Hongana Manyawa”
Kordinator Aksi, Feronika Latbual, dalam orasinya menyatakan kerusakan alam terjadi dimana-mana namun negara seakan menutup mata dan acuh. Katanya bukan menjadi evaluasi namun pemberian izin makin masif dilakukan.
Dikatakan, negara harusnya berlaku adil. Keberadaan sumber daya alam (SDA) di wilayah Indonesia timur yang di kelola oleh negara harusnya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Namun hal ini berbanding terbalik, masyarakat malah jadi korban eksploitasi sumber daya alam.
Dia bilang kebijakan Negara sepihak dalam menjalankan aturan sehingga terjadi konflik antara masyarakat melawan apparat penegak hukum.
“Kami sebagai masyarakat, menuntut hak kami. Orang tua kami yang tertindas. Bapak-ibu tidak tahu apa yang kami rasakan akibat kebijakan sepihak negara dengan mengekuarkan izin. Kami hidup dari tanah kami, kami hidup dari hutan kami, kami hidup dari kebun sehingga kalua itu rusak maka akan merusak tatanan social dan ekonomi masyarakat adat,” kata Fero.
Perempuan asal Kabupaten Buru Selatan ini menjelaskan berbagai persoalan yang terjadi di wilayah Indonesia Timur. Dari perampasan ruang hdup yang terjadi secara massif di wilayah Papua, penambangan nikel yang merusak di wilayah Halmahera, Maluku utara. Hingga persoalan pemberian ijin PBPH yang menjadi ancaman bagi masyarakat kepulauan Aru, Maluku hingga pennyerobotan lahan masyarakat adat di Pulau Buru demi program strategis nasional (PSN) Geothermal.
Dia bilang konflik masyarakat adat di pulau Buru dengan perusahaan Geotermal adalah bagian dari kegagalan negara dimana izin yang dikeluarkan pemerintah tanpa izin pemilik lahan. Itu berarti, Negara tidak menghargai kesatuan masyarakat adat yang telah tinggal di situ. Hal ini membuat sebagai anak dari Pulau berjuluk Bupolo ini, tidak akan tinggal diam dengan seluruh kebijakan negara yang mengatasnamakan pembangunan.
Alfred Pabika, mahasiswa Papua dalam orasinya menyampaikan investasi yang masuk di sejumlah daerah Timur ini tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat sebagai pemilik tanah ulayat, malah merugikan. Banyak kasus seperti di Maluku, Maluku Utara, Papua dan NTT banyak terbukti investasi yang masuk malah menjadi sumber petaka bagi masyarakat setempat. Masyarakat menurutnya hanya menerima dampak negative seperti pencemaran limbah dan bencana.
“Perusahaan kelapa Sawit di Merauke, Moi ada juga minyak, Freeport, Nikel yang ada di Maluku tidak pernah memberikan keuntungan bagi masyarakat padahal Undang-undang tentang CSR, itu berarti pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap masyarakat dan itu sebesar 40 % tetapi tidak pernah itu menyentuh mereka, namun sebaliknya merusak hutan milik masyarakat yang ada di sana” kata Alfred.
Dikatakan, seluruh tanah yang saat ini diklaim oleh investor dan negara sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Untuk itu menurutnya, tidak semestinya secara sepihak mengklaim tanah dan hutan adalah milik negara sehingga rakyat dipaksa untuk berjuang demi merebut tanah leluhurnya.
“Tanah-tanah di sana yang dikalim pemerintah untuk para investor itu adalah tanah bertuan, untuk itu harus menghargai pemilik lahan, jangan masuk dengan program strategis nasional atau hilirisasi tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat,” lanjutnya.
Ia bilang berbagai produk hukum milik negara seperti Undang-undang 1945 pasal 18 B tentang keberadaan masyarakat hukum adat seharus menjadi pertimbangan dari Negara untuk melindungi hutan dan masyarakat adat. Namun produk hukum milik negara itu pun tetap dilanggar sehingga masyarakat adat sebagai pemilik tanah dan hutan.
“Jadi jangan kami datang kesini untuk mau bilang ke Ibu Siti Nurbaya untuk mempertimbangkan berbagai izin yang dikeluarkan. Menghormati hak-hak masyarakat adat, yang ada di Maluku, yang ada di NTT, yang ada di Papua,” tambahnya.
