Soal Pemangkasan Anggaran, Menkeu Purbaya Diprotes Ekonom Asal Maluku Engelina Pattiasina: “Jangan Provokasi Daerah, Risikonya Sosial dan Politik”

11/10/2025
Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Jakarta, — Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, menegaskan Menteri Keuangan Purbaya Sahadewa sebaiknya tidak memperlakukan daerah seolah-olah “mengemis” anggaran kepada pemerintah pusat. Ia mengingatkan, sebagian besar kekayaan strategis nasional justru bersumber dari daerah, mulai dari migas hingga sumber daya laut, yang selama ini dikontrol penuh oleh pusat.

“Pemangkasan anggaran sepihak sama dengan meremehkan perencanaan daerah. Sikap Menkeu terhadap para gubernur berpotensi memicu ketegangan pusat dan daerah. Jangan coba-coba memprovokasi daerah, karena risikonya sosial politik — bukan sekadar ludah sombong seorang Menkeu,” tegas Engelina, di Jakarta, Sabtu (11/10/2025).

Engelina menilai, pemotongan anggaran yang dilakukan sepihak sangat wajar menimbulkan kekecewaan. Sebab, pemerintah daerah sudah lebih dulu menyesuaikan rencana kerja berdasarkan alokasi dana dari pusat.

“Menkeu jangan merasa paling hebat, paling benar, dan paling tahu semua hal. Masalah daerah itu kompleks karena ketidakadilan sudah berlangsung sejak zaman kolonial,” ujarnya.

Ia mencontohkan, alokasi APBD DKI Jakarta hampir setara dengan total anggaran seluruh provinsi di kawasan timur Indonesia, yang sebagian besar tergolong miskin.“Kalau anggaran yang kecil itu masih dipangkas, rakyat di daerah akan semakin terpuruk,” katanya.

Menurutnya, pejabat pusat kerap melihat daerah “dari kacamata Jakarta” tanpa memahami realitas kemiskinan struktural di wilayah kaya sumber daya alam.

Sebagai contoh, kata Engelina, minyak di Bula, Seram Timur (Maluku) sudah dieksploitasi sejak masa kolonial, namun daerah tidak menikmati hasilnya.“Sikap Menkeu Purbaya justru seperti menyalahkan daerah, padahal pusatlah yang selama ini mengambil manfaat terbesar,” ucapnya.

Sentralisme Fiskal yang Menyamar sebagai Otonomi

Engelina menyebut, praktik kontrol pusat terhadap keuangan daerah sudah menjadi penyakit kronis.Kebijakan otonomi daerah yang berjalan sejak 2001, katanya, hanya bersifat kosmetik karena sistem fiskalnya masih sangat sentralistik.

“Pusat menguasai pendapatan nasional, sementara daerah diberi kewenangan terbatas seperti pajak kecil dan sumber daya minim. Daerah diminta menanggung beban besar untuk mengurus rakyat tanpa dukungan pendapatan yang memadai,” tegas mantan anggota Badan Anggaran DPR RI itu.

Ia mengkritik keras ketidakefisienan pemerintah pusat yang kerap melantik pejabat baru dan mengumbar penghargaan, namun membebani daerah dengan kebijakan penghematan.

“Prestasi pemerintahan sekarang kalau mau jujur cuma bisa gonta-ganti pejabat dan pidato ke mana-mana. Tapi Menkeu berlagak paling benar?” sindirnya.

Bahaya Dominasi dan Politisasi Fiskal

Menurut Engelina, gaya kepemimpinan Menkeu yang dominatif berbahaya karena menempatkan daerah sepenuhnya dalam posisi bergantung.“Dominasi fiskal ini bisa dipakai untuk kepentingan apa saja, bahkan untuk mengontrol politik daerah,” katanya.

Ia mengingatkan, di balik setiap gubernur ada rakyat yang bergantung pada anggaran publik.

“Kalau memang malas urus daerah, biarkan daerah urus diri sendiri. Sebelum republik ini berdiri, rakyat di daerah sudah hidup ribuan tahun. Jangan seolah kalau pusat tidak ada, rakyat daerah tak bisa hidup,” tegasnya.

Peringatan atas Gaya Komunikasi Elit Pusat

Engelina juga mengkritik gaya komunikasi pejabat pusat yang menurutnya arogan dan berpotensi memicu resistensi di daerah.“Kalau ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin muncul perlawanan. Rakyat sudah muak dianggap hanya penting saat pemilu,” ujarnya.

Ia menilai, dalam situasi ekonomi sulit seperti sekarang, pejabat publik seharusnya berhati-hati dalam berucap.

“Kesombongan di ruang publik bisa memprovokasi rakyat. Kalau kekecewaan daerah memuncak, dampaknya tidak akan mudah dikendalikan,” katanya.

Engelina menutup dengan peringatan tegas: pemerintah pusat sebaiknya belajar dari pengalaman konflik di Papua dan Aceh yang berawal dari ketidakadilan dan sikap meremehkan aspirasi daerah.“Trauma di Papua dan Aceh belum sepenuhnya pulih. Jangan ditambah dengan pernyataan pejabat yang menyinggung atau merendahkan. Setiap ucapan pejabat adalah pegangan rakyat,” ujar Engelina.

error: Content is protected !!