TITASTORY.ID,- Dalam sepekan masyarakat Indonesia dihebohkan dengan polemik terkait asal usul Kapitan Pattimura, pahlawan nasional sekaligus idola rakyat Maluku. Nama Thomas Matulessy menjadi viral di media sosial setelah namanya disinggung oleh Ustadz Adi Hidayat yang mengeluarkan pernyataan bahwa nama asli kapitan Pattimura bukanlah Thomas Matulessy melainkan Ahmad Lussy.
Pernyataan sang Ustadz dalam sebuah rekaman ceramah ini viral di media sosial. Kemudian ditanggapi oleh masyarakat di media sosial.
Pernyataan sang Ustadz oleh seluruh masyarakat termasuk kaum intelektual kampus di Ambon. Kepada titastory.id, pakar sejarah Universitas Pattimura mengatakan agar pernyataan tersebut tidak perlu ditanggapi serta tidak perlu digiring pada kepentingan subjektif dan bersandar pada tradisi lisan karena hal itu tidak abadi dan bisa berubah kapan saja.
Sejahrawan Maluku, Johan Pattiasina, saat diwawancarai titastory.id mengatakan suatu sejarah tidak bisa dipertahankan jika diperhadapkan dengan bukti tertulis atau literature-literatur yang secara terang benderang menerangkan tentang sosok Kapitan Pattimura.
Menurut pria kelahiran Ameth,02 Juni 1977, sosok Kapitan Pattimura adalah Thomas Matulessy, yang dalam sejumlah catatan dan literatur menekankan bahwa dia adalah seorang pemberontak dan merupakan memimpin perang di Saparua.
“Peperangan dasyat tahun 1817 di Pantai Waisisil merupakan daya dongkrak sehingga terciptanya goresan sejarah, tentang sang tokoh utama yang kini diperdebatkan soal asal, bahkan nama dari Kapitan Pattimura,” ucapnya.
Pria lulusan magister Jurusan Sejarah FIB Universitas Gajah Mada ini menegaskan Thomas Matulessy adalah pimpinan perang yang mampu mengalahkan tentara Belanda yang berlindung dibalik kekarnya Benteng Durstede dan penyerangan ini pun mengakibatkan terbunuhnya Residen van de Berg di tahun 1817. Dimana yang disebut Kapitan Pattimura adalah Thomas Matulessy, bukan yang lain, seperti yang kini terjadi atas klaim mengklaim terkait nama dan asal dari sang Kapitan Pattimutra.
“Banyak pihak yang diduga tidak tulus, karena mereka tetap mengklaim soal nama dan asal dari Kapitan Pattimura yang tidak lain adalah Thomas Matulessy, sehingga tradisi lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut dengan cara dituturkan tidak bisa dijadikan acuan,” terang Mantan Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unpatti periode 2016-2020.
Dia juga menyampaikan peristiwa perang di Saparua, Matulessy juga didukung oleh empat rekannya yaitu Anthony Reebok, Philip Latumahina, Melkior Kesaulya alias Pattisaha, yang kemudian mereka dihukum gantung, dan peristiwa eksekusi tersebut juga tercatat jelas.
“Literatur Belanda Thomas Matulessy dan rekan rekannya dieksekusi di depan Benteng Viktoria Kota Ambon. Sehingga jika ada tokoh atau oknum yang menerangkan bahwa Kapitan Pattimura bukan Thomas Matulessy maka itu merupakan bentuk gagal paham dan bias dari rel sejarah yang dapat dibuktikan dengan sejumlah literatur pendukung yang memiliki akurasi tinggi dengan sosok yang kini jadi topik pembahasan baik di kalangan anak Maluku atau di luar Maluku, ” tegasnya.
Lebih mempertegas, Pattiasina mengungkapkan Thomas Matulessy adalah seorang borgor yang pernah berdiam di Negeri Haria, Pulau Saparua dan pada masa pemerintahan Inggris, Thomas Matulessy pernah menjabat sebagai sersan Mayor yang memimpin sejumlah serdadu yang didominasi rakyat pribumi, dan mereka di kenal dengan sebutan brigif atau korps Amboina, yang jumlahnya berkisar 400 hingga 500 orang.