Mewakili perwakilan mahasiswa Papua di Jakarta, Alfred bilang akan mengawal terus aksi demi menyuarakan suara dan tuntutan masyarakat adat di wilayah Melanesia.
Christina Rumahlatu, Ketua Forum Mahasiswa Seram Bagian Barat Maluku, mengataan, merdeka, bersatu adil dan Makmur adalah cita-cita dari suatu bangsa demi mensejaterahkan rakyatnya, demikian juga Negara Indonesia yang mempunyai cita-cita membawa rakyatnya sejahtera, adil dan Makmur. Namun pernyataan itu hanyalah isapan jempol jika dibandingkan dengan kondisi yang terjadi saat ini di Empat wilayah di Timur Indonesia.
“Papua harus merdeka, Maluku harus merdeka, Flobamora (Nusa Tenggara Timur) harus merdeka, Melanesia harus merdeka. Maka saat ini kita sebagai solidaritas Melanesia datang untuk mengangkat panji perlawanan terhadap Pemerintah Jokowi dan Menteri KLHK Siti Nurbaya,” ucap christin dalam orasinya.
Kordinator Lembaga Selamatkan Alam – Selamatkan Generasi (SASI) ini memberi sanksi kepada Kementrian LHK yang dinilai lalai mengawasai sejumlah perusahaan di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Ia menilai, saat ini hutan di Halmahera Tengah dan Timur terancam rusak akibat eksploitasi tambang nikel yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan. Ironisnya, dari Dokumen Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terlampir di peta MODI ESDM, terlihat saling tumpang tindih satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Selain hutan yang rusak kata Christin, O Hongana Manyawa, manusia nomaden yang tinggal di hutan Halmahera juga terancam tersingkir akibat penggusuran terus dilakukan perusahaan.
“Bagaiaman kalau rumah bapak-bapak ini dirusak oleh orang lain, bapak-ibu akan terima atau tidak? Pastinya tidak. Untuk itu kami menegaskan agar hutan sebagai rumah bagi Orang Tobelo Dalam jangan dirusak rumah,” kata Christin.
Ia bilang, aktivitas perusahaan yang beroperasi telah merusak sumber kehidupan suku yang masih hidup nomaden ini, seperti sumber air bersih dan juga tanaman pangan. Hutan sebagai rumah orang Tobelo Dalam ini telah dijaga turun temurun.
Di kaki gunung Wato-Wato kata Christin jadi sumber air bersih bagi masyarakat Halmahera Timur juga terancam rusak. Dimana daerah resapan telah gundul karena penggusuran lahan yang kian massif. Padahal gunung ini sebagai sumber kehidupan tidak hanya kepada O Hongana manyawa tetapi juga kepada masyarakat yang ada di pesisir.
Data terakhir kata Christin jumlah perusahaan tambang yang melakukan aktivitas di lahan seluas 227.683 hektar dengan 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964, 79 hektar.
60% wilayah Halmahera tengah, Maluku Utara kata Christin dikuasai industri tambang asal China, yakni Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Mayoritas saham IWIP dimiliki Tsingshan (40%) melalui anak perusahaan, Perlux Techonology Co.Ltd. Zhensi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.
“Gunung Wato-Wato sebagai benteng terakhir atau ruang tersisa Halmahera Timur sudah rusak akibat tambang”.
Selain itu, ada 27 izin usaha pertambangan (IUP), dengan luas konsesi 172.901,95 hektar. Konsesi tersebut telah menghancurkan ruang hidup warga Haltim. Kaki Gunung Wato-Wato dikuasai oleh Priven Lestari.
Meski begitu, program hilirisasi yang digaung-gaungkan negara ini nantinya akan mengahasilkan produk kendaraan listrik yang akan dijual ke pasar international/global.
Menurut Christin, salah satu pengusaha terkaya Elon Musk juga melebarkan sayapnya dalam bisnis ini, maka sudah barang tentu akan meraup banyak keuntungan. Namun dia bilang, Elon bahkan tak tahu, bahwa dibalik bisnisnya itu ada darah dan tangisan masyarakat adat di sana. Di mana terjadi pengrusakan hutan dan air di lokasi milik masyarakat O Hongana Manyawa maupun masyarakat adat di pesisisr Halmahera.
