titaStory.id, ambon – Sengketa batas wilayah antara Kabupaten Maluku Tengah dengan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) telah mengakibatkan gangguan wibawa hukum dan perderitaan yang sangat berat bagi masyarakat adat yang berada dalam wilayah sengketa dimaksud.
Semuel Waileruny yang adalah seorang advokat senior di Maluku memberikan komentar kasar untuk menyambut kehadiran Mendagri (Tito Karnavian) bersama Menko Polhukam yang akan mengunjungi Kota Ambon, Rabu (14/6/2023) besok.
Menurut Waileruny, sengketa batas wilayah antara kedua kabupaten tersebut diawali dari diterbitkannya Undang-undang (UU) Nomor: 40 Tahun 2003 tentang ‘Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku’.
Dia menjelaskan, pada batang tubuh UU (pasal 7 ayat (2), ditentukan batas antara Kabupaten Maluku Tengah dengan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) pada bagian Selatan adalah pada batas antara Kecamatan Amahai di sebelah Timur dengan Kecamatan Kaitaru di sebelah Barat yang posisinya di Sungai (air, kali, wai) Tala. Namun pada lampiran UU dimaksud ditentukan batas antara kedua kabupaten di Sungai Mala. Jarak antara Sungai Mala dengan Sungai Tala, kurang lebih sepanjang 20 km, yang di dalamnya terdapat negeri-negeri adat yakni Negeri Samasuru, Negeri Wasia dan Negeri Sanahu.
Perbedaan batas antara batang tubuh UU dengan lampirannya dijelaskan Waileruny, telah diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusan MK Nomor 123/PUU-VII/2009 tanggal 02 Februari 2010, yang saat itu Ketua MK adalah Prof. Mahfud dan saat ini sebagai Menko Polhukam.
Dia rincikan pendapat MK sebagaimana pada halaman 101 baris 4 dari bawah s/d halaman 102 baris 5 dari atas, secara jelas ‘Bahwa oleh karena yang dimaksud oleh Pasal 7 ayat (2) huruf b UU 40/2003 yang menyatakan, “Kabupaten Seram Bagian Barat mempunyai batas wilayah sebelah timur berbatas dengan Kecamatan Seram Utara dan Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah dan Selat Seram”, khusus yang menyangkut Kecamatan Amahai, menurut penulis buku Konspirasi di Balik Konflik Maluku ini, Mahkamah harus dimaknai Kecamatan Amahai sebelum adanya pemekaran wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat, karena Kabupaten Seram Bagian Barat saat itu belum ada, maka Mahkamah berpendapat bahwa batas wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat adalah di sungai Tala atau kali Tala atau wia Tala.
Seperti dilansir dari portal berita www.hukumonline.com, dijelaskan Waileruny bahwa pada pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 secara jelas menentukan putusan MK bersifat final. Selanjutnya, pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, secara tegas menentukan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Pengacara Masyarakat Adat Maluku ini menyatakan, meski sudah ada putusan sedemikian yang status hukumnya ditegaskan oleh UUD 1945 pasal 24 C ayat 1 dan pasal 10 ayat (1) UU tersebut, namun Mendagri menerbitkan Permendagri Nomor 29 Tahun 2010 tentang ‘Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku’ pada pasal 2 (dua)nya menentukan batas Kabupaten Maluku Tengah dengan Kabupaten SBB di Sungai Mala.
“Jadi Permendagri tersebut sebagai suatu kejahatan hukum luar-biasa oleh Mendagri. Permendagri itu kedudukan hukumnya sangat jauh di bawah putusan MK, sehingga seharusnya tidak boleh bertentangan dengan putusan MK, malahan mesti memiliki kewajiban untuk melaksanakan putusan MK dimaksud,” paparnya.
Terhadap pelanggaran yang terjadi, Waileruny meminta agar semua aparat penegak hukum, para ilmuawan, politisi bahkan seluruh masyarakat menyampaikan keberatan kepada Mendagri maupun kepada Menko Polhukam, DPR RI bahkan kepada Presiden terhadap kejahatan Mendagri sedemikian jahatnya.
Tindakan Mendagri tersebut, menurutnya telah menurunkan wibawa hukum.
Ternyata, langkah selanjutnya adalah Permendagri yang bertentangan dengan putusan MK tersebut, dimanfaatkan oleh para Pejabat di Kemendagri sampai pada tingkat kabupaten untuk memanfaatkan uang Negara untuk berbagai kegiatan berkaitan dengan Permendagri dimaksud.
“Kalau dihitung, sudah puluhan tahun mungkin sudah triliyun rupiah yang dikeluarkan,” bebernya.