“Ada hasil karya tertulis dari seorang guru sejarah yang bertugas dan berdiam di Negeri Porto, Pulau Saparua, dia bermarga Risakotta, yang mencatat tentang sepak terjang dari Thomas Matulessy Pattimura, dan tulisan Risakotta menyebutkan nama Thomas Matulessy sebanyak 36 kali, dan tulisan adalah bukti primer ini memiliki tingkat akurasi tinggi karena Risakotta merupakan bagian dari peristiwa peperangan besar yang pernah terjadi di Pulau Saparua tanggal 16 Maret tahun 1817 dan rentetan dari semua ” bebernya.
Dijelaskan, tulisan Risakotta menguraikan tentang gambaran mulai dari awal peperangan di Pulau Saparua yang terjadi dari awal bulan Maret tahun 1817 dan puncaknya pada tanggal 16 Maret tahun itu, dimana terjadi pembantian Residen van de Berg dan startegi serta arahan itu dilakukan oleh Thomas Matulessy. Sehingga jika ada sebutan nama lain, seperti Ahmad Lussy atau Mat lussy mereka adalah sosok atau pribadi yang berbeda dengan Thomas Matulessy karena mereka memiliki peran yang berbeda dan tidak bisa disamakan dengan Thomas Matulessy yang menjadi central dari peristiwa peperangan di Pantai Waisisil dan peperangan peperangan lain di Kawasan Lease, khususnya di Pulau Saparua. Dengan demikian dirinya menegaskan tradisi lisan dan penceritaan atau tuturan yang sengaja dikembangkan tanpa bukti akurat adalah pembiasan dan cenderung subjektif.
“Seandainya saat itu Pattimura tidak diangkat sebagai pahlawan nasional, apakah ada polemik seperti ini, yang pasti ada sejumlah negeri atau daerah di Maluku yang mengklaim bahwa Pattimura berasal dari daerah mereka dan dilokalkan dengan gelar masing –masing daerah, bahkan tak tanggung–tanggung konten Youtube pun digunakan untuk menyampaikan bahwa Pattimura berasal dari Buton,” ulasnya.
Terhdap hal itu, Dosen pada Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Pattimura ini menekankan bahwa Thomas Matulessy dalam prefektif Nirlandosentris dianggap sebagai seorang pemberontak.
“Jadi ketika kita berpkir secara positif, pemikiran orang –orang tentang Patimura adalah bentuk dari perjuangan bersama, yang kemudian berdampak pada klaim–klaim yang mengabaikan unsur pembiasan, kurang paham, serta tidak mendasar,” tegasnya lagi.
Saat yang sama, akademisi ini juga menyinggung terkait dokumen Raport Porto yang menurutnya juga menjelaskan tentang adanya pergeseran pasukan dari pulau sera untuk melakukan peperangan di Pulau Haruku dan pergeseran pasukan itu dilakukan di bawah perintah Thomas Matulessy.
Sehingga,” ungkapnya,” Jadi kalau memang, ada anggapan tentang adanya keterlibatan tokoh yang bernama Ahmad Lussy memiliki kebenaran, tetapi perannya berbedah dengan tokoh central dalam peperangan itu, yaitu Thomas Matulessy. Dan bisa saja karena ada kemiripan nama, kemudian melahirkan pemikiran nama Thomas Matulessy adalah Ahmad Lussy, dan saya menduga hal itu bisa terjadi karena tradisi lisan tersebut.
“Ahmad Lussy adalah tokoh sendiri, dan dia punya peran sendiri. Dia berbeda dengan Thomas Matulessy sebagai pemimpin pemberontakan di Saparua yang dalam literatur-literatur Belanda , Thomas Matulessy adalah pemimpin pemberontakan,” pungkasnya.
Saat yang sama, seolah tidak ingin melepaskan kesempatan untuk menuturkan sejarah tentang tokoh ternama ini, Patiasina juga menambahkan bahwa dirinya pernah membaca satu buah karya tulis atau buku yang diterbitkan di tahun 1927 oleh Balai Pustaka, yang isinya menyebutkan bahwa ada salah seorang serdadu pribumi bernama Piterson, dimana serdadu ini diberikan penghargaan tingkat tiga karena jasanya berhasil menangkap seorang pemberotak yang sangat ditakuti rakyat yang namanya disebut Matulessy, bukan Mat lussy atau Ahmad Lussy.