Untuk itu dibalik bisnis Tesla ini, Elon, kata Christin tidak menanamkan investasinya di Indonesia, baik di Halmahera Maluku Utara maupun di Papua dan Sulawesi. Sehingga para investor lokal dan pemerintah tidak semena-semena untuk menggusur hutan dan merusak lingkungan masyarakat adat.
Hal senada dilontarkan Zatli Nacikit, Pemuda Buru. Dalam orasinya, Zatli ungkapkan muak ketidakadilan yang terjadi pada sejumlah daerah yang tergabung dalam ras Melanesia, dimana Maluku, Papua dan Flobamora (NTT) sampai saat ini masih berada urutan kemiskinan tertinggi. Padahal jika dilihat dari sumber daya alamnya yang tiap tahun dikeruk, dapat mensejahterahkan masyarakatnya.
“Kita tahu bahwa Indonesia bagian Timur penyumbang pajak terbesar bagi Negara, namun saat ini masih terjadi kemisikinan dan ketimpangan social di masyarakat,” katanya.
Sebagai bagian dari Solidaritas Masyarakat Melanesia, Ia bilang, pemerrintah dan negara sengaja menutup mata dari berbagai maslaah yang terjadi.
“Kami saat ini mempertanyakan dampak dari investasi di daerah kami. Jangan kami hanya terima kerugian berupa kerusakan alam saja, namun hasil keuntungan dibawa pergi tentu ini sangat merugikan masyarakat setempat,” teriaknya.
Sehingga menurutnya, aksi yang dilakukan oleh solidaritas Melanesia ini adalah bagian dari perjuangan bersama masyarakat Melanesia untuk memperjuangan tanah dan hutan adat dari oligarki.
Sejak 2010, kata Zatli tambang illegal di gunung botak pulau buru telah menghancurkan alam, baik lingkungan, budaya dan social masyarakat adat setempat.
Ia sayangkan, tanbang emas yang seharusnya bisa mensejahterakan masyarakat dan pembangunan ekonomi tidak sedikit pun berdampak. Malah yang terjadi adalah tingginya angka kriminalitas, kerusakan lingkungan yang sudah sangat parah, dan juga nilai social budaya masyarkat adat yang semakin tergerus dan hancur.
“Ini sudah sangat lama. Jangan jadi bisnis kotor bagi Pemerintah maupun pengusaha. Ini sudah diututup beberapa kali, bahkan oleh Presiden tapi terus berjalan, ada apa? Siapa dibelakangnya? Saya meminta KLHK segera melakukan investigasi dan menutup tambang ilegl ini,” kataya.
Elon Musk & Norwegia
Maraknya bisnis ekstraktif di wilayah Indonesia Timur telah mengesampingkan hak konstitusional masyarakat adat sebagai warga negara Republik Indonesia”.
“Isu-isu wilayah Indonesia Timur makin kompleks dan sensiitif, juga berpotensi menimbulkan konflik horisontal diantara masyarakat pribumi yang dipicu oleh aktivitas bisnis ekstraktif”.
Pengrusakan hutan demi menjalankan program strategis nasional, menurut mahasiswa Maluku ini tentunya berbanding terbalik saat Indonesia menjadi salah satu dari 171 Negara yang menandatangani Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Saat itu Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menghadiri dan langsung menandatangi perjanjian Paris pada uoacara tingkat tinggi penandatangan Paris (high-level) signature ceremony for the Paris Agreement) yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Jumat 22 April 2016.
Perjanjian Paris sendiri merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2030-2030.
Tak hanya itu, kerja sama penurunan emisi yang terjalin antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam menekan laju deforestasi menurut Christin sepertinya hanya sebatas kalangan elit semata. Faktanya kata perempuan Nusa Ina ini berbanding terbalik.
Dari data dokumen Forest Watch Indonesia (FWI) https://fwi.or.id/wp content/uploads/2019/10/FS_Deforestasi_FWI_small.pdf angka Deforestasi Sebagai “Alarm” memburukan hutan di Indonesia tercatat total deforestasi di Indonesia adalah 5.723.787 hektar. Maluku seluas 287.166 hektar, Papua seluas 371.663 hektar serta Bali dan Nusa Tenggara Timur seluas 332.005 hektar.
