#SoehartoBukanPahlawan Menggema: Masyarakat Sipil Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional

10/11/2025
Keterangan: Stiker penolakan pemberian gelar Pahlawan ke Soeharto, Presiden RI ke 2, Foto: Ist

Jakarta, — Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI ke-2, Soeharto, kembali memicu polemik nasional di tengah peringatan Hari Pahlawan 10 November.
Gelombang penolakan datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS), yang menilai keputusan tersebut sebagai bentuk pemutarbalikan sejarah dan penghinaan terhadap korban rezim Orde Baru.

Tagar #SoehartoBukanPahlawan pun menggema di media sosial sejak Minggu malam (9/11), menjadi simbol perlawanan terhadap glorifikasi figur yang dinilai menyimpan jejak panjang pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi.

Soeharto Adalah Simbol Otoritarian, Bukan Teladan Kepahlawanan”

Dalam pernyataan resminya, GEMAS menegaskan bahwa pemberian gelar kehormatan kepada Soeharto merupakan langkah yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, keadilan, dan kerakyatan — nilai dasar yang seharusnya melekat pada sosok pahlawan nasional.

“Kami menolak keras rencana tersebut. Soeharto adalah simbol otoritarianisme Orde Baru, pelanggaran HAM berat, dan praktik korupsi sistematis. Ia tidak layak disebut pahlawan,” tulis GEMAS dalam siaran persnya, Senin (10/11).

GEMAS menilai, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti menghapus memori kolektif bangsa atas represi terhadap jurnalis, mahasiswa, petani, aktivis, serta masyarakat sipil yang menjadi korban selama lebih dari tiga dekade kekuasaan Orde Baru.

Aksi Simbolik di Hari Pahlawan

Tepat di Hari Pahlawan, jaringan GEMAS menyerukan aksi simbolik dengan mengunggah tanda pagar #SoehartoBukanPahlawan disertai unggahan foto hitam putih bertuliskan “Menolak Lupa”.

Seruan ini menyebar cepat di platform X (Twitter) dan Instagram, diikuti ribuan pengguna yang menolak langkah pemerintah tersebut.

“Memberikan gelar kepada pelaku represi sama saja melukai korban dan mengkhianati semangat reformasi,” tulis akun @GEMAS_Indonesia dalam unggahan yang mendapat lebih dari 20 ribu retweet dalam 24 jam.

Pemerintah Tetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional

Terlepas dari penolakan publik, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengumumkan bahwa pemerintah telah menetapkan sepuluh nama penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini — salah satunya Soeharto.

“Keputusan ini adalah bentuk penghormatan terhadap jasa besar para tokoh bangsa, termasuk Bapak H.M. Soeharto,” ujar Prasetyo, Minggu malam (9/11).

Ia menambahkan bahwa keputusan akhir diambil oleh Presiden Prabowo Subianto setelah mempertimbangkan rekomendasi Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan Negara.

Selain Soeharto, beberapa nama lain yang juga ditetapkan antara lain K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Marsinah, dan Syaikhona Muhammad Kholil.

Namun, penyebutan nama Soeharto di daftar tersebut langsung memicu gelombang kritik dan kecaman luas dari masyarakat sipil.

Rekonsiliasi Tidak Bisa dengan Menghapus Luka”

Aktivis HAM dan sejarawan menilai bahwa langkah pemerintah justru mengaburkan batas antara kejahatan dan jasa.

Menurut GEMAS, rekonsiliasi sejati hanya bisa dicapai dengan pengakuan, pertanggungjawaban, dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu — bukan dengan memberikan gelar kehormatan.

“Rekonsiliasi tidak bisa dibangun di atas lupa. Soeharto telah meninggalkan luka panjang yang belum sembuh — dari pembredelan media, penghilangan paksa, hingga pembantaian politik,” tulis GEMAS dalam pernyataan lanjutannya.

GEMAS menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto membatalkan keputusan tersebut dan Dewan Gelar menghentikan seluruh proses pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Mereka juga meminta pemerintah untuk fokus pada pemulihan hak korban dan penegakan keadilan bagi keluarga yang hingga kini belum mendapatkan kebenaran.

Tagar Perlawanan dan Seruan Publik

Dalam 24 jam terakhir, tagar #SoehartoBukanPahlawan menempati posisi trending topic di Indonesia dengan lebih dari 120 ribu cuitan.

Banyak warganet mengunggah ulang foto-foto pembredelan media, peristiwa 1998, dan potret korban pelanggaran HAM untuk mengingatkan publik pada masa kelam yang ditinggalkan Orde Baru.

“Memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sama dengan menulis ulang sejarah dengan tinta penindasan,” tulis seorang pengguna X.

Catatan Redaksi:

Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional di tengah gelombang penolakan publik menandai kembalinya perdebatan lama: tentang siapa yang berhak disebut pahlawan — dan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban atas luka bangsa.

error: Content is protected !!