Demkian juga, bebernya lanjut, dalam satu dokumen yang ditemukan di arsip nasional tentang surat pengaduan janda dari Yohanes Kesaulya, pria asal dari Negeri Sirisori Kristen. Dimana dalam surat ini mejelaskan tentang pengaduan tertulis ke pada Residen van Amboina di Kota Ambon yang isinya menguraikan tentang tindakan orang – orang Ouw yang datang menjarah rumahnya di Sirisori Kristen atas perintah dari Thomas Matulessy, sehingga tindakan yang dilakukan Matulessy tidak ada sangkut pautnya dengan Matlussy atau Ahmad Lussy.
“Kalau melihat pada pandangan pada tradisi lisan dengan pandangan dari fakta fakta tertulis, saya berpendapat, yang dikira oleh orang bahwa Ahmad Lussy itu adalah Kapitan Pattimura itu tidak ada, atau tidak ada hubungganya. Sehingga padangan atau tanggapan dari pihak pihak tertentu sangat subjektif tanpa disertai bukti akurat.
Dia juga menjelaskan, dengan mengacu pada akta Proklamsi Haria, yang menjelaskan bahwa Thomas Matulessy adalah Kapitan pulu atau Kapitan pulau – pulau yang ada di Lease, yang artinya kedudukan Kapitan Patimura tentunya berada di kawasan Lease, bukan di daerah lain, yang kemudian di klaim dengan nama Ahmad Lussy atau Matlussy.
Sebelumnya, polemik nama Thomas Matulessy ini viral di media sosial sehingga menghebohkan sejagad nusantara ini dengan pernyataan Ustadz Adi Hidayat dalam ceramahnya.
Dikutip dari tvOne News, selasa 5 juli 2022 dengan judul : “Viral Nama Asli Pahlawan Nasional Asal Maluku Thomas Matulessy adalah Ahmad Lussy”. Dalam kutipan beritan ini beberapa hari terakhir media sosial dihebohkan dengan pernyataan Ustadz Adi Hidayat yang mengatakan nama asli pahlawan nasional asal Maluku Pattimura bukan Thomas Matulessy tetapi Ahmad Lussy.
Dalam rekaman yang diunggah @yaniarsim dan berdurasi 1 menit 24 detik yang viral tersebut, Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa nama asli Thomas Matulessy adalah Ahmad Lussy. Dalam ceramahnya tersebut, Ustadz Adi Hidayat mengatakan bahwa kesimpulan nama Ahmad Lussy disebut setelah para ahli sejarah menelusuri hal ini.
Lebih lanjut Ustadz Adi Hidayat juga mengatakan bahwa Ahmad Lussy seorang pejuang dan kyai.
Hal yang sama juga sempat dikemukakan Prof Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku ‘Api Sejarah’. Dalam buku tersebut disebutkan kalo nama asli Thomas Matulessy adalah Ahmad Lussy.
Nama Thomas Matulessy atau yang dikenal dengan Kapitan Pattimura menjadi bahan perbicangan di media sosial. Hal itu terjadi usai beredarnya sebuah video ceramah Ustaz Adi Hidayat yang menyebut bahwa nama Kapitan Pattimura adalah Ahmad Lussy bukanlah Thomas Matulessy.
“Di uang seribu itu ada satu gambar namanya Kapiten Pattimura. Banyak orang menyebut kemudian Thomas Matulesi. Kami berusaha mencari lihat, tanya pakar sejarah dikumpulkan Allahu Akbar, ternyata nama aslinya Kapiten Pattimura itu bukan Thomas tapi Ahmad Lussy. Bukan Thomas Matulesi tapi Ahmad Lussy,” ujar Ustadz Adi Hidayat dalam sebuah ceramah, dikutip oleh tvOnenews dari Twitter @yaniarsim, Selasa (5/7/2022).
Dalam rekaman yang berdurasi 1 menit 24 detik tersebut, Ustadz Adi Hidayat menjelaskan lebih lanjut bahwa Ahmad Lussy seorang pejuang dan kyai.
Lantas bagaimana sejarah mengenai pahlawan nasional dari Maluku ini yang selama ini diketahui oleh masyarakat secara umum? Berikut sejarah mengenai Kapitan Pattimura yang dilansir dari ditsmp.kemdikbud.go.id.