Deforestasi yang terjadi didalam izin pemanfaatan dan penggunaan lahan yang diberikan oleh Pemerintah pada periode 2013-2017 mencapai 2,81 juta hektare atau sekitar 49 persen dari total deforestasi di seluruh Indonesia. Berdasarkan tipe konsesi sebagai lokasi terjadinya deforestasi. Sumbangan deforestasi terbesar berasal dari areal yang tumpang tindih antar izin pemanfaatan dan penggunaan lahan, yaitu mencapai 0,78 juta hektare. Sektor pertambangan berada di posisi kedua sebagai penyumbang deforestasi terbesar yaitu seluas 0,7 juta hektare. Sedangkan untuk sektor perkebunan kelapa sawit menyumbang 0,58 juta hektare.
Dengan besarnya tingkat penggundulan hutan yang terjadi, kata Christin, Indonesia seakan menutup mata dengan perjanjian dan dana yang dikucurkan oleh negara lain demi menyelamatkan krisis iklim. Satu diantaranya adalah Norwegia yang telah mengucurkan dana hingga ratusan miliar demi penurunan emisi karbon.
Johan Djamanmona, Perwakilan Pemuda Aru dalam aksinya menuntut kepada Pemerintah Norwegia untuk segera menghentikan pemberian dana penurunan emisi karbon kepada Pemerintah Indonesia karena faktanya di lapangan berbanding terbalik.
“Kami akan mendesak pemerintah Norwegia hentikan penyaluran dana penurunan emisi krabon karena dana itua supaya hutan bisa dijaga dan terawat. Tetapi realita di lapangan malah bentuk penipuan yang disampaikan, kerusakan hutan terus terjadi,” kata Johan. Mereka kata Johan tidak segan membuat petisi dan menyurati Pemerintah Norwegia untuk menghentikan dana tersebut.
Terhadap masalah yang terjadi Ia meminta Kementerian LHK segera melihat keberadaan suku Tobelo Dalam yang saat ini menjadi korban dari program proyek strategis nasional.
Johan Djamanmona, mengatakan, izin Pemanfaatan Pemanfaatan Hutan seluas 54.560 hektar kepada PT. Wana Sejahtera Abadi merupakan bentuk ancaman terhadap ruang hidup masyarakat di Pulau Wokam dan Pulau Woham, kabupaten kepulauan Aru.
Selain itu, rekomendasi izin peternakan sapi seluas 61.527 hektar yang diterbitkan oleh Johan Gonga, Bupati Kepulauan Aru pada 2019 rencananya akan dilakukan re-aktivasi merupakan ancaman baru terhadap budaya masyarakat dan ruang hidup masyarakat yang hidup dari aktivitas berburu.
Belum lagi kata Johan, aktivitas pembukaan hutan alam dan pembalakan liar yang massif dilakukan di Kabupaten kepulauan Aru sehingga berdampak terhadap masyarakat dari tahun ke tahun.
Contoh kasus kata Johan adalah Abrasi, banjir rob, serta banjir yang terjadi di beberapa desa. Hal ini akibat aktivitas pengrusakan hutan dan perubahan iklim global. Selain itu dari 2013 ancaman pengrusakan hutan terus berdatangan, terakhir 2018 dapat ditolak oleh masyarakat Aru.
“Kepulauan Aru adalah wilayah yang Iandai, hutan di kepulauan Aru adalah penyangga kehidupan yang sangat rentan dengan aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang ada di daratan”, kata Disman Gurgurem, salah satu Pemuda Aru.
Tak hanya di Maluku. Pengrusakan juga terjadi di wilayah Papua. Sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Tanah Papua menyusut 663.443 hektar, 29% terjadi pada 2001-2010 dan 71% pada tahun 2011-2019.
“Aktivitas pembalakan liar yang mengkambinghitamkan masyarakat sebagai pelaku utamanya. Pembalakan liar melibatkan banyak aktor termasuk didalamnya sejumlah pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum yang korup” kata Viktor Klafyu, seorang Pemuda Moi yang datang di Jakarta untuk memperjuangkan tanah adat.
Fiktor Klafyu, perwakilan masyarakat suku Moi, mengatakan perampasan ruang hidup masyarakat adat Moi di Sorong, Papua Barat Daya dan Masyarakat adat Aywu di Boven Digoel, Papua Selatan.