Selain itu, Waileruny menjelaskan, dengan adanya Permendagri tersebut, telah menimbulkan penderitaan yang sangat luar-biasa beratnya bagi masyarakat, antara lain (a). Banyak warga masyarakat kehilangan hak pilih dalam Pemilu legislative, maupun eksekutif mulai dari bupati sampai presiden, (b). Banyak warga masyarakat tidak memperoleh pelayanan pemerintah oleh karena administrasi kependudukan yang tidak jelas, (c). Anak-anak tidak memperoleh bantuan pendidikan, pelayanan kesehatan dipersulit dan sebagainya, masyarakat dalam negeri adat dibuat untuk berkonflik antara yang pro putusan MK dan yang pro Permendagri, melalui bantuan-bantuan yang diberikan.
“Jadi kejahatan pertama menimbulkkan kejahatan baru, dan berbagai kejahatan lainnya secara terus-menerus” pungkasnya.
Meski Tito Karnavian selaku Mendagri tidak terlibat dalam penerbitan Permendagri Nomor 29, namun bagi Waileruny, Tito Karnavian selaku Mendagri telah diberikan penjelasan dan data oleh masyarakat, juga telah didesak secara sungguh-sungguh oleh DPR RI untuk merubah pasal 2 Permendagri Nomor 29 Tahun 2010 untuk disesuaikan dengan putusan MK Nomor 123/PUU-VII/2009, dan telah mengiyakan/menyetujuinya di dalam forum rapat DPR RI.
Bahkan, kata pengacara hak asasi manusia di Maluku ini, sudah ada elemen mahasiswa dan masyarakat yang melakukan protes dengan melakukan unjuk rasa di kantor Kementrian Dalam Negeri, namun belum ada tindakan serius Mendagri untuk merubah Permendagri tersebut untuk disesuaikan dengan putusan MK.
Hal ini, kata Waileruny, membuktikan bahwa Mendagri (Tito Karnavian) tidak memiliki moral penegakkan hukum. Menteri yang tidak memiliki moral penegakkan hukum seharusnya disingkirkan dari Kabinet kepemimpinan Presiden Jokowi.
“Apa susahnya merubah Permendagri untuk disesuaikan dengan putusan MK? Untuk mempermudah Mendagri, saya dan teman-teman telah menyusun Rancangan Permendagri untuk disesuaikan dengan putusan MK Nomor 123/PUU-VII/2009. Jadi Saudara Tito cuma tanda tangan saja, karena konsep yang kami rancang sudah sangat bagus dan sudah diserahkan ke Pejabat di Kemendagri,” pungkasnya.
Malalui kesempatan ini, pendamping masyarakat adat Maluku ini juga minta kepada Menko Polhukam untuk mendesak Mendagri agar secepatnya merubah Permendagri tersebut untuk disesuaikan dengan putusan MK, selain karena bertentangan dengan hukum.
“Prof Mahfud MD kala itu sebagai Ketua MK sekaligus Ketua Majelis Hakim MK yang memutuskan putusan Nomor 123/PUU-VII/2009 tersebut, sehingga Prof. Mahfud MD memiliki tanggung jawab moral untuk mempertahankan putusan MK yang dihasilkannya,” harapnya.
Gerakan Petisi #SaveTapalBatas
Sebelumnya, melalui petisi #SaveTapalBatas juga telah digaungkan di media social. Gerakan Petisi #SaveTapalBatas ini dikampanyekan melalui sebuah petisi oleh Ard Latakua (Petisi·#SAVETAPALBATAS·Change.org) yang menyuarakan sengketa tapal batas antara kabupaten Maluku Tengah (Malteng) dan kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) di Provinsi Maluku telah terjadi sejak 2009 silam sampai sekarang tak kunjung usai.
Dalam petisi ini, mereka meminta Presiden Joko Widodo, dan Kementrian Dalam Negeri untuk menyelesaikan konflik yang telah bergulir belasan tahun lamanya di Pulau Seram. Demikian bunyi petisi #SaveTapalBatas.
“Kami meminta kepada Presiden Joko Widodo, Kementerian Dalam Negeri untuk segera menyelesaikan konflik yang telah bergulir selama sebelas tahun ini dengan membatalkan Permendagri NO 29 Tahun 2010 karena bertentangan dengan Keputusan MK: NO 123/PUU – VII/2009.
Secara hukum harusnya Peraturan Menteri Dalam Negeri tunduk kepada Keputusan Mahkamah Konstitusi yang dengan jelas mengatakan bahwa batas antara kabupaten Maluku Tengah (Malteng) dan Seram Bagian Barat (SBB) berada di kali Tala dan bukan di kali Mala seperti yang ada dalam PERMENDAGRI.
Peraturan Menteri Dalam Negeri yang cacat hukum itu telah menyebabkan lumpuhnya pelayanan publik, hilangnya hak – hak masyarakat selaku warga negara di daerah perbatasan selama lebih dari satu dekade ini yang secara keras menolak masuk ke wilayah kabupaten Seram Bagian Barat dan tetap mempertahankan untuk berada di kabupaten Maluku Tengah”. (TS-01)