Pattimura lahir pada 8 Juni 1783 di Saparua, Maluku. Pattimura yang memiliki nama asli Thomas Matulessy adalah anak dari pasangan Frans Matulessy dan ibunya Fransina Silahoi. Adapun ia memiliki seorang adik laki-laki bernama Yohanis.
Pattimura belajar berperang dari pelatihan militer oleh tentara Inggris, saat itu ia mencapai pangkat sersan mayor. Hal itu terjadi tepat pada 1810 saat Kepulauan Maluku diambil alih oleh Inggris dari Belanda.
Perjuangan Melawan Belanda
Permusuhan Pattimura dengan Belanda berawal dari penolakan Pattimura beserta rakyat Maluku terhadap pemulihan kekuasaan Belanda di tanah Maluku. Hal ini direspon tegas dengan dibuatnya “Proklamasi Haria” oleh Pattimura. “Proklamasi Haria” sendiri adalah nama hari peringatan kebulatan tekad melanjutkan perjuangan melawan Belanda.
Perlawanan bersenjata rakyat Maluku baru benar-benar pecah ketika Gubernur Van Middelkoop dan Residen Saparua Johannes Rudolf Van Der Berg berkuasa. Saat itu Pattimura disetujui sebagai kapten besar yang memimpin perjuangan, persetujuan itu diperoleh dari musyawarah dan konsolidasi kekuatan antar rakyat Maluku. Baru lah pada 17 Mei 1817, pria yang bernama asli Thomas Matulessy ini dikukuhkan sebagai “Kapitan Besar” pada upacara adat di Baileo Haria.
Jatuhnya Benteng Duurtsede
Setelah pelantikan sebagai kapten, Pattimura memilih beberapa orang kepercayaannya yakni Anthony Rhebok, Philips Latumahina, Lucas Selano, Arong Lisapaly, Melchior Kesaulya, Sarasa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu. Pattimura bersama Philips Latumahina dan Lucas Selano kemudian melakukan penyerbuan ke benteng Duurstede.
Kemudian, penyerbuan yang dilanjutkan dengan jatuhnya Benteng Duurstede ke tangan pejuang Maluku ini membuat pihak Belanda di Kota Ambon kebingungan. Mengatasi hal itu, Gubernur Van Middelkoop dan Komisaris Engelhard memutuskan untuk melakukan gerakan militer besar ke Saparua di bawah pimpinan Mayor Beetjes, yang kemudian dikenal dengan “Ekspedisi Beetjes”.
Sadar Belanda akan melakukan penyerangan, Pattimura langsung mengatur taktik di mana pasukan rakyat sekitar seribu orang diatur dalam pertahanan sepanjang pesisir, dari Teluk Haria sampai Teluk Saparua. Karena strategi ini, Pejuang Maluku berhasil mengalahkan Mayor Beetjes dan pasukannya.
Pengkhianatan Terhadap Pattimura
Pada tanggal 4 Juli 1817, sebuah armada yang dipimpin Overste de Groot menuju Saparua dengan tugas untuk mengalahkan Pejuang Maluku dengan cara lain. Berbagai cara dilakukan seperti siasat berunding, serang mendadak, aksi vandalisme, dan adu domba.
Bersumber dari Buku “Kapitan Pattimura” oleh I. O. Nanulaitta, puncaknya, Belanda memanfaatkan dendamnya Raja Booi yang menjual informasi kepada Belanda setelah Pattimura menurunkan posisinya sebagai pemimpin rakyat.
Saat itu, pada tanggal 11 November 1817 dengan didampingi beberapa orang pengkhianat, Letnan Pietersen bersama beberapa pasukannya berhasil menangkap Pattimura dan Philips Latumahina di sebuah rumah pada Hutan Booi.
Nahasnya, lima hari setelah ditangkap, Pattimura dan beberapa pengikutnya mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada 16 Desember 1817 di Kota Ambon.
Pattimura sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
Pada 6 November 1973, Pattimura dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 87/TK.
Adapun Pattimura dan perperangannya dengan Belanda telah digunakan sebagai simbol perjuangan Maluku, yang diadopsi oleh Republik Maluku Selatan dan Republik Indonesia sendiri.
Di Ambon namanya diabadikan sebagai Universitas Pattimura, Bandara Pattimura, sebuah patung, dan jalan. Selain itu, setiap 15 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pattimura. (tim redaksi)
Discussion about this post