Ia bilang saat ini kedua suku di Tanah Papua sedang berjuang atas tanah yang diklaim perusahaan sawit seluas 36.094 hektar. Tentu saja kata Fiktor, operasi yang dilakukan dengan memanfaatkan izin kelayakan lingkungan hidup. Baginya, ini model kejahatan dan praktik bisnis yang merugikan dan tidak bertanggung jawab untuk keberlanjutan.
Fiktor mengatakan, tanah Papua terus menjadi sasaran pengrusakan lingkungan seperti pembalakan liar terjadi setiap waktu sehingga yang dikorbankan adalah masyarakat adat sebagai pemilik sah atas lahan tersebut.
“Proses pemberian izin melibatkan para peabat, masyarakat tidak hadir, terus masyarakat yang menjadi korban,” Tegas Fiktor.
Terhadap berbagai masalah kerusakan sumber daya alam dan lingkungan maka Solidaritas Mahasiswa Melanesia dihadapan perwakilan Kementrian KLHK menegaskan akan berdiri bersama masyarakat Kepulauan Aru, Suku Aywu dan Suku Moi, Suku Tobelo Dalam, serta masyarakat Adat Flores yang ruang hidupnya semakin terhimpit.
“Kami mengajak seluruh masyarakat adat Indonesia Timur bangsa Melanesia untuk bersama-sama memberikan dukungan terhadap perjuangan Solidaritas Mahasiswa Melanesia bersama masyarakat adat. Perjuangan yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan hak atas tanah dan sumber-sumber penghidupan mereka”
“Negara harus berlaku adil dengan mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat Indonesia Timur, bukan malah diperlakukan secara tidak adil kepada rakyatnya”, Demikian pernyataan sikap dan tuntutan mahasiswa di hadapan sejumlah pejabat Kantor KLHK.
Sementara perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berjanji akan menindaklanjuti persoalan yang disampaikan oleh para mahasiswa dan pemuda solidaritas Melanesia ini.
Tuntutan Solidaritas Melanesia
Berbagai pernyataan Solidaritas Mahasiswa Melanesia maka berikut sejumlah point tuntutan kepada pemerintah pusat melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, antara lain:
Pertama; Negara mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat di Indonesia Timur, bukan malah diperlakukan secara tidak adil dengan berbisnis, tidak bernegara.
Kedua; Mencabut izin PT. Indo Asiana Lestari (IAL) yang keberadaan di tolak oleh suku Awyu, Boven Digul.
Ketiga; Tidak memperpanjang izin PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS) di lahan masyarakat adat Moi Sigin.
Keempat; Masyarakat adat Papua menuntut agar semua izin illegal di tanah Papua.
Kelima; Mencabut Izin PT. Wana Sejahtera Abadi (WSA) dan membatalkan rencana usaha Peternakan Sapi di Pulau Trangan, Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru.
Keenam; Melindungi Komunitas Suku Tobel Dalam (O’hongana Manyawa) yang ruang hidupnya terancam oleh karena ekspansi pertambangan PT. IWIP.
Ketujuh; Mencabut izin PT. Priven dan sejumlah anak perusahaan Tambang yang diduga beroperasi secara illegal di sekitaran Gunung Wato-Wato, Halmahera Timur.
Selain melakukan orasi massa aksi juga melakukan sejumlah aksi treatikal pendek seperti kehidupan o hongana manyawa, masyarakat asli Halmahera yang tergusur akibat ekspansi pertambangan nikel oleh PT IWIP dan puluhan perusahaan nikel, dimana disana mereka terancam punah karena hutan mereka telah tergusur. Selain itu juga ada peran dari Jokowi dan Elon Musk yang berencana melakukan investasi di Halmahera, sehingga bisnis Tesla ini akan menghancurkan ruang hidup orang tobelo dalam dan masyarakat adat di pesisir Halmahera dan Pulau Obi.
Selain treatikal, aksi ini juga diwarnai dengan tarian adat cakalele yang merupakan tarian perang masyarakat adat Maluku dan Maluku Utara. Tarian ini dipentaskan dalam aksi ini agar menjadi simbol dari perlawanan masyarakat adat terhadap Oligarki dan Penguasa.
Aksi demonstrasi dan treatrikal ini sempat diguyur hujan deras namun massa aksi tetap bertahan memperjuangkan aspirasi masyarakat adat di wilayah Indonesai Timur. Mereka menuntut agar pihak Kementerian LHK menindaklanjuti tuntutan mereka. (TS-01)
Discussion about this post